Aku menikahinya 3 tahun kemudian, saat aku merasa siap menjadi imam atas dirinya yang yatim piatu, siap membahagiakannya, dan siap mengarungi kerasnya Jakarta berdua. Selanjutnya berbahagialah kami atas pernikahan kami dan hidup sederhana kami.
Tak ada masalah awalnya. Aku lelaki normal dan perkasa, umurku 26 tahun saat menikahinya dan umurnya 24 tahun waktu itu. Menginginkan seorang momongan tentu menjadi harapan kami berdua dan harapan ibuku di kampung. Kami mati-matian berusaha untuk itu. Tapi sampai kalender berganti 5 kali tak ada tanda-tanda akan datangnya seorang bayi.
“Ayah yang mandul!” katanya memojokkan aku di klinik seorang dokter kandungan terkenal malam itu.
“Belum tentu, kita kan baru akan cek ke dokter malam ini,” jawabku tenang walau sebenarnya dadaku bergemuruh kencang. Siapa sebenarnya yang bermasalah di antara kami berdua sehingga sampai 5 tahun tak juga ada momongan.
Hasil dari dokter keluar beberapa hari kemudian. Katanya tak ada masalah dengan kami berdua. Ku remas tangan istriku lega. Berarti kami masih punya milyaran harapan untuk segera punya keturunan. Mulailah aku melakukan terapi untukku sendiri, mulai banyak-banyak mengonsumsi kerang, taoge, dan beberapa suplemen kesuburan. Jadwal futsalku yang tadinya tak tentu sekarang rutin tiap malam Minggu dan Minggu sore.
Sebulan dua bulan kemudian, bahkan satu tahun kemudian. Tetap tak ada perubahan.
Aku mulai sibuk mencari semua informasi tentang memperoleh keturunan, dari mempelajari buku kamasutra, googling di internet, membenahi pola makan, olah raga, bahkan sampai mendatangi terapis yang iklannya bersliweran di koran-koran. Tetap tak berhasil.
Hari itu aku terduduk lesu di masjid, sehabis salat Asar aku malas kembali ke posku. Aku masih duduk bersila dengan sebuah Al Quran kecil di tanganku. Bibirku komat-kamit membacanya. Hanya dengan ini kutemukan ketenangan jiwa.
“Assalamualaikum, Bang Jay,” sebuah suara menyalamiku dari belakang.
“Waalaikumsalam,” jawabku sembari mengakhiri mengajiku.
Keken sahabat dekatku, dia mengunjungiku di pabrik sore itu. Profesi kami sama, sekuriti di kawasan industri yang sama hanya beda perusahaan saja. Obrolan pun mengalir, Keken yang dari awal tahu masalah yang kualami memberiku solusi yang membuat mataku terbelalak lebar.
“Iya, Bang,” katanya manggut-manggut meyakinkan.
Ucapan Keken sore itu menjadi bahan renunganku. Haruskah aku kawin lagi? Tidak! Istriku adalah cinta pertama dan terakhirku. Akan kubahagiakan dia seperti janjiku ke penghulu dulu. Tak ada niat sedikit pun aku ingin memadunya dengan orang lain.