Dari Klaten Menuju Kota Impian
Dengan bantuan tetangga, dicarikannya aku kerja. Waktu itu kerjaan yang paling akrab dengan kehidupan keluargaku ialah ‘ikut sama orang kaya’. Meskipun gajinya cuma kecil, tetapi kita tidak perlu mengeluarkan ongkos untuk makan. Tidurpun sudah tak lagi repot membayar. Pengalaman pertamaku jatuh pada keluarga pengusaha ‘pemborong’ yang beristerikan seorang perawat yang bekerja di salah satu rumah sakit besar.
Sebelum aku memutuskan bekerja, kakakku terlebih dahulu merantau ke Arab setelah ia berganti-ganti ‘keluarga’ tempatnya bekerja. Nenek dan kakek juga sudah meninggal. Tinggal Ibu sendiri yang sudah mulai menua. Ibu tidak memiliki saudara kandung. Beliau anak tunggal, otomatis sepeninggal kakek nenek, Ibu hidup seorang diri. Untungnya kami orang desa, jadi tetanggapun bisa jadi saudara.
Jika ingat Ibu, selalu saja hati ini menangis. Tak tega meninggalkan beliau sendirian di desa. Tetapi apa yang bisa kuperbuat bagi anak yang belum genap 17 tahun ketika itu? Dengan tekat yang kuat, untuk pertama kalinya aku jauh dari keluarga.
Keluarga ‘baruku’ ini cukup baik. Tak terasa bulan pun berganti tahun. Menginjak tahun ketiga, aku sudah bisa menyisihkan sedikit uang untuk nabung. Bahkan kalau lebaran tiba, keluarga baik itu pernah menghadiahiku kalung. Setahun sekali aku mudik ke Klaten mengunjungi ibu.
Kakakku pun sudah menikah dan memiliki anak. Setahun usia anaknya, kakak merantau lagi ke Arab. Suatu ketika, ibu bertanya padaku, ”Apakah kamu sudah memiliki kekasih? Kalau sudah menikah saja seperti kakakmu.” Aku diam saat itu karena memang belum ada lelaki yang bisa mencuri hatiku.
Saat ada program dari pemerintah untuk membangun saluran air di lingkungan majikan, saat itu aku mulai melirik salah satu orang yang bekerja. Dari curi pandang, saling kenalan, hingga kurasakan mulai jatuh cinta. Tanpa proses rumit, kami pacaran. Aku sering minta ijin keluar, padahal hanya ingin ketemuan sama kekasihku. Bahkan pernah aku pamitnya pulang ke Klaten, tetapi sebenarnya tidak. Aku sama pacarku pergi berlibur. Nah, masalah mulai timbul setelah tanpa sengaja salah seorang tetangga memergokiku bersama cowokku saat berlibur itu. Dilaporkannya hal itu pada majikan. Selanjutnya aku disidang. Perdebatan terjadi sangat sengit. Aku menangis saat majikanku bilang aku mau dipulangkan ke Klaten. Sambil terisak aku bilang ingin bunuh diri. Melihat aku yang begitu, selepas maghrib diantarkannya aku kembali ke desa. Tanpa diberi uang tambahan apapun.
Sebulan sejak itu, iseng kudatangi teman yang kebetulan tetanggaan sama majikan dulu kalau-kalau ada kerjaan untukku. Setelah beberapa waktu, akhirnya dapatlah aku majikan baru. Tak begitu jauh dari majikan lama.
Sebenarnya majikan baru ini baik. Seorang pengusaha mebel yang beristerikan pengusaha buah. Namun rupanya keluarga ini tidak harmonis. Pertengkaran sering terjadi karena majikanku yang perempuan tidak pernah pulang kalau malam. Alasannya pasokan buah dari luar kota seringnya datang malam hari. Namun tak cukup itu, kabar tak sedap berhembus bahwa isterinya juga memiliki selingkuhan. Hal itulah yang menyebabkan majikan laki-lakiku sering merasa kesepian. Entah siapa yang memulai, aku mengiyakan ajakan majikanku untuk menjadi pengisi kekosongan hatinya.
Pertengkaran antara majikanku memuncak, saat majikan perempuanku mengetahui hubunganku dengan suaminya. Adu mulut tak dapat dielak. Hidupku tambah suram karena saat itu aku juga tengah mengandung. Aku hendak bunuh diri jika majikanku tak segera menikahiku. Keadaan semakin genting, antara aku, majikan laki-laki dan isterinya terlibat pertengkarang hebat. Siang itu, isteri majikanku pergi dari rumah. Ketiga anaknya yang masih duduk di sekolah dasar hanya bisa menangis di kamar.
Bulan berlalu, aku makin resah dengan kondisi tubuh yang telah berbadan dua. Berbagai ramuan atau jamu untuk menggugurkan kandungan kuminum. Tepat di usia tujun bulan, anak itu lahir namun tak bisa terselamatkan. Sejak itu, atas musyawarah dengan ketua RT dan para tetangga yang peduli, kami disarankan menikah. Setelah proses perceraian dengan isterinya, majikanku pun menikahiku.
Resmilah aku jadi ‘nyonya’ rumah sejak saat itu.
Sudah hampir delapan tahun aku menikmati ‘kedudukan’ ini. Antara perasaan salah dan berdosa, juga rasa bahagia sesekali berkecamuk dalam diriku. Kusadari dulu aku telah berdosa besar karena rumah tangga yang sekarang tengah kujalani ini. Tetapi, tiada yang tahu jalan hidup seseorang akan sampai pada situasi yang sungguh diluar inginku sebagai manusia.
Apalah daya, semua sudah terjadi. Aku pun bertaubat atas kesalahanku dulu dan berjanji akan berusaha menjadi manusia yang lebih baik dan berguna bagi keluargaku. Tak ada manusia yang benar-benar sempurna.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa