Sebut saja namaku Siti. Aku terlahir sebagai anak ke 3 dari 5 bersaudara. Kehidupan orang tuaku sangatlah sederhana. Kami sekeluarga hidup damai di sebuah desa kabupaten Banyumas. Namun karena perekonomian keluarga yang sangatlah kekurangan, hingga memaksaku untuk berkerja setelah aku menamatkan jenjang SLTP. Saat itu pilihanku adalah berkerja ke luar negeri, dan Saudi Arabia adalah tujuanku sat itu.
Tahun 1988, pesawat terbang membawaku ke negeri ternama itu atas bantuan dari sebuah PT di Jakarta. Aku ditempatkan di sebuah rumah milik keluarga besar yang cukup baik. Bahasa baru, lingkungan baru, dan budaya baru, semua itu pelan-pelan dapat aku pelajari. Aku pun berusaha menyesuaikan diri dengan semua itu.
Di kontrakku kali ini, aku menjalaninya dengan cukup lancar. Ibadah umroh pun bisa aku laksanakan. Hinga akhirnya berakhirlah kontrakku selama 3,5 tahun itu. Aku kembali ke kampong halamanku, seluruh keluargaku menyambutku dengan penuh kebahagiaan.
Merasa belum cukup atas hasil kerjaku, aku tekadkan untuk berangkat kembali ke negeri yang sama. Dan disaat itulah Allah mengujiku dengan mengirimkan neraka dunia uuntukku. Manusia hanya bisa berharap, namun semua keputusan hanya Dialah yang menentukan.
Harapanku untuk mendapatkan majikan yang baik, namun… jelmaan iblis yang aku dapatkan. Majikanku kejam, setara dengan kejamnya Firaun. Umpatan, Cacian dan siksaan adalah makanan sehari-hariku. Tanpa aku tahu salah dan kekeliruanku, pukulan selalu mendarat dengan tiba-tiba di tubuhku. Waktu itu aku hanya bisa pasrah, dan bersabar apa yang Allah maksudkan dibalik semua itu, akupun tak tahu.
Aku terkurung… aku terpenjara dan tersiksa, tangisan dan derita mengiringi hari-hariku di Arab Saudi. Aku tak diijinkan berkirim surat ke keluargaku di Indonesia, bahkan keluar rumah sedetikpun aku tak pernah.
Pernah pada suatu hari ketika aku sedang mengerjakan tugasku mengerjakan pekerjaan rumah, tanpa tahu sebabnya, majikanku marah-marah, hadiah setrika panaspun mendarat di punggungku. Jeritanku tak mereka pedulikan… tangisanku pun tak mereka hiraukan.Di tambah lagi dengan pukulan yang melayang di tubuhku yang lemah tak berdaya.
Beberapa hari setelah kejadian itu… belum lagi sembuh lukaku itu, siraman cairan pemutih membanjiri kepalaku. Ya Allah… mengapa aku disiksa seperti ini.Apa salah dan dosaku ya Robbi. Cairan itu mengenai mataku yang mengakibatkan penglihatanku tak begitu jelas sampai saat ini.
Luka parahku tak sedikitpun mereka pedulikan.Sedikit belas kasihan pun tak aku dapatkan.Nurani mereka sudah buta, hati dan pikiran mereka telah hilang… membabi buta. Dan akulah yang menjadi sasarannya. Mereka yang telah gila pun memberikan satu nampan nasi dan memaksaku memakan nasi itu. Ya Allah… mana mungkin aku mampu.Aku hanya manusia biasa, yang hanya bisa memakan sepiring saja, Aku bukanlah sapi, bukanlah raksasa yang sanggup menghabiskan sebakul nasi itu.
Di iringi derai air mata, aku memakan nasi itu, sedikit demi sedikit, tapi sungguh aku tak sanggup menghabiskannya. Majikanku marah… kembali membabi buta. Aku disiksanya lagi, tamparan dan tendangan mendarat lagi di tubuhku.Ditambah pula cambukan perih mengenai pungungku. Ampun..sakit.. perih.. aku merintih menahan pedih. Dalam hatiku berkata “ lebih baik aku mati daripada harus setiap hari seperti ini,”.
Tapi rupanya Allah belum mengirimkan malaikat maut untukku.Aku masih tetap diijinkan hidup di dunia ini.
Masih dalam keadaan sakitku, perih lukaku, majikan perempuan dibantu oleh majikan laki-laki, mereka menelanjangiku tanpa selembar kain pun menutupi tubuhku. Aku disuruhnya menyapu ruang tamu. Aku menghiba… namun tak berguna. Ya Tuhan, tolonglah hamba Mu. Keluarkanlah hamba dari neraka ini. Hamba tak sanggup lagi menerima semua ini. Hamba rela mati di negeri ini daripada harus menanggung semua siksaan ini.
Kering sudah air mataku… terkunci sudah mulutku untuk berbicara.Aku tak tahu pada siapa meminta bantuan, karena di keluarga itu tak satupun orang yang masih memiliki hati nurani. Aku tak bisa melarikan diri, karena ketika mereka pergi pun aku di penjara dalam kamar. Tak jarang pula aku dikurung hingga kelaparan.
Lengkap sudah siksa yang ku terima, bertumpuk- tumpuk pula derita yang kurasa.Satu-satunya yang ku harapkan hanyalah pertolongan dari Yang Maha Kuasa.
Jika aku memang harus mati disini… aku rela..aku pasrah. Tapi jika aku masih Engkau beri kesempatan untuk bertemu orang tuaku… keluarkanlah aku dari neraka ini. Begitulah rintihan yang ku sampaikan pada Robb ku.
Hingga akhirnya setelah derita itu kujalani selama 8 bulan lamanya…Robbku menolongku. Majikanku memulangkanku ke negeriku. Mereka memakaikan baju padaku karena memang aku tak sanggup untuk bergerak sendiri . Luka bakar stempel setrika yang masih memerah… sakit… perih. Stempel cambukan pun juga masih segar membekas, kedua daun telingaku pun masih terasa membara akibat siraman air panas.
Dengan kepintarannya, majikanku menyembunyikan semua itu dengan rapi. Hanya dengan berbekal selembar baju yang melekat di badan dan selembar tiket, aku diantar ke bandara untuk kembali ke Indonesia. Gaji kerjaku selama 8 bulan tak sepeser pun aku terima.Aku hanya bisa pasrah dan pasrah. Karena aku percaya… Robb-ku selalu ada di sampingku.
Sesampai di bandara Saudi, aku pun masuk ke ruang tunggu. Disana kulihat orang-orang Indonesia yang akan terbang juga ke Jakarta. Mereka melihatku dengan curiga… karena memang di tanganku tak ada sedikitpun barang yang aku bawa.Hanya nyawa dan selembar pakaian saja yang melekat di tubuh lemahku saat itu. Mereka pun bertanya padaku apa yang terjadi, dan akupun menceritakan semua yang aku alami selama ini. Sebagian dari mereka memberikan uang pada ku sekedar untuk pegangan. Walau tak seberapa tapi itu sangat berarti untukku. Ada juga yang membawaku ke pusat kesehatan di bandara untuk mendapatkan pertolongan. Dan dokter mengobati lukaku, menyentuh kulitku. Aku menjerit… sakit..tolong jangan di sentuh… oh perih…
Mereka menenangkanku, kawan-kawanku memberi support untuku. Aku pun tegar, pintu harapan terbuka sudah. Aku akan segera kembali ke pangkuan orang tua ku. Di pesawat, aku kembali tersiksa, aku tak dapat duduk dengan tenang dalam perjalanan yang melelahkan itu.Luka-lukaku sangatlah menyiksaku, namun aku tetap berusaha tegar.
Sampailah aku di bandara Soekarno- Hatta.
Singkat cerita akhirnya pihak bandara mengirimku ke sebuah RS kepolisian di Kramat Jati.Dari pihak PTJKI pun datang mendampingiku di rumah sakit, dan mengirimkan telegram ke orang tuaku, karena memang waktu itu belum marak HP seperti sekarang ini.
Orang tuaku kaget membaca isi telegram itu, segera bapakku berangkat menuju Jakarta. Hampir pingsan ketika bapakku melihat rupaku waktu itu. Badan sudah tidak berupa lagi, rambutku pun dipotong habis oleh pihak RS demi memudahkan perawatan.
“ Benarkah kau Siti anakku?,”Tanya bapak. Dengan suara lirih dan sisa tenaga yang aku punya, akupun menjawab “ iya pak… ini aku Siti, anak bapak,”.
Derai air mata bapak membuatku semakin sedih.Mengapa semua ini terjadi padaku… mengapa aku terbaring tak berdaya di RS ini. Mengapa orang tuaku harus melihatku dalam keadaan separah ini. Tapi mungkin inilah takdir yang harus ku alami dan harus aku jalani, akupun sudah lebih tenang bisa bertemu lagi dengan orang tuaku.
Aku menjalani pengobatan di RS selama beberapa minggu dan pihak PT yang menanggung semua biaya RS. Setelah agak pulih luka dan kondisiku, bapak membawaku pulang ke kampong.Jerit tangis seluruh keluarga pun menyambutku. Tangis sedih dengan apa yang menimpaku, Tangis bahagia pula karena bisa kembali ke tengah- tengah keluarga.
Aku menjalani masa pemulihan di tengah orang-orang yang ku sayang hingga beberapa waktu lamanya. Namun stempel-stempel kenangan pahit itu hingga saat ini tak bisa hilang dari tubuhku. Hingga akhirnya di tahun 1995, aku di nikahi oleh pemuda tetangga. Dia bisa menerimaku apa adanya, dengan semua kekurangan dan bekas-bekas luka di tubuhku, dia bisa mengerti dengan semua itu.
Aku beruntung, dan bersyukur pada Yang Kuasa, ternyata masih ada orang yang mau memperistri aku.
Kehidupan rumah tangga aku jalani dan dikaruniai 2 orang putri.Putri pertama lahir di tahun 1996, dan putri ke 2 lahir di tahun 2001.
Demi kehidupan perekonomian, agar lebih baik, kini aku berkerja di Taiwan untuk keberangkatan yang ke 2x. Kutinggalkan anak-anakku bersama suamiku. Yang kuharap hanyalah semoga anak-anakku menjadi orang yang bisa berguna untuk keluarga, agama dan bangsa.
Bekerja di Taiwan ini walau tak ada libur tapi aku sudah cukup senang, Majikanku memperlakukanku dengan baik. Aku bertugas menjaga anak yang ku rawat sejak lahir hingga saat ini.
Aku tak ingin mengingat-ingat lagi masa laluku, karena itu hanya akan menggoreskan luka di hatiku. Biarlah orang-orang yang dulu menyiksaku menjadi urusan Allah, ku pasrahkan semua, karena hanya Allah-lah yang maha adil diantara semua yang adil.
Aku tak ingin dantak pernah berpikiran untuk kembali berkerja ke negeri itu.Karena di negeri itulah tergores luka yang amat teramat dalam dalam jiwaku. Kini aku senang dengan pekerjaanku, dengan harapan semoga aku bisa menyelesaikan kontrakku yang ke 2 ini, dan kembali ke tengah-tengah keluargaku. Hidup damai bersama suami dan kedua putriku.