Foto diambil dari CNA.
Serikat buruh di Taiwan yang didukung oleh satu partai yang berkuasa, mengungkapkan kemarahan mereka kemarin saat berdemo mengenai kebijakan pemerintah untuk memastikan bahwa para pekerja di Taiwan tidak boleh bekerja lebih dari enam hari berturut-turut.
Tidak lama setelah berkuasa tanggal 20 Mei lalu, Kabinet mengumumkan bahwa mereka akan menghimbau para majikan agar para pekerjanya tidak bekerja secara terus-menerus selama 6 hari, dimana kebijakan tersebut berlaku mulai tanggal 1 Agustus.
Namun beberapa masalah timbul sejak kebijakan tersebut dikeluarkan. Beberapa di antaranya, perusahaan bus dan kereta yang menyuarakan kekhawatiran perihal kesulitan dengan penjadwalan transportasi yang fleksibel.
Akibatnya, kabinet mengumumkan pada Sabtu lalu bahwa mereka akan menunda pemberlakuan kebijakan tersebut hingga 1 Oktober nanti. Kabinet mengatakan kebijakan tersebut berdasarkan Pasal 36 dari Labor Standards Act dimana menyatakan bahwa pekerja tak bisa bekerja selama 6 hari berturut-turut tanpa libur.
Keputusan pemerintah yang menunda kebijakan tersebut akhirnya memicu protes dari serikat buruh dan kecaman dari anggota DPR dari Democratic Progressive Party (DPP) atau Partai Progresif Demokratik, Chung Kung-chao (鍾 孔 炤).
Chung mengatakan ia sangat mengutuk Depnaker Taiwan (MOL) karena lebih membela kepentingan majikan dengan memutar fakta hukum dan mencoba untuk melanggar kekuasaan DPR.
Dalam siaran pers hari Sabtu lalu, Kementerian Tenaga Kerja mengatakan jika penetapan kebijakan tersebut membutuhkan dua bulan lagi untuk menilai apakah satu hari seminggu adanya libur bisa dilaksanakan secara fleksibel.
Sementara itu, seperti yang dikemukakan dari pekerja media lokal seperti Liberty Times, dan Apple Daily, serikat buruh dari media Layanan Televisi Publik dan Badan Pusat Berita mengeluarkan pernyataan bersama yang menuntut adanya kebijakan yang tak melelahkan karyawannya.
Di lain pihak, Presiden konfederasi Kaohsiung, Chiang Chien-hsing (江健興), mengatakan bahwa Kabinet dinilai telah bimbang atas kebijakannya mengenai berapa banyak hari libur pekerja yang harus dinikmati, apakah 2 hari seminggu atau sehari seminggu.
Dengan membiarkan para pengusaha memberlakukan 12 hari kerja secara berturut-turut tanpa libur, dinilai bahwa hal tersebut melanggar Labor Standards Act.
Jika Kementerian Tenaga Kerja dan instansi pemerintah lainnya tidak menyesuaikan sikap mereka terhadap hukum, maka akan menghadapi sikap protes masyarakat secara terus-menerus, ancamnya.