“Arin, kau sudah siapkan perlengkapan untuk tinggal beberapa hari di rumah sakit seperti yang aku minta tadi pagi?!” Suara teriakan Ama terdengar dari balkon depan.
Arin yang sedang mencuci piring di dapur langsung berlari ke arah balkon depan. Ama yang dikiranya sedang tidur, ternyata diam-diam pergi ke balkon depan dan memanjat pagar pembatas.
“Ama, apa-apaan ini? Cepat masuk! Nanti dikira tetangga, ama mau bunuh diri.” Dengan raut wajah panik, Arin mencoba menarik tangan ama yang sudah terlanjur tengkurap di atas pagar balkon. Namun, ama menolak, malah kedua kakinya kini sudah berada di luar, berpijak pada alas pagar balkon.
“Cepat teriak panggil tetangga, biar mereka segera telpon 119. Tanganku sudah capek!” bisik ama sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Ah, Ama, kenapa bohong lagi? Ama kan sudah janji tidak akan melakukan hal seperti ini lagi.” Arin geregetan bercampur panik melihat tingkah laku ama. Arin takut kalau ama tidak kuat menahan berat beban tubuhnya yang lumayan gendut itu dan jatuh dari lantai lima, apartemen mereka.
“Aku mau tahu, apakah Chen Lu akan pulang jika melihat aku stres dan mau bunuh diri.”
Melihat kelakuan ama, Arin hanya bisa mengambil napas panjang. Ini ketiga kalinya ama nekad melakukan hal-hal aneh, supaya Chen Lu mau pulang. Ama pernah pura-pura sakit jantung, pernah juga minum obat tidur dua kali lipat, dan sekarang pura-pura mau bunuh diri.
Kerinduan ama sebagai seorang ibu terhadap anaknya, ternyata bisa membuatnya nekad melakukan hal yang membahayakan dirinya sendirilah. Tanpa ama sadari, bahwa anaknya tidak akan pernah kembali lagi sampai kapan pun. Tidak akan pernah.
“Ibu tidak pernah tahu kalau Chen Lu telah ditembak mati di negara tetangga, karena menjadi sindikat pengedar narkoba. Dia ditembak karena berusaha lari saat penggrebekan. Saya membawa ibu ke sini, untuk menjaga perasaan ibu dari gunjingan masyarakat. Mudah-mudahan di tempat ini, ibu bisa melupakan Chen Lu dan menikmati hari tua dengan tenang,” kata Tuan Hwang, sewaktu Arin bertanya mengenai Chen Lu, tahun lalu.
“Arin, cepat! Aku sudah tidak tahan, nih!” teriak ama membuyarkan lamunan Arin.
“I-iya, Ama ….” Arin pun segera berteriak minta tolong ke tetangga, sesuai permintaan ama.
“Tolong! Tolong! Tolooong …! Ama mau lompat. Tolooong …!” teriak Arin sekuat tenaga.
Para tetangga di apartemen itu seketika jadi heboh, melihat seorang nenek gendut hendak lompat dari lantai lima. Beberapa dari mereka segera merentangkan selimut tebal untuk jaga-jaga kalau nenek itu terjatuh, sebelum petugas penyelamat datang.
“Arin, pegang tanganku yang kuat, aku ingin teriak dan berontak. Jangan dilepaskan, ya. Nanti kamu pura-pura mencegah aku, ya. Awas, kalau kamu tidak nurut!” bisik ama sambil tersenyum pada Arin yang terlihat masih bengong, sebelum akhirnya ama berteriak-teriak dan meronta.
“Lepaskan! Biarkan aku mati, tidak ada seorang pun yang menyayangiku!” teriak ama mulai berakting. Dia berteriak sambil menggerak-gerakan badannya. Kemudian dia mengedipkan matanya ke arah Arin. Arin yang menangkap maksud ama, langsung ganti berteriak.
“Jangan, Ama! Masih banyak yang menyayangimu, termasuk aku. Aku sayang kamu, Ama! Jangan lompat!”