Foto ilustrasi diambil dari Depositphotos.
Namaku Ade, bukan nama asliku. Ade adalah nama panggilan sayang dari kedua orangtuaku, mungkin karena aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara, jadi mereka lebih sering memanggilku Ade. Dari kecil kehidupan keluargaku berkecukupan, aku dan kakak perempuanku pun sangat dimanja oleh kedua orang tuaku. Kami sekeluarga tinggal di Jakarta bagian Selatan. Ayahku bekerja di kantor pemasaran mobil taxi Kopmitrans, di daerah Tangerang. Ibuku seorang penyanyi qosidah yang cukup terkenal di daerah tempat kami tinggal. Kakakku kuliah di jurusan Managemen Bisnis, dan aku sendiri masih sekolah di SMK dengan jurusan Teknologi Informatika.
Hidup memang seperti roda yang berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Tepat tahun 2007, tibalah masalah menimpa keluargaku. Usaha kantor pemasaran mobil taxi yang sudah bertahun-tahun ayahku jalani mengalami bangkrut dan kerugian besar, hingga mempunyai hutang yang banyak di bank. Ayahku dan karyawan lainnya sempat dipenjara. Akhirnya, dengan terpaksa ayahku harus menjual rumah, mobil, tanah, motor, dan harta lainnya untuk pelunasan bank dan tebusan di kantor polisi. Setelah itu kami mengontrak di rumah yang kecil dan sederhana. Cukup sulit memang untuk beradaptasi, kehidupan kami sekarang berbeda, tak seperti dulu. Ayahku sangat terpukul dengan kejadian ini, dia jarang pulang ke rumah dan tidak bekerja. Kakakku memilih menikah. Sekolahku pun jadi berantakan. Sedangkan ibuku sering sakit-sakitan, dia memilih pulang ke desanya di Jawa Barat, dan memutuskan untuk bercerai dengan ayah. Aku sangat bingung dengan keadaan ini, akhirnya aku ikut ibu pulang ke Jawa Barat.
Aku sangat merindukan keluargaku yang dulu, tapi sekarang sudah hancur. Tapi aku juga tak mau menyerah begitu saja, aku tak mau kedua orang tuaku bercerai. Kami harus bangkit dari keterpurukan ini. Entah apa yang ada di pikiranku, kukatakan pada orang tuaku bahwa aku mau ke luar negeri. Ayah sangat terkejut, dan dia langsung menyusulku ke Jawa Barat. Jelas mereka tidak setuju dengan keputusanku ini, karena aku ini anak manja, tidak bisa bekerja apa-apa. Di samping itu, umurku masih 17 tahun. Tapi keputusanku ini sudah bulat. Dengan sepenuh hati, kubersujud di kaki kedua orang tuaku untuk meminta doa restu mereka. Ibu dan ayah langsung menangis demi merelakan anak bungsu kesayangannya ini pergi ke luar negeri.
Taiwan negara tujuanku. Aku ditemani ayah pergi ke PJTKI di Jakarta Barat. Aku langsung mendaftar dan langsung diterima, karena mungkin tubuhku tinggi, dan wajahku terlihat dewasa, jadi tidak terlihat bahwa aku sebenarnya masih 17 tahun. Awalnya sangat sulit beradaptasi di penampungan. Aku tak terbiasa dengan keadaan ini, mandi harus antri, makan antri, sampaii tidur pun harus antri, pokoknya semua serba antri. Awalnya, hampir setiap hari aku menangis dan tidak bisa makan. Pernah sekali, saat waktunya makan, aku terdiam sendiri duduk di pojok, kulihat semua calon BMI makan begitu lahapnya dengan nasi dan lauk seadanya. Terharu hati ini melihat mereka rela menjadi BMI untuk memperbaiki kehidupan keluarganya. Dari situ aku belajar tentang arti sebuah perjuangan untuk hidup. Lama-kelamaan aku mulai terbiasa dengan kehidupan di penampungan, temanku banyak, dan aku mendapat julukan ‘si cantik’. Aku tak tahu seberapa cantiknya aku, tapi begitulah teman-teman memanggilku.
Setiap hari minggu ayahku datang menengok aku di penampungan. Tak terasa sudah 2 bulan aku di penampungan, tibalah saatnya aku mendapat job, dan tak lama lagi aku harus pergi ke Taiwan. Ada rasa senang dan sedih dengan keputusanku ini. Tapi inilah keputusanku, aku hanya ingin keluargaku kembali seperti dulu, dan ingin membahagiakan kedua orang tuaku.
Tepat hari keberangkatanku ke Taiwan, ibu dan ayah menemuiku. Kulihat ibu yang terus menangis sambil menyuapi bubur untukku, sambil sesekali membelai rambutku.
“Bu, jangan menangis. Ade pasti baik-baik saja di sana.” Ucapku sambil mengusap air matanya.
“Ibu dan ayah memang bukan orang tua yang baik, yang tidak bisa membahagiakan anaknya.” Air mata ibu semakin deras mengalir. Ibu juga memberi sepucuk surat untukku.
“Bu, jangan bicara seperti itu. Buat Ade, ibu dan ayah adalah kebahagiaan hidup Ade.” Kupeluk ibu dan ayah. Setelah itu aku harus berangkat ke bandara. Dengan tabah kutahan air mataku dan pergi.
Tepat jam 2 siang aku menaiki pesawat. Setelah duduk, kubuka surat yang diberikan ibu tadi dan langsung kubaca.
“Anakku tersayang, semoga kamu baik-baik saja di sana dan mendapatkan majikan yang baik. Anakku, jadilah yang terbaik dan jadilah anak yang berguna. Semoga kamu sukses, terangkat derajatnya, tercapai tujuannya, dan terkabulkan cita-citanya. Buktikan pada semua orang kalau kamu mampu membahagiakan orang tuamu. Itulah doa ibu setiap waktu. Jangan lupa terus berdoa, karena keadaanlah yang bisa membuat kamu sukses. Amin. Anakku, yang sabar ya sayang. Tabah menghadapi semuanya, inilah lambang kejayaan dan keberhasilan kamu. Cukup sekian, dari ibu yang selalu mendoakanmu. Wassallam.”
Setelah kubaca, aku menangis tersedu-sedu. Sungguh sakit hati ini harus meninggalkan orang tuaku tercinta, dan kekasihku yang kusayang.
Sesampainya di Taiwan, aku dibawa ke rumah majikan oleh agenku. Aku mendapat job menjaga nyonya berusia 45 tahun yang sakit kanker otak dan tidak ingat apa-apa. Ada suaminya yang masih sehat. Sejak pertama aku datang, perasaanku sudah tidak enak. Aku tidak diberi kamar tidur, akhirnya aku tidur di sofa. Setiap hari kurasakan ada kejanggalan dari suami pasienku, dia sering memperhatikanku. Suatu pagi, saat aku sedang mencuci baju di lantai 3, tiba-tiba saja dia sudah ada di belakangku, menarikku dan memelukku. Dengan sekuat tenaga aku berontak dan berlari hingga tak sengaja aku terpeleset di tangga, dan jatuh terguling dari lantai 3 ke lantai 2, setelah itu aku pingsan tak sadarkan diri. Saat aku sadar, tubuhku terasa sakit semua. Kaki kananku diperban tak bisa digerakkan. Di sampingku sudah ada agen yang menungguku, dia langsung bertanya padaku dan aku menceritakan semuanya. Tapi karena tidak cukup bukti, kami tak bisa lapor polisi. Dia hanya membantuku mencari majikan baru setelah aku sembuh nanti.
Satu minggu aku di rumah sakit dan tidak bisa jalan. Aku sangat khawatir dengan kaki kananku, karena benar-benar terasa kaku dan sulit untuk digerakkan. Akhirnya kakiku dironsen. Dokter mengatakan hasilnya pada agenku. Karena aku baru pertama kali datang ke Taiwan, jadi aku belum begitu mengerti bahasa mandarin. Agenku juga tidak bicara apa-apa, dia hanya menemaniku terapi setiap hari. Lama-lama, kakiku sudah bisa digerakkan dan bisa berjalan walau masih terasa sakit, tapi aku sangat senang. Perlahan-lahan aku bisa berjalan seperti biasa lagi.
Lalu agenku mengantarku ke tempat majikan baru. Di majikan yang kedua ini, aku juga tidak begitu lama bekerja, karena nenek yang kurawat sakitnya sudah parah dan akhirnya meninggal. Setelah itu, agenku mencari pekerjaan baru lagi untukku. Di sinilah awal kebahagiaanku. Di majikan yang ketiga ini, aku merawat nenek yang lumpuh total. Semua majikanku sangat baik, terutama nyonyaku. Dia mempunyai 4 anak laki-laki yang semuanya sudah besar. Mereka tidak membedakan aku, nyonya sangat memanjakan aku sama seperti anaknya sendiri. Hingga tak terasa 2 tahun sudah aku bekerja di sini.
Selama 2 tahun aku bekerja di sini, pekerjaanku sangat ringan. Setiap mereka pulang kerja, mereka selalu membelikan coklat cemilan kesukaanku. Mereka juga mengetahui umurku yang sebenarnya, bahkan mereka malah tambah sayang padaku. Mereka bilang aku sudah dianggap sebagai anak perempuannya. Mereka juga lebih suka memanggilku siao mei (adik kecil). Sungguh terasa bahagia. Mereka sudah seperti orang tuaku sendiri, dan bisa sedikit mengobati rasa rinduku pada keluarga. Tapi entah kenapa, selama 2 tahun ini juga setiap malam kaki kananku terasa sakit. Belum lagi aku sering sakit perut luar biasa di bagian rahimku. Aku juga sangat jarang datang bulan, menstruasiku tak lancar. Kadang 4 bulan sampai 6 bulan sekali aku baru datang bulan, itupun sangat sedikit. Sakit perutku sangat luar biasa rasanya, seperti ditusuk-tusuk. Hingga tak jarang aku sering pingsan.
Pagi itu entah sudah keberapa kalinya aku pingsan, dan aku langsung dibawa ke rumah sakit. Saat aku sadar, sudah ada dokter dan nyonyaku. Nyonya membelai rambutku dan berkata aku harus sabar dan baik-baik dengarkan perkataan dokter. Aku sangat takut, karena terlihat dari wajah nyonya yang begitu sedih. Lalu dokter mulai bicara.
“Siao mei, kamu harus banyak istirahat, dan seminggu 2 kali kamu harus terapi. Lalu kondisi rahim kamu harus diperhatikan.” Ucapnya.
“Memangnya ada apa dok?” tanyaku penasaran. Lalu dokter bertanya padaku tentang kejadian dulu waktu aku jatuh dari tangga itu. Aku ceritakan semuanya dengan panjang lebar dari awal sampai akhir.
Dokter bilang kali kananku ada pembengkakan di dalam tulang. Memang tidak ada patah tulang, tapi pembengkakan ini juga bahaya. Dokter bilang tidak perlu operasi, tapi aku harus teratur terapi dan minum obat. Dan kondisi perutku dokter tidak bisa memastikan, dia hanya bilang padaku bahwa yang aku alami ini tidak normal, umumnya disebut irregular mens (mens yang tidak teratur). Bila kondisi ini terus-menerus aku alami, maka tentu dapat berpengaruh pada mandul atau tidaknya aku ini. Aku terdiam antara percaya dan tidak percaya apa yang dikatakan dokter barusan. Umurku masih begitu muda. Dokter menyarankan aku untuk periksa teratur agar menstruasiku bisa lancar.
Mengapa aku bisa jadi begini? Aku terus menangis di pelukan nyonya. Majikanku sangat baik dan sayang padaku. Setiap seminggu 2 kali dan satu bulan sekali, majikanku selalu setia mengantarku ke rumah sakit. Bahkan aku tidak bekerja apa-apa, tapi setiap bulan tetap dapat gaji. Aku sangat berterima kasih pada majikanku. Dan sore itu nyonya memberiku gaun malam berwarna hitam, sungguh mewah gaun itu. nyonya memintaku memakai gaun itu nanti malam untuk makan malam. Akupun menurutinya, kupakai gaun itu dan bermake-up sedikit. Tapi setelah kupakai gaun itu, aku dijemput anak pertama nyonya. Achi keke, begitulah aku memanggilnya. Saat itu dia sangat tampan dan menuntunku masuk mobilnya. Sesampainya di restoran, Achi keke kembali menuntunku ke dalam dan duduk di salah satu meja makan. Tapi yang aku heran, tidak ada nyonya dan tuanku, kami hanya berdua di restoran itu. Sungguh bingung aku, ingin aku bertanya tapi aku tidak berani.
“Siao mei, kamu mau makan apa?” tanyanya.
“Apa saja boleh.” Jawabku. Lalu Achi keke memesan makanan.
“Achi ke, maaf. Apakah kita hanya makan berdua saja? Tuan dan nyonya di mana?” tanyaku lagi.
“Mama saya tidak kasih tahu kamu ya?” aku hanya menggelengkan kepala.
“Mereka mengharapkan kita menikah.” Katanya lagi, membuatku terdiam dan tak percaya. Mungkinkah mereka baik padaku hanya untuk ini? Tapi siapakah aku ini? Hingga mereka berharap aku menikah dengan anak laki-lakinya. Acara makan malam itupun aku lebih banyak diam. Achi keke pun mengerti kalau aku masih kaget. Sesampainya di rumah, aku langsung bertanya pada nyonya yang sudah ada di kamarku. Ternyata benar nyonya berharap aku menikah dengan anaknya, walaupun mereka sudah tahu kekuranganku ini. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Mereka sudah sangat baik padaku. Haruskah aku menerima ini dan mengorbankan cintaku? Ya Allah, aku tahu Engkau menyayangiku, tapi aku juga tak sanggup jauh dari orang tua dan orang yang aku cintai di Indonesia sana. Akhirnya aku meminta waktu untuk berfikir, setiap waktu aku berdoa dan meminta petunjukNya. Selang beberapa waktu, aku memberi jawaban pada nyonya. Aku berkali-kali meminta maaf padanya karena aku tak bisa menikah dengan anaknya. Aku tau nyonya sangat kecewa, tapi dia bisa menerima keputusanku dan masih sayang padaku sama seperti dulu, sebagai anak perempuannya.
Sekarang aku hanya bisa pasrah pada Yang Kuasa, aku harus bisa menerima takdirNya untukku. Aku percaya Allah mempunyai rencana untukku, karena bagiku kebahagiaan sesaat tidak akan berarti, dibanding kebahagiaan yang akan aku capai suatu saat nanti. Bagiku, kedua orang tuaku dan orang-orang yang aku cintai adalah kebahagiaanku. Sampai sekarang aku juga belum cerita tentang keadaanku ini kepada orang tuaku. Aku tak mau membuat mereka sedih. Biarlah kupendam sendiri sampai kapanpun. Dan semoga Allah memberikan jodoh yang terbaik di suatu saat nanti untukku, yang bisa menerima keadaanku ini. Amin.