Hal biasa yang sering mereka lakukan. Para pegawai dan atasan May pun sudah terbiasa dengan itu. Mereka tak masalah, karena tahu May selalu bekerja dengan profesional. Banyak pelanggan cafe yang puas dengan pelayanannya itu. Sikap yang ramah, sopan dan murah senyum, membuat para pelanggan betah berlama-lama hanya untuk sekedar menatapnya atau pun untuk mendapatkan sapaan darinya.
May, Mayessa itu remaja berusia 18 tahun. Dia mandiri tapi sedikit manja, cerdas dan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Seorang pelajar SMA tingkat XII. Memiliki wajah cantik dengan warna kulit putih yang tidak pucat. Potongan rambutnya sepinggang berwarna hitam. Ramah senyum dan yang paling menarik adalah matanya yang sipit.
Tapi ada satu hal yang tidak mereka ketahui. Mereka hanya mengetahui sebatas May adalah seorang pelayan cafe, bukan May yang seorang anak milyuner.
Mengapa ia menyembunyikan statusnya? Tentu ada alasan tersendiri. Salah satunya ingin hidup mandiri.
Cafe tempatnya bekerja adalah cafe untuk orang dewasa, bukan untuk anak remaja seusianya. Memang benar banyak tempat lain yang layak dan mau menerimanya, tapi gaji yang ditawarkan tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan.
Gila itulah ucapan yang sering di lontarkan Linchan ke May. Namun May hanya menanggapinya dengan senyuman. Dan May pun akan selalu bilang ke Linchan, “Hidup itu penuh dengan pilihan, tapi satu yang terpenting, jangan sampai terjerumus ke dalam hal yang menyesatkan.”
Alhasil, Linchan akan menutup mulutnya rapat-rapat setelah May mengucapkan kalimat andalannya itu. Kenapa? Karena kalimat yang diucapkan May adalah sebuah realita hidup. Pada kenyataannya Linchan tahu bahwa sahabat baiknya itu tidak akan pernah melanggar batasan-batasan yang ada.
“May bagaimana hubunganmu dengan Kak Reno?” tanya Linchan seperti biasanya.
“Linchan, apa kamu tidak bosan menanyakan itu? Bahkan pertanyaanmu terus kamu ulang selama hampir 6 tahun. Jika dalam sehari 3 kali, maka dalam seminggu sudah 21 kali. Sebulan …. ”
“Ok, stop! Aku tahu jawabanmu. Lebih baik aku pulang dan tidur. Nanti pulangnya aku jemput atau naik taksi?”
May tertawa renyah memperlihatkan deretan giginya yang bewarna putih, membuat Linchan memberengut kesal.
“May kamu tidak sopan, aku bertanya dan kamu malah tertawa?! Sungguh aku ingin menggetok keningmu itu dengan botol whisky yang ada di sini.”
“Maaf,” May merangkul pundak Linchan, “aku pulang dengan taksi saja. Lagian pertanyaanmu itu tidak penting.”
“Iya … iya … iya … hati-hati kerjanya. Aku pulang dulu, bye.”
“Bye.”
“Hai May, kamu semakin cantik saja,” sapa Reon, salah seorang pelanggan di cafe. Dia menghampiri May saat Linchan sudah pergi.
“Hai Reon, makasih. Kamu tahu, pujianmu itu bisa membuatku terbang ke langit,” ucap May sambil tersenyum.
“Hahaha …. Benarkah? Dengan senang hati aku menemanimu ke sana May. Akan ku ambilkan bulan dan bintang untukmu.”
“Reon, gombalanmu basi.” ucap May sambil mengerlingkan sebelah matanya.
“Oh my God, jantungku tertusuk panah asmaramu. Aduh May …. Sakit May …. ” Reon menaruh tangannya di dada dan berakting seolah-olah sakit. Membuat pengunjung yang melihat kejadian itu tertawa.
May memutar bola matanya malas.
“Oh, ayolah Reon, kamu itu bukan aktor yang baik.” Reon pun hanya bisa menyengir lebar.
“Hai, May,” sapa Derryl yang ikut bergabung.
“Hai, bagaimana dengan galerimu? Adakah diskon untuk Cleopatra?”
“Kamu tidak perlu membayar May, asal mau jadi kekasihku.”
“Maaf, Derryl, aku memilih alternatif kedua.”
Bersambung….