Purna buruh migran yang pernah bekerja di Taiwan sekaligus mengabdi menjadi guru TKI ini adalah Eni Mujiati atau biasa dikenal di lingkungan Majelis Taklim Yaasin Taipei (MTYT) dengan nama panggilan Nuraeni yang kini tinggal di kampung halamannya sambil menikmati hasil dari buah usaha yang ditanamnya sewaktu masih merantau di negeri Formosa. Sebagaimana mantan Buruh Migran Indonesia (BMI) pada umumnya, Nuraeni pun menjalani suka dan duka dalam menjalani proses demi bisa menjadi seorang BMI yang resmi dan aman. Ketika dihubungi oleh IndosuarA, Nuraeni yang baru saja kembali dari kebun karet menceritakan semua pengalaman dibalik kisah suksesnya yang bisa menjadi contoh bagi teman-teman Ismania yang masih bekerja di Taiwan.
Hampir Putus Asa Saat di Penampungan
Mulai dari sebelum menjadi BMI, dan saat menjadi BMI hingga memutuskan untuk kembali ke tanah air, Eni sudah mulai menjemput harapan melalui usaha yang dirintisnya. Sebelum tinggal di Palembang, keluarga besar Nuareni adalah asli dari Pulau Jawa, tepatnya dari kota Madiun.
“Saat itu orang tua saya ikut program transmigrasi, ke Sumatra. Saya ikut dan tinggal di Palembang ini sejak usia 4 tahun,” jelas Nuraeni.
Setelah tamat sekolah lanjutan tingkat pertama, Nuraeni memilih untuk merantau ke luar negeri demi bisa memperbaiki perekonomian keluarga. Ia pun harus rela berpisah dengan keluarga besarnya demi bisa belajar bahasa dan tinggal di penampungan di Jakarta. Selama di penampungan itulah Nuraeni merasakan godaan yang sangat besar. “Pelajaran bahasa yang bagi saya cukup susah, ditambah guru pengajar (laoshi) nya yang cukup temperamental itu bukannya membuat saya bisa belajar, justru membuat saya ingin mengundurkan diri (MD),” aku Nuraeni.
Namun dikarenakan tidak tahu jalan untuk pulang ke Palembang dari Jakarta, maka Nuraeni batal mengundurkan diri dan terpaksa kembali proses untuk bekerja ke Taiwan. Tuhan Maha Adil. Saat di penampungan mengalami berbagai permasalahan yang membuatnya hampir putus asa, ternyata setibanya di Taiwan Nuraeni yang kini tengah menyekolahkan dua anak laki-laki terbesarnya di Universitas terkenal di Yogyakarta ini mendapat berbagai kemudahan. Di antaranya mendapatkan majikan yang cukup baik dengan lokasi yang strategis, di kota Taipei City, tak jauh dari gedung tinggi 101, serta pekerjaan yang cukup ringan.
Job Nuraeni adalah menjaga kakek (akong) yang masih cukup sehat. Jika menemani akong jalan-jalan ke taman, teman-teman Nuraeni juga sering bercanda mengatakan kalau akong yang dirawat Nuraeni paling ganteng di antara akong lainnya. Kepergian Nuraeni yang pertama bulan September 2001 hingga selesai kontrak tahun 2004 memang belum mendapat waktu libur. Baru saat memasuki kontak kerja yang kedua, Nuraeni mendapatkan jatah libur meski hanya setengah hari. Waktu libur yang sangat singkat itu dipergunakan oleh Nuraeni untuk aktif dan ikut berorganisasi di lingkungan Mesjid Kecil Taipei.
Tak jarang akong pun dibawanya ke tempatnya menghabiskan waktu libur termasuk ke Masjid ini.
Sadar Tak Selamanya Mau Jadi BMI, Eni Sisihkan Uang
Menyadari betul kalau dirinya tidak akan selamanya menjadi BMI disertai melihat peluang usaha di sekitar tempat tinggalnya di Palembang yang banyak menjual beli perkebunan karet maka Nuraeni menyisihkan hasil bekerjanya untuk dipakai membeli kebun karet yang sudah siap dipanen. Ia terus mengumpulkan uang yang didapatnya demi bisa membeli kebun karet untuk masa depan anak-anak serta keluarganya. Satu hektar kebun karet yang sudah ditanami saat itu berharga sekitar Rp 25-35 juta. Hingga kontrak yang kedua harga kebun naik cukup tinggi menjadi Rp 70 juta setiap hektarnya.
Sekembalinya dari Taiwan, lahan karet itu yang menjadi tumpuan hidup Nuraeni dan keluarga. Setiap hari, tiga kali antara pagi pukul tujuh, siang pukul sepuluh dan sore hari selepas ashar Nuraeni dan suami serta pekerja lainnya pergi ke kebun untuk mengambil panenan karet. Karet-karet yang sudah ditadah itu lalu ditampung di sekitar rumah hingga sampai satu bulan ada Bandar yang datang membeli hasil karetnya.
Per satu kilogram karet mentah itu dihargai lima belas ribu rupiah. Nuraeni beserta suami, Komari turun tangan sendiri dalam mengurus kebun maupun penjualan karet mentahnya. Saat ini, Nuraeni memiliki sebanyak 5 hektar kebun karet. Tiga hektar diurus sendiri dan dua hektar lainnya berbagi hasil (paroan) dengan orang lain.
Dengan jangka waktu panen diperkirakan sampai 45 tahun yang akan datang, dikalikan penghasilan penjualan karet per hektar antara 5-6 juta rupiah per bulan. Memang fantastis, penghasilan dari menjual karet ini jadi sebuah penghasilan yang luar biasa, melebihi penghasilan pegawai negeri sipil sekalipun! Selain menjadi pemilik lahan kebun karet, Nuraeni yang memiliki 3 orang anak ini juga memiliki usaha sampingan lain yaitu toko serba ada yang lokasinya berada di rumahnya.
“Yah lumayan kan daripada anak jajan ke tempat lain lebih baik jajan di warung sendiri. Saya juga kalau saat di rumah kan tidak ada pekerjaan lain jadi kerja sambilan,” ujar Nuraeni yang lahir tanggal 10 Juni 1976 ini.
Mengajar TK Setelah Pulang Kerja
Salah satu hobi Nuraeni adalah mengajar dan berbagi, seperti yang sering dilakukannya sewaktu masih aktif di organisasi MTYT saat masih bekerja di Taiwan. Karenanya Nuraeni meluangkan waktu senggangnya sore hari mulai pukul dua siang sampai dengan lima sore dengan mengajar anak-anak usia dini di sekolah TK yang bernaung di Yayasan Pondok Pesantren An-Nur. Anak ketiga Nuraeni yang masih lima tahun pun belajar di sekolah tersebut yang berjarak sekitar 1 km dari tempat tinggalnya. Sekolah taman kanak-kanak ini cukup besar, dengan jumlah murid mencapai 147 orang yang dibagi ke dalam beberapa ruangan kelas.
Nuraeni yang mempunyai seorang kakak dan seorang adik dari pasangan suami istri Maringan dan Kaderi ini mengerti benar bagaimana peran orang tua, khususnya seorang ibu bagi keluarga dan anak-anaknya. Karenanya ia sangat kasihan kepada teman-teman BMI yang terus-menerus merantau mencari uang di Negara orang dengan meninggalkan anak serta keluarga.
“Karenanya saya berpesan kepada teman-teman di Taiwan, kalau sudah ada modal, sebaiknya pulang saja ke Indonesia, buka peluang usaha di kampung saja. Jangan terus-menerus dikelabui oleh mewahnya kehidupan di luar negeri. “ Ungkap Nuraeni. “Meski penghasilan kecil, asal kita mau kerja keras dan terus berdoa, insya Allah kehidupan kita akan berkah. Tuhan akan membukakan pintu rezeki dari mana pun tanpa bisa kita duga.” Tutup Nuraeni mengakhiri wawancara dengan Indosuara. (ol)