“Akhirnya selesai juga.” teriak May senang setelah berhasil menyelesaikan laporan tugasnya dan sekaligus mengirimnya.”
“Braaaaak…” pintu kamar May dibuka dibanting sehingga menimbulkan dentuman keras.
“Berani sekali kamu masuk ke kamarku tanpa ijin.” bentak Kak Reno.
“Maaf, Kak, tadi May terpaksa. Charger May rusak, jadi May masuk ke kamar Kakak dan meminjam charger.” ucap May dengan wajah menunduk karena takut.
“Dasar pengganggu, kamu selalu membuat hidupku susah.” bentak Kak Reno, kemudian pergi sambil membanting kembali pintu kamar May, “Braaaaak…” seketika air mata May pun menetes , ia menangis,
“Salahku apa, Kak?” ucapnya dengan lirih.
“Mengapa semenjak dulu Kakak sangat membenciku, padahal aku ini adalah adik kandungmu?” ucapnya lagi dengan air mata yang terus menetes membasahi pipi.
*****
May duduk di ruang perpustakaan sekolah seorang diri, bukannya ia tak mau bergaul dengan teman sebayanya, tapi saat ini yang ia butuhkan hanya menyendiri. Kebetulan tadi sahabatnya Linchan sedang dipanggil guru bahasa untuk dimintai bantuan.
Suasana ruang perpustakaan yang tenang membuat pikirannya nyaman, ia pun mengambil buku agenda miliknya dan mulai menggoresnya dengan tinta hitam. Ya hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mencurahkan segala emosi di pikirannya.
Di keheningan pagi…
Di kala sang embun jatuh bergantian dari atas daun
Aku meratapi akan salah yang tidak pernah aku mengerti…
Di malam hari yang sunyi…
Saat bintang dan bulan tak mau menampakkan diri
Seperti aku yang di rundung sedih
Menangis pilu mendekap kakiku sendiri…
Salahku apa, Kak?
Hingga kau menghakimiku..
Tahukah kalau kau telah melukaiku…
Kau telah menusukkan jarum dibagian sendiku
Aku adikmu…
Bagaimana bisa kau sekejam itu…
Aku adikmu…
Yang perlu perlindunganmu kak…
Tapi… Kenapa kau selalu menganggapku debu..
Sampai kapan, Kak?
Sampai kapan?
“May, kamu sedang apa?” tanya Linchan yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang perpustakaan. May pun buru-buru menutup agendanya dan menutupinya lagi dengan buku yang lain. Takut Lin akan menginterogasinya.
“Ini.” May memperlihatkan buku kuliner yang seolah sedang dibacanya.
“Besok kita sudah UAN, jadi khusus hari ini kamu bolos kerja dan ikut pulang ke rumah ya, Mamaku ingin belajar membuat lasagna dan cheesecake dengan arahanmu. Karena beberapa kali mencoba hasilnya selalu gagal, dan berakhir dengan wajahnya yang berekspresi sedih. Aku tidak tega, jadi aku memberitahu bahwa kamu jago dalam membuatnya.” ucap Linchan.
“Ok, tapi les denganku biayanya mahal lo!” ucap May dengan bercanda.
“Nanti aku bayar, yang penting Mamaku tidak sedih lagi karena eksperimennya yang selalu gagal. Tapi bagaimana kalau sebagai gantinya aku menyuruh Mamaku untuk mengajarimu membuat brownies? Kamu belum bisa membuat brownies sampai sekarang kan?”
“Sip kalau begitu. Ayo ke kelas, bel masuk sudah berbunyi.” Lin dan May pun berjalan beriringan masuk ke dalam kelas.
Unexpected
“Yang terbaik adalah percaya dan berlindung hanya pada Tuhan, bukan pada manusia. Karena akan ada kecewa jika terlalu percaya pada manusia.”
*****
Masih ada waktu lima belas menit sebelum May memulai pekerjaannya. Waktu yang tersisa itu May manfaatkan untuk mengajak Linchan mengobrol di pantry.
Hal biasa yang sering mereka lakukan. Para pegawai dan atasan May pun sudah terbiasa dengan itu. Mereka tak masalah, karena tahu May selalu bekerja dengan profesional. Banyak pelanggan cafe yang puas dengan pelayanannya itu. Sikap yang ramah, sopan dan murah senyum, membuat para pelanggan betah berlama-lama hanya untuk sekedar menatapnya atau pun untuk mendapatkan sapaan darinya.
May, adalah Mayessa, seorang remaja berusia 18 tahun. Dia mandiri tapi sedikit manja, cerdas dan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Seorang pelajar SMA tingkat XII. Memiliki wajah cantik dengan warna kulit putih yang tidak pucat. Potongan rambutnya sepinggang berwarna hitam. Ramah senyum dan yang paling menarik adalah matanya yang sipit.
Tapi ada satu hal yang tidak mereka ketahui. Mereka hanya mengetahui sebatas May adalah seorang pelayan cafe, bukan May yang seorang anak milyuner.
Mengapa ia menyembunyikan statusnya? Tentu ada alasan tersendiri. Salah satunya ingin hidup mandiri.
Cafe tempatnya bekerja adalah cafe untuk orang dewasa, bukan untuk anak remaja seusianya. Memang benar banyak tempat lain yang layak dan mau menerimanya, tapi gaji yang ditawarkan tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan.
Gila… itulah ucapan yang sering di lontarkan Linchan ke May. Namun May hanya menanggapinya dengan senyuman. Dan May pun akan selalu bilang ke Linchan, “Hidup itu penuh dengan pilihan, tapi satu yang terpenting, jangan sampai terjerumus ke dalam hal yang menyesatkan.”
Bersambung….