Foto: Ilustrasi perdagangan orang. (suara.com/oke atmaja) sumber berita sbmi.or.id
Sejak Januari 2018 hingga Mei 2020, ada sebanyak 25 kasus pekerja migran Indonesia menjadi korban perdagangan orang. Menurut Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), selama 4 tahun terakhir, kasus perdagangan orang tersebut menggunakan modus pengantin pesanan.
Kasus-kasus itu disampaikan oleh Sekjen SBMI, Boby Alwi saat peluncuran kertas laporan investigasi bertema ‘Jeratan Perdagangan Orang Dalam Bisnis Penempatan Buruh Migran’ dalam rangka Peringatan Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia secara daring, Kamis (30/7/2020).
Namun dari 25 kasus perdagangan orang Pekerja Migran Indonesia (PMI), hanya 13 kasus yang korbannya berani melapor ke Kepolisian. Sisanya tidak atau belum melaporkan ke Kepolisian.
Hal itu disebabkan beberapa faktor, pertama ada yang beberapa korban pengantin pesanan masih berada di Tiongkok, kedua korban memilih untuk tidak menempuh jalur hukum. Dan ketiga, pelaku yang memperdagangkan PMI itu adalah keluarga dekat.
Laporan investigasi SBMI menemukan adanya faktor pendorong dan penarik dalam proses migrasi buruh migran Indonesia keluar negeri. Faktor pendorongnya antara lain kemiskinan, susahnya lapangan kerja. Sementara faktor penariknya antara lain adanya pangsa pasar kerja yang terbuka luas di luar negeri.
Dari 25 kasus PMI yang jadi korban perdagangan orang itu paling banyak berasal dari Kalimantan Barat 9 orang, lalu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan. Kalimantan Barat korban paling banyak lantaran dari sana banyak etnis keturunan Tionghoa.
“Semua korban tingkat pendidikannya rendah, yakni lulusan SMP, SMA bahkan ada yang tidak tamat SD,” ujar Boby.
Korban rata-rata mengalami eksploitasi secara fisik dengan diperkerjakan tanpa dibayar upahnya. Kemudian mengalami berbagai bentuk kekerasan, seperti penganiayaan dengan pemukulan hingga luka-luka.
Selain itu, pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan perekrut dan penyalur pekerja migran tersebut adalah pemalsuan dokumen. Salah satunya adalah manipulasi usia PMI yang rata-rata berusia anak di bawah umur.
“Dari 25 kasus yang kami dampingi itu ada yang usianya 14 tahun di dokumen dinaikkan usianya menjadi 18 tahun,” ungkap Boby.
Oleh karena itu, SBMI mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
Pemerintah pusat dan daerah juga harus menyelesaikan kasus perdagangan orang di kalangan PMI secara komprehensif, salah satu akar permasalahannya adalah lapangan kerja.
“Kementerian Ketenagakerjaan harus memberantas para calo dengan membuat Sistem Informasi Terpadu yang bisa diakses oleh calon buruh migran, dan menjadi alat kerja bersama antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten, dan Desa,” jelas Boby.
Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran (BP2MI) harus memperkuat pengawasan, agar penempatan pekerja migran Indonesia tidak masuk dalam jeratan perdagangan orang. (0l)