Foto dok pribadi Indosuara.
Sebut saja Ami (nama samaran) seorang PMI di Kaohsiung yang menjaga pasien orang tua terkena demensia (pikun) mengatakan pada Indosuara bahwa ia harus menghadapi tantangan pekerjaan setiap harinya menghadapi pasien yang selalu menendang, memukul dan marah. Ia pun setiap hari harus bersabar dengan menghindari barang-barang yang melayang sengaja dipukulkan ke arahnya.
Tak ada waktu makan dan istirahat
Tak ada alasan apapun, pasiennya selalu melemparkan barang-barang di sekitar ke arahnya. Ami telah melaporkan ke agensinya mengenai hal tersebut, tetapi agensinya selalu bilang sabar dan sabar. Semakin hari pasiennya pun semakin menjadi-jadi. Ia pun semakin menderita akibat perlakuan sang pasien.
Setiap hari Ami harus siap bekerja menjaga pasien dari pukul 6 pagi hingga 5 sore. Dari taman ke rumah jalan terus sepanjang hari itu dan ia mulai capek karena tanpa berhenti. Terkadang ia lapar dan harus makan tetapi pasiennya tetap ingin mengajaknya jalan. Jadi, ia pun baru bisa makan pada tengah malam pukul 12.
Ami hanya tinggal berdua dengan pasiennya, jadi ia kesulitan untuk mengatur jadwal makan, istirahat dan lain sebagainya. Misalkan saat siang ketika ia makan, pasiennya tiba-tiba sudah lari dan ia pun harus mengejarnya. Jika tetangga melihatnya, ia disangka tidak memperhatikan pasiennya.
Ami tidur di lantai 4, kamarnya berdampingan dengan pasiennya. Setiap waktu saat ia mulai beristirahat karena lelah, ia mencoba tidur tetapi sang pasien menghampirinya dan membangunkannya dengan cara melempar barang-barang yang ada di sekitar dan meminta untuk keluar jalan-jalan ke taman. Tak peduli meskipun itu tengah malam. Sampai ia benar-benar depresi.
Depresi ingin bunuh diri
Sampai suatu waktu pada bulan Maret, ia mengatakan pada agensi bahwa ia benar-benar sudah tidak tahan. Sang pasien semakin menjadi dengan menendangnya di bagian ulu hati hingga sakit, menjambak rambutnya dan mencakar serta memukulnya dengan balok kayu tempat tisu.
Selama 6 bulan dari September 2019 hingga Maret 2020, ia akhirnya menyerah dan sempat ingin bunuh diri. Ia pun akhirnya nekat makan obat sakit kepala dalam dosis banyak dan berkata pada majikan biarkan saja jika ia meninggal. Karena makan obat terlalu banyak, ia sempat mengalami sesak nafas dan kondisi sakit. Majikan pun membawanya ke rumah sakit. Namun dokter tidak berbuat apa-apa bahkan dokter mengira gejala corona.
Ami pun akhirnya tetap sabar merawat sang pasien hingga ia meninggal pada tanggal 30 Juni lalu. Selama masa-masa tersebut ia sempat melaporkan ke 1955 mengenai kejadian tersebut. Pihak 1955 pun sempat menawarkan bantuan untuk menjemputnya tetapi ia bertanya balik, jika ia dijemput siapa yang akan menjaga pasiennya. Singkat cerita ia pun tetap bertahan di sana.
Bekerja di luar job
Setelah pasien meninggal pada tanggal 30 Juni, agensi memindahkannya untuk bekerja di tempat lain. Namun di tempat lain ia malah dipekerjakan untuk bersih-bersih gedung setingkat 20 lantai dan dibayar NT$ 1000 per hari. Namun semua uang gajinya tidak boleh diberikan kepadanya secara langsung melainkan harus melewati agensi. Jadi hingga sekarang ia belum pernah menerima gaji dari agensi.
Tak kuat juga dengan kesehariannya yang bekerja di luar job, akhirnya ia pun melaporkan pada LSM setempat. Pihak LSM pun menjemputnya dan kini ia ditangani oleh shelter atau tempat penampungan LSM/ NGO setempat. Hingga kini Ami masih menunggu tawaran job terbaru. Bedanya, kini ia dipekerjakan secara mandiri atau direct hiring tanpa jasa agensi.