Foto ilustrasi diambil dari Shutterstock.
“Ra!!” ada suara teriakan memanggilku saat aku mengendarai motor. “Sstt..!!” berhentilah sepeda motorku. Ternyata suara teriakan yang memanggilku tadi, Dino! Cowok pengecut yang telah mengecewakan dan menyakitiku!
Dino adalah pacarku, aku dan Dino sudah menjalin cinta kurang lebih 5 bulan. Dia sangat sayang dan mencintaiku, dulu hari-hari aku lewati bersamanya namun sekarang dia sudah nggak berani menampakkan wajahnya ke rumahku karena dia malu dengan orang tuaku.
Kemarin malam, dia berjanji akan membawa keluarganya untuk meminangku, kenyataannya dia tak memunculkan diri!
Kuparkirkan sepeda motorku, Dino langsung menghampiriku untuk menjelaskan kenapa dia tak hadir pada acara pertunangan yang dia buat sendiri.
“Ra… maafkan aku, sebenarnya malam itu aku ingin sekali datang ke tempatmu tapi…”
“Tapi apa?” kataku.
“Tapi orang tuaku nggak setuju kalau aku harus bertunangan denganmu…”
“Aku tahu dan aku sadar kok, kalau aku tuh anak orang nggak punya sedangkan kamu anaknya orang kaya… mana mungkin orang tuamu mau punya menantu miskin seperti ku,” kataku.
Dino berkata, “Bagiku kaya atau miskin itu sama aja Ra!!”
“Itu bagi kamu, bagi orang tuamu ya jelas beda Dino!!”
“Tapi aku sayang banget sama kamu Ra dan aku nggak mau kehilangan kamu!”
“Sudahlah Dino, lupakanlah aku dan belajar mencintai cewek lain, karena masih banyak cewek yang jauh lebih baik daripada aku!”
Dengan deraian air mata aku bergegas meninggalkan Dino dari warung makan itu. Aku menghidupkan motor dan melaju dengan kencangnya.
Dari saat itu, aku dan Dino tidak pernah bertemu kembali dan aku belajar untuk melupakan dia. Semenjak putus dengan Dino aku nggak pernah dan nggak mau pacaran lagi! Namun suatu hari tanpa sengaja aku dan temanku Eka melihat Dino sedang membonceng cewek baru. Sakit hati masih terasa di lubuk hatiku, dalam hati aku berkata, “Aku dan Dino sudah putus! Ah… sudahlah jangan mikirin Dino lagi!”
Hari berganti hari aku lewati bersama dengan teman-temanku, aku berkenalan dengan teman baru, ia adalah teman sekolah kakak sepupuku sewaktu SMA dulu, sebut saja Arnotz.
Menurutku Arnotz sangat baik, perhatian, di samping itu ia juga cakep. Dalam hati, aku sempat berpikir andai saja aku menjadi pacarnya.
Hari demi hari hubunganku dengan Arnotz semakin akrab, teman-temanku menganggap kami berdua sedang berpacaran. Aku tidak mau Arnotz mendengar gosip yang beredar diantara teman-temanku, aku tidak ingin hubungan persahabatanku hancur karena gosip yang beredar.
Walaupun kakakku sedang kuliah di luar kota, kadang-kadang Arnotz berkunjung ke rumahku. Lama kelamaan dimana ada aku pasti ada Arnotz disampingku, sahabat baik sekaligus kakak bagiku. Arnotz sering mengantarku shopping atau acara pesta teman-temanku.
“Kamu tuh ya Ra… munafik banget, katanya kamu sama Arnotz cuma temanan doang! Tapi kenapa bisa setiap ada kamu pasti di sampingmu ada dia!” tanya temanku curiga tentang hubungan kami berdua.
“Emang salah ya seandainya aku dan Arnotz temanan akrab?! Kita tuh nggak punya komitmen apa-apa dan lagian Arnotz juga sudah punya cewek!” kataku kesal.
Tak seorangpun percaya hubungan kami hanya sebatas teman, bahkan kedua orang tuaku berkata, “ Arnotz sebenarnya suka kamu Ra…”
“Pa… ma… aku dan Arnotz Cuma temanan doank dan nggak lebih. Lagian Arnotz sudah punya cewek,” kesalku, entah berapa banyak pertanyaan sama yang harus kujawab dengan jawaban yang sama.
Hari berganti hari, tak terasa persahabatanku sudah 1 tahun, Arnotz semakin baik terhadapku, aku sendiri tidak pernah menganggap kebaikan Arnotz lebih dari seorang sahabat. Arnotz tidak saja hanya mengajakku jalan-jalan, terkadang Arnotz membawaku ke rumahnya memperkenalkan aku ke anggota keluarganya.
***
“Ra, baju ini bagus nggak?” tanya Arnotz suatu hari di Mall.
“Bagus,” kataku.
“Kalau gitu kita beli 2 kembaran yah…”
“Ok,” kataku tanpa berpikir panjang.
Tak terasa waktu menjelang malam, “Ra, pulangnya mampir dulu ke rumahku ya? Aku mau ambil sesuatu di rumahku” kata Arnotz dalam perjalanan pulang.
“Ya udah,” kataku.
Sesampai di rumah Arnotz, ia langsung memarkirkan motornya di halaman rumahnya, sambil mengajakku masuk ke dalam rumahnya.
Oh my God! Apa yang terjadi?! Pemandangan diluar dari biasanya, seluruh keluarga Arnotz sedang berkumpul di ruang tamunya, hal yang tak pernah kujumpai selama ini. Aku hanya tertunduk malu, tak hanya keadaan yang aneh, kelakukan Arnotz pun menjadi aneh, tiba-tiba ia memintaku untuk merapikan kamar dan menyetrikan bajunya dan meninggalkan aku sendiri, sedangkan aku hanya bisa mengerjakan permintaanya.
Perasaan sebel menyelubungi hatiku, sebel bukan karena pekerjaan yang ia suruh, tetapi karena Arnotz meninggalkanku sendiri pada keadaan yang sangat asing bagiku.
Setelah menyelesaikan pekerjaan, orang tua Arnotz menyuruhku untuk menikmati hidangan makan malam, aku melihat Arnotz kembali mengambil sesuatu kemudian pergi keluar kembali.
“Bentar lagi aku juga kembali, cuma nganterin ini doank…” kata Arnotz saat berpapasan sambil menunjukkan barang yang ada di dalam kantong plastik yang dibawanya.
Aku hanya menganggukan kepala.
Aku mulai menikmati hidangan makan malam yang disediakan orang tua Arnotz, setelah menyantap makan malam aku membersihkan piring dan langsung bergabung dengan orang tua Arnotz di ruang tamu.
“Nak Rara,” panggil Ibu Arnotz.
“Dalem,” sahutku.
“Seandainya kamu sama Arnotz mau nggak?” tanya ibunya.
Aku terkejut, terdiam pikiranku kosong, tak tahu harus bagaimana menjawab. Bagaikan buah si malakama, aku tidak ingin jawabanku merusak persahabatan kami.
“Iya,” kataku demi menghormati pertanyaan orang tua Arnotz.
Kesunyiaan sesaat dipecahkan oleh pertanyaan Arnotz, “Ra, kamu sudah makan?”
“Sudah,” jawabku ketus.
***
Setelah berpamitan dengan orang tua Arnotz, Arnotz mengantarku pulang. Selama perjalanan pulang, tak seperti biasanya dipenuhi dengan kicauanku, kali ini sunyi senyap.
“Tumben Ra, biasanya kamu cerewet Ra, kenapa sih Ra dari tadi kamu diam terus setelah pulang dari rumahku? Kamu lagi marah sama aku?” tanya Arnotz.
Aku hanya diam, tak menghiraukan pertanyaan Arnotz.
“Kamu kenapa sih? Ngomong donk ngomong! Aku jadi serba bingung, kamu nggak biasanya begini Ra!” kata Arnotz kesal.
Lalu aku mulai menceritakan kejadian di rumah Arnotz. “Kenapa sih tadi ortu kamu bilang kayak gitu sama aku? Aku kan bukan cewek kamu, aku hanya sahabat kamu,” tuturku.
“Emang ortuku bilang apaan sama kamu Ra?” tanya Arnotz.
“Kamu jangan pura-pura nggak tahu Arnotz…”
“Suer… aku benar-benar nggak tahu Ra apa yang kamu omongin, lagian aku kan lagi di tetangga sebelah,” kata Arnotz agak pelan, “Udah sekarang kamu ngomong deh, tadi ortu aku ngomong apa saja sama kamu?”
“Ortu kamu masa bilang gini , seandainya aku nikah sama kamu, aku mau nggak? ya otomatis aku bingung jawabnya! Aku kan bukan cewek kamu, aku hanya sahabat kamu!”
“Sekarang kamu jujur sama aku Ra, sebenarnya kamu suka nggak sama aku?” tanya Arnotz.
Aku bingung, setahuku Arnotz sudah punya cewek, “Emang kenapa? Yang gak mungkin lah… sekarang kamu kan sudah punya cewek, gila kali ye…” sambil senyum meledek.
“Tapi diam-diam dari dulu aku suka kamu…” tutur Arnotz.
“Ha?!” jawabku bengong. Saat ini jantungku seolah-olah tak berdetak lagi, “Udahlah, jangan becanda” akupun tertawa.
“Udah jangan ketawa lagi Ra, nggak lucu tahu! Orang aku lagi ngomong serius kamunya kayak gitu,” kata Arnotz kesal.
“Nggak mungkin lah! Secara kamu kan sudah punya cewek. Terus cewek kamu mau dikemanain?” kataku.
“Jawab pertanyaanku dulu Ra!”
Akhirnya aku jawab juga, karena nada bicara Arnotz sudah benar-benar kesal.
“Jujur aku sendiri bingung mau jawab apa sama kamu.” Kemudian Arnotz berkata, “Ra, tanpa sepengetahuan kamu, aku tuh sudah lama putus sama cewekku itu, tapi aku sengaja nggak mau cerita sama kamu, takutnya kamu malah ngejauhin aku gara-gara aku putus sama cewekku.”
“Bukannya hubungan kamu masih baik-baik saja sama cewekmu? Emang ada apa, kenapa kok bisa sampai putus sih?”
“Nggak Ra, aku yang putusin cewekku, karena dia selingkuh di belakangku.”
“Oh my God!!” kataku.
“Terserah kamu mau percaya apa nggak, yang penting aku sudah jujur sama kamu Ra. Kalau kamu nggak percaya juga, kamu bisa tanya kakak sepupumu, Rosi. Dia tahu semuanya.”
“Sebenarnya….aku juga sudah pernah bilang sama Rosi kalau aku tuh suka sama kamu. Tapi Rosi nggak mau bantu aku, katanya aku harus usaha sendiri untuk dapetin kamu.”
“Terus sekarang gimana Ra?” tanyanya dengan nada cemas.
Akupun bingung dan spontan aku berkata, “Jadi, semua yang ortu kamu bilang ke aku itu semuanya benar? Dan jangan-jangan itu kamu yang nyuruh?”
“Iya, semua yang ortu aku bilang ke kamu itu semuanya aku yang suruh. Kalau aku yang ngomong sendiri pasti kamu nggak akan percaya. Seperti sekarang ini!” katanya dengan sewot.
Kemudian akupun bilang, “Emang kamu benar-benar suka sama aku? Karena aku sadar kalau aku tuh nggak pantas buat kamu!”
“Tapi aku suka sama kamu Ra. Kamu mau terima aku apa nggak?” Arnotz tidak menyerah.
“Ya…kita jalanin saja dulu deh.” Jawabku sambil tersenyum. ”Karena jujur saja, sejak awal pertemuan kita aku sebenarnya sudah ada feeling sama kamu.” kataku. “Tapi aku sadar karena kamu anggap aku adalah seorang sahabat sekaligus adikmu. Dan aku sendiri juga nggak mau merusak persahabatan kita.”
“Aku ngerti Ra, karena kamu sendiri juga nggak mau pacaran gara-gara Dino pernah nyakitin kamu kan?”
“Iya betul, karena aku juga nggak mau seperti dulu lagi disakiti sama cowok.”
“Maafkan aku Ra, mungkin kamu jadi teringat sama Dino.”
“Nggak apa-apa kok, it’s ok.” Kataku.
Akhirnya aku dan Arnotz mencoba untuk menjalani hubungan dengan adanya komitmen. Sekarang aku dan Arnotz bukan lagi hanya sekedar sahabat ataupun teman curhat, melainkan pacar! Keluarga akupun sudah tahu kalau aku pacaran dengan Arnotz. Mereka mendukung hubunganku dengan Arnotz, begitu juga dengan keluarganya Arnotz. Restu dari keluarga masing-masing sudah didapat, ini membuat aku dan Arnotz menjadi semakin bersemangat menjalani hubungan ini.
Tapi ada kalanya kita bertemu dan pada akhirnya kita juga bisa berpisah. Setelah semuanya jelas, Arnotzpun berangkat ke negeri jiran untuk bekerja di sana. Lalu tiga bulan setelahnya, aku juga menyusul ke Malaysia untuk bekerja di sebuah pabrik. Sebelum Arnotz pergi, dia sudah terlebih dahulu meminangku.
Tidak terasa dua tahun sudah sejak kali pertama aku dan Arnotz tiba di Malaysia. Arnotzpun pulang duluan baru kemudian aku juga pulang. Selama di Malaysia kami tidak pernah bisa bertemu karena terhalang jarak yang begitu jauh. Sebenarnya dari pihak majikan tidak memperbolehkan aku pulang, karena aku baru sambung kontrak tahun ketiga. Tapi aku selalu dipanggil oleh orang tua Arnotz untuk segera pulang dan segera menikah. Orangtua Arnotz khawatir kalau anaknya akan berpaling kepada gadis lain, makanya mereka menyuruhku untuk segera pulang. Setelah aku pikirkan benar-benar, aku memutuskan untuk pulang. Aku lebih memilih Arnotz daripada pekerjaanku. Ayahku yang menjemputku dan membantukku berunding dengan majikanku.
Sampai juga aku di bandara Soekarno-Hatta dan bertemu dengan Arnotz, cinta sekaligus sahabatku. Senang sekali rasanya bertemu Arnotz setelah dua tahun kita tidak pernah ketemu.
8 Maret 2007, aku dan Arnotz melangsungkan pernikahan kami. Aku dan Arnotz sangat bahagia karena pada akhirnya kita bisa menikah juga. Namun kebahagiaan itu hanya sesaat, dan pernikahan itu hanya seperti mimpi bagi kita berdua. Selang beberapa hari setelah aku dan Arnotz resmi menikah, aku, Arnotz, dan keluargaku mengalami kecelakaan yang begitu dahsyat.
Saat itu aku, Arnotz, beserta seluruh keluargaku hendak berkunjung ke rumah sanak saudara untuk bersilaturahmi. Karena sudah tradisi Jawa, pengantin baru harus berkunjung ke rumah sanak saudara. Namun malangnya, di tengah perjalanan mobilku mengalami kecelakaan. Mobilku menabrak seseorang yang lagi menyebrang jalan. Orang yang ditabrak langsung meninggal di tempat, melihat hal itu supirku menjadi sangat panik. Yang tadinya mau injak rem, malah injak gas. Hasilnya mobilku melaju dengan kencangnya lalu menabrak pohon, dan akhirnya mobilku terguling. Setelah itu aku langsung pingsan.
Aku terbaring kaku dan tak bisa menggerakan tubuhku seperti sebelumnya. Ternyata aku sudah satu minggu koma. Begitu aku sadar, sudah ada banyak orang yang sedang menangisi keadaanku. Saat itu aku bingung apa yang telah terjadi padaku. Dengan terbata-bata akupun langsung menanyakan keadaan Arnotz, suamiku. Mereka mengatakan kalau Arnotz baik-baik saja dan sedang dirawat di kamar sebelah. Akhirnya akupun merasa tenang, meskipun ada sedikit perasaan tidak enak dalam hatiku.
Semua orang mengatakan aku beruntung tidak amnesia seperti yang dikatakan dokter. Karena dokter mengatakan besar kemungkinan aku bisa terkena amnesia, karena luka di kepalaku yang sangat parah. Kepalaku sempat bocor dan berdarah terus. Syukur alhamdulilah aku nggak terkena amnesia. Cuma saat itu tubuhku nggak bisa digerakkan alias lumpuh.
Setelah satu bulan aku dirawat di rumah sakit, akupun diperbolehkan untuk pulang. Dengan perasaan senang aku langsung minta diantar ke kamar sebelah, karena di kamar sebelah katanya ada Arnotz. Namun keluargaku bilang Arnotz sudah dipindahkan ke rumah sakit lain karena peralatan di sini kurang memadai untuk menangani luka Arnotz yang cukup parah. Mendengar kabar itu aku langsung lemas seketika, tapi aku tetap percaya kata-kata mereka. Akhirnya hari itu aku pulang ke rumah, disambut keluarga dan tetangga-tetanggaku.
Seminggu sudah aku dirawat di rumah, aku minta diantar ke rumah sakit untung menjenguk Arnotz. Tapi keluargaku tidak mengijinkan aku, dengan alasan aku belum sembuh. Saat itu aku cuma bisa menangis.
Hari berganti hari, aku sudah tidak sanggup lagi menahan unek-unek di hatiku, akupun nekat bertanya karena saat itu perasaanku sudah tidak karuan dan aku curiga sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan keluargaku dariku. Lalu perlahan-lahan aku mulai bicara dan bertanya, “Pa, sebenarnya ada apa dengan semua ini? Sepertinya ada yang kalian sembunyikan dari aku? Sebenarnya apa yang terjadi dengan Arnotz? Dia baik-baik saja kan?”
Akhirnya kedua orang tuaku mulai bicara, “Ra, ikhlaskan semua yang terjadi, mungkin ini adalah ujian buat kamu dan keluarga kita.”
“Sebenarnya ada apa ini?” aku mulai menangis.
“Sebenarnya Arnotz sudah pergi lebih dulu meninggalkan kita semua, Ra.”
Aku hanya bisa diam dan menangisi kepergian Arnotz. Saat itu aku bagai orang yang tak berguna lagi. Sudah lumpuh, ditambah kehilangan Arnotz, suamiku. Keluargaku selalu memberi aku semangat untuk selalu tegar dan tabah dalam menghadapi ujian ini. Namun aku terlalu rapuh dan tak berdaya menghadapinya, aku sudah tidak punya semangat untuk menjalani kehidupanku lagi. Karena kehidupanku sudah hancur bersamaan dengan kepergian Arnotz.
Semenjak kepergian Arnotz akupun menjadi seorang pendiam dan selalu mengurung diri di kamar, dan tidak mau bergaul dengan orang-orang. Setelah pengobatanku berjalan selama enam bulan, aku sudah mulai ada kemajuan. Organ tubuhku satu-persatu sudah mulai normal lagi. Sampai suatu hari aku punya pikiran untuk pergi merantau ke negeri Formosa. Namun keinginanku tidak disetujui oleh keluargaku dan keluarga Arnotz. Mereka bilang kalau aku belum sembuh total. Impianku saat itu untuk pergi ke Formosa pun gagal. Kemudian aku minta ijin lagi untuk pergi ke Jakarta yang lebih dekat dan sewaktu-waktu bisa pulang. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya akupun diperbolehkan untuk pergi ke Jakarta.
Pergilah aku ke Jakarta dan bekerja sebagai baby-sitter. Aku berpikir mungkin dengan bekerja dan ada kesibukan, aku jadi bisa menepis bayang-bayang Arnotz. Dengan melakukan aktifitas ternyata waktu berjalan lebih cepat, dan tidak terasa aku sudah setahun penuh menghirup udara Jakarta yang penuh polusi.
Ramadhan 2008, aku pulang kampung untuk merayakan lebaran bersama keluargaku. Aku senang sekali berkumpul bersama mereka, walaupun sebenarnya masih ada rasa sedih karena tidak ada Arnotz di saat kita merayakan hari kemenangan. Namun aku selalu berusaha untuk tegar dan selalu tersenyum kepada mereka semua. Aku tidak mau membuat mereka sedih, dan aku sendiri juga harus tetap kuat menjalani kehidupan ini.
Lebaran sudah berlalu, aku mulai menata kembali kegiatanku lagi. Kali ini aku sudah bertekad kalau aku mau pergi ke Formosa. Setelah berunding dengan keluargaku dan keluarga Arnotz, akhirnya aku diperbolehkan berangkat ke Formosa, dan saat itu aku sangat bersyukur, meskipun sangat berat untuk aku meninggalkan semua keluargaku. Akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2009 lalu, sampailah aku di tanah Formosa.
Di Formosa aku bekerja jaga ama, ditambah jaga empat anak yang super nakal. Tapi walaupun begitu, majikanku sangat baik padaku dan aku sangat bersyukur sekali. Aku tidak akan pernah menyerah dan aku akan tetap bertahan, demi kamu Arnotz! Aku tidak bisa melupakanmu, karena semakin aku berusaha melupakanmu, perasaan dan hatiku semakin sakit dan tersiksa.
Arnotz, mesti kamu ingat walaupun sekarang kita tinggal di dua dunia yang berbeda, tapi aku akan selalu mengingatmu dan mengenangmu dalam ingatanku.
Arnotz, kamu jangan pernah menyesali pertemuan kita yang pada akhirnya juga memisahkan kita. Kita harus yakin kelak kita pasti bisa bertemu kembali di kehidupan yang berbeda. Tunggu aku Arnotz…
Jangan pernah lelah menungguku…
Kau sangatlah berharga bagiku dan tidak ada insan lain yang mampu menggantikan posisimu di hatiku. Karena engkau adalah sahabat dan sekaligus cinta abadiku…