Awal Maret 2016 di sebuah mall cukup terkenal di kota Solo tampak kegembiraan terpancar dari wajah sepasang suami istri mantan tenaga kerja buruh migran (BMI) asal Sragen. Ialah Anik Purwanti dan suaminya, Giyanto yang pada Solo Great Seal tengah berlangsung, mereka mendapat piagam penghargaan dari Bank Indonesia – Solo atas kiprah pasangan suami istri ini dalam usaha rumahan crispi jamur yang dikelolanya, bernama Ducrija.
“Senang banget, semoga ini jadi jalan Ducrija menjadi lebih diketahui secara nasional,” komentar Anik yang diamini oleh suaminya saat diwawancara Indosuara.
Ngobrol lebih banyak dengan Anik yang ternyata mantan BMI Singapura dan Hong Kong ini dijamin wawasan kita tentang dunia olahan jamur akan semakin bertambah. Anik yang semula tidak pernah tahu tentang dunia jamur, setelah merintis usaha yang dilakoninya sejak enam tahun silam sedikit banyak jadi punya pengetahuan tentang budidaya jamur dan pengolahanya. Khususnya jamur tiram, Anik siap berbagi informasi dengan siapapun yang berminat.
Tidak mudah bagi Anik dan suami mengelola usaha keripik jamur Ducrija (disingkat dari kata Dunia Crispy Jamur) yang tepat 10 Juli 2016 nanti genap 6 tahun dikelolanya. Ada kisah perjuangan yang sarat makna dialami Anik dan suami dalam membawa Ducrija sampai berhasil diketahui umum lebih luas seperti sekarang ini.
Anik kelahiran Sragen, Oktober 1982 pernah bekerja di Singapura dan Hongkong. Sementara suaminya, Giyanto pernah bekerja di Malaysia. Keluarga kecil yang sudah dikaruniai seorang putri berusia 3 tahun ini mempunyai hobi yang sama yaitu jalan-jalan dan menikmati wisata kuliner. Selama bekerja di luar negeri, Anik bergabung di organisasi IPMH Holaqoh yang sekarang jadi BMT IPMH Halaqoh.
Waktu Anik bekerja di Hongkong selama 9 bulan, ayah Anik pulang menghadap Sang Pencipta tapi Anik tidak diberi tahu. Setelah lima bulan Anik cari-cari tahu tentang kabar ayahnya yang susah dihubungi barulah didapat jawaban kalau ayah tercintanya sudah tiada.
Di kontrak kedua, ibu Anik tercinta mengalami kecelakaan jatuh dari sepeda motor, dan pergelangan tangannya patah. Setelah tanda tangan kontrak ketiga Anik berpikir ulang apa yang terjadi selanjutnya? Lalu tepat empat setengah tahun bekerja di Hong kong Anik mengambil izin cuti.
“Saat cuti itulah saya tidak balik lagi ke Hong Kong. Nah, dari disinilah perjuangan baru dimulai…” cerita Anik mengenang masa lalunya.
Latar belakang Anik jadi tenaga kerja wanita (TKW) ialah karena terlilit hutang yang banyak. Selepas lulus sekolah kejuruan (SMK) melalui sekolahnya Anik mendaftarkan diri jadi TKI ke Jepang. Biayanya dari pinjam bank konvensional dan itu tidak sedikit. Tapi ternyata pihak PT kabur dengan membawa uang calon TKI.
“Jadi hasil kerjaku selama di Singapura 2 tahun, dan Hongkong 4, 5 tahun, untuk membayar hutang yang bunganya terus berbunga saja,” kenang Anik penuh duka. Meski bertahun-tahun kerja di luar negeri, Anik mengaku selama itu ia tidak berhasil membawa uang.
“Intinya saya gagal. Setelah pulang saya bingung mau ngapain. Kemampuan tidak punya, modal tiada, tapi saya memutuskan untuk tetap di rumah menemai ibu saya. Alasannya karena saya ingin bisa tinggal dan makan dengan ibu tanpa harus ke luar negeri lagi.”
Salah satu upaya yang dilakukan Anik ialah dengan menghubungi mentor yang pernah mengisi training kewirausahaan di Dompet Dhuafa Hong Kong yang berjudul “Monyet Saja Bisa Cari Duit”. Anik diarahkan untuk mengikuti pelatihan di Institute Kemandirian Dompet Dhuafa, tapi belajarnya mesti di Jakarta selama tiga bulan.
Merasa tidak sanggup, Anik kembali mencari bantuan kepada orang terdekat, hingga kakak Anik menyarankan untuk mencoba buka usaha jamur. Anik yang sangat minim informasi akan dunia jamur pun mulai mencari informasi seputar jamur. Dari belajar budi daya jamur, menjual jamur press ke pasar tradisional, hingga menjual jamur crispi di lokasi strategis, alun-alun kota Sragen dengan menggunakan gerobak dorong. Ya, Anik dan suami sempat menjadi pedagang kaki lima jamur crispi sebelum punya industri rumahan seperti sekarang ini. Perjuangan dari nol benar-benar dilaluinya dengan penuh kesusahan.
Seiring berjalannya waktu Anik makin banyak teman dan terus belajar dari yang sudah berpengalaman. Hingga Anik berkenalan dengan seorang pengusaha keripik buah asal Sragen yang juga mantan TKI Malaysia, ialah Asmadi. Dari sini Anik semakin banyak belajar bagaimana cara mengemas produk supaya menarik dan banyak disukai orang. Asmadi juga membantu penjualan (marketing) produk jamur crispi yang diolah Anik.
Meski berjalan lambat dan tertaih-tatih, setiap keping keuntungan Anik sisihkan untuk membeli peralatan dan mengembangkan pasar usahanya. Sebagai bocoran untuk yang berminat wirausaha, peralatan yang dipakai Anik untuk memproduksi dan mengemas jamur olahannya total alat yang berbeda-beda itu harganya bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah. Untuk bahan bakunya, selama ini jamur didapat Anik dari petani jamur setempat.
Hingga sekarang usaha crispi jamur Anik dan suami menjadi binaan Bank Indonesia – Solo. Crispy Jamur “Ducrija” milik Anik dan suami sering diajak pameran ke beberapa kota hingga ke luar provinsi. Ducrija pernah mengisi di pameran expo perbankan UKM binaan Bank Indonesia – Solo yang bertempat di Fakultas Ekonomi (UNS) Solo dalam rangka Peringatan Hari Konsumen Nasional tahun 2015. Juga pernah mengikuti pameran Sragen Edu Fair dan beberapa pameran lainnya. Kabar gembira lainnya, saat ini crispi jamur Ducrija milik Anik sedang proses sertifikasi halal.
“Ya, target saya dan suami tahun ini memang mendapatkan sertifikat halal dan mempunyai dapur produksi sendiri. Mohon doa serta dukungannya ya,” harap Anik yang sudah bisa memperkirakan dari satu kilogram jamur tiram basah diolahnya bisa jadi 7-8 ons crispi jamur. Crispi jamur yang diolah Anik saat ini pun sudah memiliki beberapa rasa selain rasa original, yaitu rasa keju, rasa pedas, dan rasa sapi panggang.
Meski usahanya sudah bisa dibilang mapan dan berhasil, namun Anik dan suami masih merasa jauh dari kata sukses karena menurut Anik sukses itu apabila hidup dan keberadaannya sudah dirasakan bermanfaat untuk orang lain di sekitarnya.
Karena itu Anik membuka pintu rumahnya yang beralamat di Ngarum Ngerampal, Sragen ini dengan senang hati jika ada teman yang mau bekerja sama atau belajar mengolah jamur darinya.
“Jangan takut pulang ke tanah air, meski kita harus berjuang dan merintis usaha mati-matian tapi itu akan lebih baik karena bisa berkumpul dengan keluarga. Merawat anak dan suami serta berada di sisi mereka setiap saat insya Allah menjadi lebih berkah untuk hidup kita. Dengan semua itu perjuangan kita akan terbayar manakala bisa melihat senyum mereka.” Demikian pesan Anik untuk teman-teman yang masih galau, bingung mau melakukan apa jika nanti sudah berada di kampung halaman.
Anik juga membuka reseler untuk penjualan dan merketing produk Ducrija dengan keuntungan yang bisa didiskusikan hingga kedua belah pihak sama-sama untung. Dengan sistem pembelian borongan, Ducrija bisa dikirim via paket dengan ongkos kirim tentu saja ditanggung pembeli. Crispi jamur hasil produksi Anik bisa bertahan lama sampai delapan bulan. Ini menandakan olahan Ducrija milik Anik asli tanpa bahan pengawet dan pastinya menyehatkan.(ol)