Gambar ilustrasi diambil dari Shutterstock.
Pandangan matanya kosong, mungkin jauh menerawang masa silam atau mungkin pula memori tentang masa itu telah terhapus dari ingatannya, bersama terampasnya kebahagiaan dan kebanggaannya pada semua yang ada pada dirinya. Kini di usianya yang setengah abad, dia terkulai tak berdaya di atas kursi roda lebih dari 8 tahun sudah, sebagian tubuhnya lumpuh, dia hanya mampu diam di sana, mendengarkan ocehan dan caci maki adiknya, wajahnya tanpa emosi, mungkin dia tak mengerti apa yang di katakan adiknya atau mungkin kata-kata itu telah terlalu kerap di dengarnya hingga tak lagi mampu menyulutkan emosinya, sesekali dia menggumamkan kata-kata yang tak aku mengerti dan sejenak menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
Seorang lelaki gendut dengan dada telanjang tengah meluapkan kekesalan dengan kata-kata kotor dari mulutnya yang berbau alkohol, sesekali dia memanggil kakak pada perempuan itu, sesekali memanggil nama saja, kadang makian terlontar di sela-sela kisah yang di dongengkannya tentang perempuan yang akan menjadi tanggungjawabku untuk merawatnya.
Inilah acara penyambutan untukku, pada malam pertama di rumah majikan baru. Mengesankan, mendebarkan, menjengkelkan, menakutkan !
Seorang anak lelaki berusia kira-kira 10 tahun duduk terpaku di sampingku, sesekali menganggukkan kepala membenarkan kata-kata pamannya dengan terpaksa dan sesekali menguap menahan kantuknya.
Telah lewat tengah malam, dengan terpaksa pula aku harus menahan rasa lelah dan kantuk demi menuruti seorang lelaki mabuk yang memaksa kami mendengarkan ceritanya, tentang kisah kasih dan awal derita kakaknya.
Namanya Melly, beberapa tahun silam adalah wanita cantik yang penuh ambisi. Setelah keempat anaknya lahir dia pun berusaha mengejar ambisinya seiring dendam pada suami yang telah meninggalkannya, dia pun meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil dalam pengasuhan adiknya. Dengan keuletan dan kecerdikannya dia pun mampu menjadi seorang nyonya pemilik beberapa gerai toko pakaian dan sebuah toko swalayan, dia benar-benar larut dalam kesibukannya bekerja dan menikmati hidup. Bepergian kemanapun dia ingin pergi, terlibat affair dengan beberapa laki-laki beristri dan bersenang-senang sesuka hati. Peringatan dari orang tua maupun keluarganya tak lagi di dengarnya hingga menyulutkan pertikaian dan kebencian keluarganya padanya. Namun semua itu tak di anggapnya justru membuatnya semakin larut dalam kesenangan, kesombongan dan keangkuhannya.
Hingga dia hamil dan melahirkan seorang anak lelaki dari seorang koleganya yang telah beristri sehingga mengakibatkan kemarahan istri sah si kolega nya tersebut dan melaporkan Melly ke polisi bersamaan dengan hancurnya bisnisnya, dia bangkrut dan menanggung hutang yang tak sedikit. Tekanan demi tekanan dan penderitaan pun datang menghampirinya. Karena emosi yang tak terkendali terjadi penyumbatan di otaknya hingga mengakibatkan kelumpuhan, itulah awal penderitaannya. Dengan sisa-sisa kesombongan dan keangkuhannya Melly pun kembali kepada keluarganya dan mempekerjakan beberapa pembantu untuk merawatnya, namun seringkali terjadi ketidakcocokan hingga pembantupun bersilih ganti, beberapa melarikan diri dan beberapa di pulangkan dengan tuduhan yang mengada-ada, hingga akhirnya dia mempekerjakan seorang perawat ilegal dari vietnam yang akhirnya tertangkap polisi.
Mulanya Melly tinggal bersama seorang adik perempuannya, namun karena ketidakcocokan sifat dan sikap akhirnya Melly tinggal bersama ibunya, sepeninggal ibunya Melly tinggal bersama anak dan adik lelakinya hingga saat ini. Dan kini adik lelakinya pun hendak meninggalkannya bersamaku saja untuk merawatnya.
Dari cerita paman itulah kini aku harus belajar mengambil sikap bagaimana nantinya dalam merawat dan hidup bersama Nyonya majikan yang mungkin membutuhkan kesabaran ekstra dalam merawatnya. Melihat bagaimana kini keadaan nyonya majikanku itu membuatku berpikir tentang hidup, betapa tidak berartinya harta yang berlimpah tanpa disertai amalan dan kebaikan budi pemiliknya, semua itu hanya akan menjadikan kemudharatan bagi pemiliknya pun tak mampu menjadikan penolong di saat-saat kita membutuhkannya. Dan menjaga hubungan serta silaturahmi antara keluarga, sahabat dan kerabat sesungguhnya lebih baik dari pada menuruti kesenangan diri sendiri .Dan sesungguhnya kesehatan jasmani dan rohani adalah harta terpenting yang patut kita syukuri dan menjadikannya sebagai modal dalam hidup ini.
Pada sepertiga malam, aku mulai hilang kesabaran, rasa kantuk, kecapekan dan emosiku mulai tak tertahan. Tak sanggup lagi aku menghadapi paman yang semakin kurang ajar dengan perkataannya, pengaruh alkohol telah semakin merampas kesadarannya, rasa iba melihat si kecil yang terkantuk-kantuk di sampingku dan nyonya yang mengerang erang menahan deritanya, membuatku memikirkan cara bagaimana untuk lepas dari si paman yang semakin hilang kewarasan.
Aku meminta ijin untuk membawa nyonya ke kamar dengan alasan buang air dan memanggil si kecil untuk mengambilkan sesuatu untuk di bawanya ke kamarku, setelah kami di kamar aku mengunci pintunya dari dalam. Paman berteriak-teriak memanggil kami namun tak aku hiraukan. Aku bilang aku capek dan ingin istirahat. Dengan berbagai alasan paman berusaha hendak masuk ke kamarku, aku tak memperdulikannya. Dia menggedor pintu dengan keras dan penuh amarah. Rasa takut semakin membuatku menutup pintu rapat-rapat. Paman semakin emosi dia mengambil sesuatu untuk membuka paksa pintu. Si kecil ketakutan bergerak ke arahku, aku ambil ponsel dan menelepon ponsel paman dengan menyembunyikan nomor hp ku, sejenak paman sibuk dengan hp nya. Aku baringkan Nyonya di ranjangnya dan membiarkannya istirahat, si kecil meringkuk di sampingnya. Aku dorong meja kecil ke balik pintu, aku terbayang pengalamanku beberapa tahun lalu saat menghadapi seorang boss yang kurang ajar.
Aku berbaring di atas ranjangku, namun rasa khawatir dan pikiran yang tak karuan membuatku tak mampu memicingkan mata walau lelah dan kantuk terasa. Sesaat ketenangan itu kembali di kejutkan dengan teriakan untuk membukakan pintu dan suara gedoran di pintu yang semakin lama semakin keras, Paman berusaha mendobrak pintu dengan sebuah benda keras. Kami semakin takut, akupun menelepon polisi darurat, tak lama kemudian polisi datang dan memintaku membuka pintu ruang tamu dan membiarkan polisi masuk. Namun Paman berada di luar pintu kamarku, kurasa dia kecapekan dan tertidur di sana. Aku bilang pada polisi aku tak berani keluar dari kamar dan menceritakan keadaan kami. Polisi faham dan berjaga-jaga di luar. Aku sedikit tenang hingga fajar menjelang mengakhiri drama penyambutan pada malam pertama yang menegangkan, mengawali episode baru dalam pengembaraanku.