Sebuah perjalanan hidup, mungkin tak semua manusia bisa membacanya. Sampai pada titik tertinggi manapun, orang tak akan pernah mengira. Bahkan ketika seseorang berada pada titik terbawah sekalipun, tak sesosok pun yang bisa meramalkannya. Dan ‘kedudukanku’ sekarang, maaf aku menyebutnya demikian karena keadaan hidupku yang telah berubah baik 100 persen. Meskipun mungkin orang kebanyakan akan bilang, ‘kedudukan’ ini biasa-biasa saja.
Yang aku maksudkan ‘kedudukan’ di sini adalah diriku yang kini telah berstatus sebagai isteri orang. Biasa-biasa saja bukan? Tetapi tidak! Sebab orang yang menjadi suamiku itu dahulunya adalah majikanku yang sudah berkeluarga. Dan aku, bisa kalian tebak, ialah pembantunya.
Sebuah kepahitan hidupku sebenarnya berasal dari keluargaku sendiri. Sebab dari 2 bersaudara yang kumiliki, keduanya mempunyai bapak kandung yang berbeda. Aku pernah menanyakan hal ini sama Ibu, dan beliau tak pernah mau menjawabnya. “Bapakmu sudah meninggal,” katanya kemudian bila merasa kehabisan kata-kata untuk membalas pertanyaanku.
Kenapa aku bisa tahu kalau aku dan kakakku bukan terlahir dari satu bapak? Mungkin dari bentuk fisik, juga selentingan omongan tetangga yang kebetulan sampai padaku. Kakakku kulitnya hitam, matanya besar, tinggi, rambutnya keriting, jika diliat dari faktor keturunan ibu yang pendek dan berambut lurus, bisa dipastikan bapak kandungnya kurang lebih sama seperti kakak. Sedang aku, mataku sipit dan berkulit kuning, rambutku lurus dan berbadan pendek. Sangat beda jauh dengan bentuk fisik kakak.
Dari sini saja sudah menimbulkan pertanyaan di kepalaku, apalagi aku tak pernah melihat sosok bapak dalam keluarga kami. Hanya kami bertiga, juga kakek dan nenek. Kehidupan kami sangat jauh dari berkecukupan. Hanya orang desa dengan rata-rata pendidikan sekolah tertinggi sampai lanjutan pertama alias SMP. Meskipun tetangga banyak yang memiliki sawah, namun keluarga kami tidak. Ibu sudah terbiasa ‘ikut’ keluarga kaya dalam mencari sesuap nasi dan membesarkan kami anak-anaknya. Sungguh kehidupan yang kuyakin tak diingini oleh siapapun yang mengalaminya. Termasuk aku. Oh ya, aku dan kakak selisih 7 tahun. Selepas dari SMP, kakak pun bekerja seperti ibu, menjadi pembantu di kota lain. Jika ada tetangga yang bertanya, sama Ibu dijawab kalau kakakku ikut saudaranya yang di kota.
Dengan bantuan dari kakak, perekonomian kami sedikit berubah. Tetapi masih saja tidak bisa seperti orang kebanyakan. Ditambah pula kakek nenek yang cuma buruh tani. Ahh, rasanya sungguh berat. Hampir saja SMP tak aku tamatkan kalau kakakku tak buru-buru mengingatkan. Dengan terpaksa, kujalani masa sekolah di tingkat SMP dengan tanpa semangat apapun. Dan memang, akhirnya aku lulus dengan nilai terendah.