Foto: rilis sumber Kabar BUMI
Perjuangan selama tiga tahun sejak tahun 2014, untuk mendapatkan keadilan bagi Erwiana akhirnya membuahkan hasil. Majikan sudah dipenjara selama 6 tahun dan pada tanggal 21 Desember 2017 hakim Winnie Tsui mengabulkan tuntutan ganti rugi dari Erwiana sebesar HKS 809.430 ($ 103.489).
“Saya sangat senang sekali terhadap keputusan ini, saya berharap ini menjadi pelajaran bagi semua majikan jahat, dan saya berharap pemerintah negara Hong Kong dan Indonesia bisa memperbaiki kebijakan untuk buruh migran” ungkap Erwiana di acara konferensi pers di Jakarta 9 Desember 2018.
Kemenangan atas kasus Erwiana merupakan perjuangan bersama berbagai pihak. Erwiana juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan turut berjuang mendapat keadilan.
Kasus yang dialami Erwiana hanya salah satu dari sekian banyak kasus yang dialami buruh migran Indonesia yang menuntut keadilan dan ganti rugi di negara penempatan. Masih sangat banyak kasus yang tidak ditangani, dan tidak mendapatkan haknya. Seperti kasus yang dialami oleh Dolfina Abuk, Yufrinda Selan BMI di Malaysia, dan kasus-kasus lainnya di berbagai negara penempatan.
Minimnya akses keadilan yang didapat oleh buruh migran Indonesia dan keluarganya, selain tidak semua negara penempatan menyediakan mekanisme penuntutan ganti rugi, di Indonesia juga belum disediakan mekanisme penuntutan ganti rugi yang mudah diakses oleh buruh migran dan keluarganya. Minimnya pemahaman akan hak untuk menuntut keadilan juga menjadi satu persoalan tersendiri.
Selama 2017 sebanyak 226 BMI meninggal dunia di negara penempatan karena kecelakaan kerja, sakit, dan juga meninggal karena penganiayaan dan korban pembunuhan. KABAR BUMI memberikan data tahun 2016 menunjukkan terdapat 352 kasus, BMI yang mengalami penganiayaan sebanyak 9 kasus, dan pulang dalam keadaan sakit sebanyak 4 kasus.
Melihat kenyataan ini, seharusnya pemerintah menciptakan pelayanan pengobatan gratis bagi BMI yang pulang dalam keadaan sakit dan cacat, karena kecelakaan kerja dan juga karena korban penganiayaan.
KABAR BUMI menyayangkan UU PPMI No.18 Tahun 2017 yang baru diundangkan pada tanggal 22 November 2017. Perlindungan justru diberikan kepada Asuransi/BPJS. Padahal seperti kasus yang dialami Erwiana dimana harus mengunjungi psikolog dan berobat dalam jangka panjang pemerintah tidak menyediakan.
Sampai saat ini, pemerintah hanya menyediakan proses mediasi, yang ujung dari perundingan banyak yang akhirnya kompromi dan hak dari buruh migran tidak semua didapatkan. Kasus perdagangan manusia juga harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai kasus perdagangan manusia sesuai UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) No.7 Tahun 2001.
Nyatanya walaupun kasus TPPO namun banyak hakim masih menggunakan UU No.39/2004 sebagai acuan dan menghukum pelaku sangat rendah seperti kasus terbunuhnya Dolfina Abuk di Malaysia, dimana pelaku hanya dihukum 6 bulan penjara.
Kemenangan Erwiana di pengadilan Hong Kong harus menjadi pelajaran bagi pemerintah Indonesia bahwa keadilan bagi BMI karena adanya mekanisme dan dampingan dari organisasi buruh migran. Sudah saatnya pemerintah mengakui organisasi buruh migran dan melibatkan dalam setiap kebijakan buruh migran dan keluarganya.
Pemerintah harus bersungguh–sungguh menyediakan pelayanan bagi buruh migran, bukan menyerahkan kepada PPTKIS dan asuransi. (Ol)