Jam weker di kamarku berbunyi nyaring. Pukul 02.30 dini hari. Udara lembab karena sehabis hujan membuatku malas bangun. Dengan mata masih tertutup ku raba meja kecil di samping tempat tidurku. Kumatikan weker itu. Ingin menarik selimutku ke atas lagi tapi aku harus terjaga. Ada yang harus kulakukan setiap malam. Tak peduli lelah menggelayutiku ataupun mata belum sekalipun terpejam. Aku ingin bermunajat. Aku ingin meminta. Walau 9 tahun rasanya bukan waktu yang singkat untuk menunda sebuah permintaan terkabulkan. Tapi aku akan terus meminta.
Aku beranjak bangun, kupandangi wajah istriku yang terbenam di antara bantal-bantal empuknya. Ku pegang pipi kirinya pelan-pelan untuk membangunkannya. Ia menggeliat.
“Bangun, Neng,” kataku lembut sambil mengusap pipi kirinya.
Dia cuma menggeliat. Matanya masih terkatup rapat.
“Ayah aja yang sholat, aku ngantuk,” gumamnya tanpa sedetik pun membuka mata.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, memang begitu ulah istriku. Susah untuk kuajak salat malam. Lelah telah lebih dulu membiusnya dengan chloroform yang paling ampuh. Setelah mengambil air wudu aku melaksanakan munajatku. Bersimpuh padaNya untuk sebuah pengharapan yang sudah 9 tahun belum dikabulkan. Satu yang kuyakini Dia tidak lupa. Mungkin ujianNya padaku belum bisa membuatNya menyatakan aku lulus seketika.
Di ruang tengah, di depan televisi sambil menikmati sepiring pisang goreng bikinan istriku tercinta.
“Neng, tadi Ibu telepon Ayah. Masalah anaknya Mas Budi, Ibu minta pendapat kita,” kataku pelan membuka percakapan sore itu.
“Anak Mas Budi yang mereka ingin kita adopsi itu?” jawabnya balik bertanya.
“Iya, Ibu nunggu persetujuanmu.”
“Memang Ayah mau kita membesarkan anak orang lain? Kita masih bisa kok mengandung anak sendiri!” katanya kecut sambil berjalan ke dapur.
“Kata orang Jawa ini kan pancingan, Neng.”
“Aku bukan orang Jawa!” teriaknya dari dapur.
Memang istriku adalah makhluk yang paling keras kepala, sekedar informasi memang dia bukan orang Jawa. Aku mengenalnya 12 tahun yang lalu saat kami masih tinggal dalam 1 area kontrakan. Aku salut akan semua kegigihannya hidup di kerasnya Jakarta. Sepeser demi sepeser mengumpulkan uang untuk biaya hidup demi meringankan beban kakak yang sebelumnya membiayainya. Seorang anak perantauan yang memesonaku dengan hidupnya yang penuh perjuangan.