Foto ABK Tongkang saat menghadiri acara yang diselenggarakan imigrasi pada Moon Festival bulan lalu. Foto diambil dari CNA.
Banyak permasalahan yang terus menimpa ABK di Taiwan ini. Berkaitan dengan hal ini, IndosuarA mencoba menelusuri hal-hal apa saja yang menyebabkan banyaknya kecelakaan kerja ataupun penindasan oleh majikan dan agensi terhadap para ABK. Kami mencoba memantau melalui survei kepada BMI di beberapa pelabuhan di tiga kota besar ABK dipekerjakan yakni Yilan, Dongkang dan Penghu. Rata-rata responden yang diambil telah bekerja lebih dari dua tahun. Adapun survei ini berisi tentang dasar pemilihan mereka untuk bekerja sebagai ABK, pengalaman kerja sebagai ABK, dan pengetahuan terhadap standar keselamatan kerja.
Menjadi ABK Bukan Pilihan Mereka
Dari hasil survei yang didapat, ternyata banyak ABK yang memilih bekerja sebagai ABK di Taiwan karena tidak punya pilihan lain. Terbukti 50% responden memilih menjadi ABK karena tidak ada pekerjaan lain dan hanya 25% yang memilih karena benar-benar menyukai bekerja di kapal. Hal ini mungkin yang membuat mereka kurang paham benar atau terkesan masa bodoh terhadap standar keselamatan kerja selama bekerja di kapal.
Tidak Punya Pengalaman Bekerja di Kapal
Sekitar 30% responden menyatakan tidak mempunyai pengalaman sebagai ABK dan tidak pernah mengikuti pendidikan kelautan. Hal tersebut sangat memprihatinkan. Pada umumnya jika ingin bekerja di bidang kelautan, minimal harus memperoleh informasi yang berkaitan dengan bidang tersebut. Seperti yang dialami oleh Rihandi, ABK asal Tegal. Dikarenakan tidak punya pengalaman bekerja sebagai ABK, dan ia pun sering mabuk laut, akhirnya harus dipulangkan ke Indonesia. Persoalannya, sudah tidak ada lagi majikan yang mau menerimanya bekerja di kapal. Niat mengais rezeki untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya terpaksa harus dibuang dikarenakan terbuai kata-kata sponsor dan PJTKI di Indonesia.
Tidak Mengetahui Standar Keselamatan Kerja
Hasil survei yang ditemukan IndosuarA mengenai pengetahuan standar operasional keselamatan bekerja di kapal sungguh membuat tercengang. Sebanyak 60% responden menyatakan tidak mengetahui sama sekali mengenai standar keselamatan kerja dan hanya 40% yang paham. Dari hasil interview, mereka yang mengetahui standar operasional keselamatan kerja, hanya paham pengetahuan dasar keselamatan kerja saja. Rata-rata pada saat pembekalan akhir pemberangkatan di PJTKI masing-masing hanya dicek administrasinya saja seperti yang diungkapkan oleh ABK asal pelabuhan Magong, Penghu. Menurut mereka, pada saat persiapan pemberangkatan pertama, PJTKI hanya mengecek masalah tiket dan persyaratan biaya. Tidak ada pembekalan dasar mengenai tugas sebagai ABK, apalagi penjelasan mengenai keselamatan kerja.
Namun dari sisi pengadaan peralatan keselamatan kerja di kapal, sekitar 80% responden menyatakan peralatan keselamatan kerja seperti sekoci, jaket pelampung dan lain-lain telah dipersiapkan di kapal. Hanya 20% responden yang menyatakan tidak ada perlengkapan keselamatan kerja. Walaupun begitu, harus ada tindakan dari pemerintah agar para majikan ini melengkapi kapalnya dengan peralatan keselamatan kerja, sehingga meminimalisasikan kecelakaan kerja.
Walaupun 80% responden mengatakan memiliki kemampuan berenang, ternyata hanya sebagian kecil yang memiliki sertifikat dari lembaga yang telah terakreditasi. Seperti yang diungkapkan oleh Alifan Fatoni, ABK asal Penghu. Kemampuan berenangnya ini didapat dengan belajar sendiri semasa kecil saat di sungai dan tidak punya sertifikat resmi dari lembaga berwenang.
Perlunya Pembaharuan Sistem Perekrutan ABK
Dari hasil survei yang dilakukan IndosuarA dan juga banyaknya kejadian yang menimpa para ABK ini, dirasa cukup untuk melakukan intropeksi dan perbaikan terhadap sistem perekrutan serta kenaikan kesejahteraan ABK. Seperti yang diungkapkan oleh Rustoni, ABK asal Brebes yang juga menjadi Lurah dari Forum Kerukunan Pelaut Indonesia Taiwan (FKPIT). Seharusnya pemerintah memperhatikan dengan serius keselamatan kerja para ABK ini, karena telah banyak terjadi kecelakaan kerja yang menyebabkan hilangnya nyawa para ABK ini. Selain itu juga, kemampuan Bahasa harus diperhatikan, supaya mereka bisa berkomunikasi dengan majikan dan pekerja lainnya di kapal tersebut.
Harapan para ABK ini agar pemerintah pusat ataupun perwakilan pemerintah di Taiwan (KDEI) harus segera melakukan perbaikan sistem perekrutan mulai dari Agensi di Taiwan dan PJTKI di Indonesia. Hal ini mutlak diperlukan agar keselamatan ABK selama bekerja di Taiwan tidak terabaikan. Selain itu juga harus diperhatikan permasalahan kesejahteraannya, karena mereka bekerja tidak ada jam kerja yang resmi dan tergantung dari cuaca serta target dari para majikan. (HM)