Foto ilustrasi diambil dari 123rf.
“Nah, liat si Sinta gak?” sayup-sayup ku dengar suara mama menanyai bibiku yang tengah di dapur. “Gak tau teh, tadi kan bukannya lagi main di depan. ” Hening.
Setelah itu tak ku dengar lagi suara ibuku. Namun beberapa saat kemudian aku mendengar langkah-langkah mendekat. Langkah-langkah berat seperti seekor pemangsa yang tengah mengendap-endap mendekati mangsanya. Aku hapal langkah-langkah itu. Terdengar semakin mendekat, tanganku terasa mulai membasah berkeringat. Tanpa ku sadari, aku menahan nafas sambil semakin menyusutkan badanku… Kreeekkk….
Perlahan pintu lemari pun terbuka, dan akhirnya ibuku dengan senyum lembut keibuannya, menemukanku dalam persembunyianku, di antara lipatan-lipatan selimut serta beberapa bantal. Akupun akhirnya nyengir, sebagai tanda kekalahan.
Namaku Sinta. Seorang anak yang mampu menjadi kakak pengasuh bagi sepupu-sepupu kecilku, namun juga lebih suka merajuk-rajuk manja layaknya seorang adik kecil dengan potongan rambut pendek tomboy, ketika meminta ibuku untuk memasakkan tempe goreng kecap kesukaanku. Ibuku pernah bertutur kenapa ayah memberiku nama Sinta? “Karena ayahmu begitu menyukai sosok Dewi Sinta dalam kisah Ramayana, ” ujar ibuku pelan. “Dia berharap kelak kamu akan tumbuh menjadi seorang perempuan yang tak hanya cantik paras, tapi juga cantik jiwa dan hatinya yang penuh kelembutan, namun mampu menjadi seorang perempuan yang kuat dalam mengarungi kehidupan ini.” Aku hanya mampu tertunduk termenung mendengarnya, meski saat itu usiaku belum terlalu mengerti seperti apa untuk menjadi kuat dalam kamus kehidupan ini.
Ayah…
Yah, sosok ayah yang saat itu tidak setiap hari aku mampu melihatnya, karena setahuku saat itu ayah bekerja di ibukota, sedangkan ibuku memilih untuk tetap tinggal di kampung bersama keluarga kakek. Sangat sedikit memang waktuku untuk lebih mengenalnya. Satu minggu sekali. Itu kenapa sebabnya setiap mendengar deru mobil memasuki pekarangan rumah, aku selalu bergegas ke tempat persembunyian ku. Dikarenakan pula garis wajah yang terlalu keras dihiasi kumis yang lumayan membuat setiap anak kecil ‘merungkut’ ketakutan untuk menatapnya. Aku tak begitu mengenal pribadinya. Namun entah dalam hati ada rasa kasih dan segan terhadapnya.
“Mah, kita mau kemana memangnya besok?” tanyaku mengekori mama yang saat itu tengah sibuk kesana kemari, seperti yang tengah berbenah.
Setengah tertegun, beliau terduduk di sisi tempat tidur, sambil memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas hitam.
“Kita besok mau main ke rumah saudara di Jakarta, neng.” Mamah menjelaskan sambil tersenyum. Di balik senyum itu, aku sempat melihat satu kilatan rasa yang saat itu belum ku mengerti… namun kini dapat ku jabarkan. PERIH.
Dengan tatapan polos seorang anak yang berhiaskan ketidakmengertian akan apa yang terjadi, aku pandangi wajah mama. Aku tidak mengerti kenapa hari itu senyuman mama terasa sedikit… kosong. Begitu banyaknya ketidakmengertian yang berkecamuk di dalam kepalaku.. tapi satu yang ku mengerti dari kata-kata mama barusan,, main ke rumah saudara… di Jakarta. Berarti bisa bertemu dengan beberapa teman lama kecilku, juga saudara di blok perumahan bibinya mamaku.
Sepanjang perjalanan keesokan harinya, aku begitu gembira saat berada di dalam bus yang tengah membawa ku dan mamaku menuju ibukota. Meski aku tak banyak berkicau, namun binar di mataku cukup menjelaskannya saat ku pandangi pemandangan di luar dari balik jendela bus. Sesekali aku menoleh, berbalik memandang mama, dan beliau pun balas menatapku dengan sebuah senyuman.. yang lagi-lagi, membuat ku hampir dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan seperti kemarin. Namun segera ku menepisnya dan membalas senyuman pada mama.
Setelah hampir 3 jam lebih lamanya perjalanan, kami akhirnya sampai di tempat yang kami tuju. Tapi, tunggu dulu… pikirku dalam hati, “koq ini bukan blok perumahannya Mami (bibinya mamaku)? Koq rasanya aku belum pernah ke sini sebelumnya.. ”
Aku terus membatin sendiri, sambil mata ini sibuk menoleh ke kiri dan ke kanan, ke arah deretan rumah-rumah minimalis itu. Mamaku menggenggam tanganku erat, membawaku sampai kami berdiri di depan sebuah rumah yang berpagar kayu bercat warna hitam.
Saat Itu seorang laki-laki muda yang tengah berada di garasi rumah, begitu melihat mama langsung menghampiri dan menyapa mama.
“Eh… Teteh, kok gak kabar-kabar dulu mau ke sini The? kan biar bisa saya jemput di terminal. Ayo masuk.. ini pasti neng Sinta ya…” sapa laki-laki itu, kemudian tersenyum menatapku.
“Gak apa-apa, Dan. Kebetulan aja ini nanti ada urusan ke rumah Mami, jadi mampir dulu ke sini. Sinta, ayo salam sama kang Dadan, ” ujar mamaku.
Meski kepalaku saat itu masih di penuhi oleh rasa bimbang, kaget dan lainnya yang bercampur aduk, tapi otak kecilku masih mampu menyuruh tanganku untuk bergerak dan mengulurkan tangan. Setelah itu kami di bawa memasuki rumah yang tidak begitu besar, namun cantik di luar maupun dalam. Saat mamah mengobrol dengan kang Dadan, mata jalangku berkelana menyusuri hiasan-hiasan yang tertempel di tembok. Ada dua buah bingkai koleksi pecahan mata uang kuno, baik yang kertas maupun koin. Lalu beberapa deretan foto-foto orang yang benar-benar asing bagiku. Namun… PRAAKKK…
Serasa ada yang pecah dalam dadaku, kala aku melihat sebuah foto seorang perempuan muda memakai toga dan baju wisuda, yang di samping kiri kanannya ada dua orang anak perempuan dengan rambut panjang indah yang terjuntai serta seorang anak laki-laki yang lumayan ganteng meski usianya baru sekitar 5 tahun di atasku. Dan yang mengapit mereka adalah seorang ibu dengan seorang ayah, yang wajahnya 100% aku yakin sekali mengenalnya.
“Itu kan ayah, ” batinku.
Tertegun… aku membeku dalam dudukku. Namun mata ini terus menelusuri garis-garis wajah pada potret yang terlihat begitu harmonis itu. Dalam hati aku berharap, aku tengah salah lihat,, atau tiba-tiba saja datang hujan besar yang mengguyurku, yang kemudian akan segera membangunkanku dari mimpiku.
Namun setelah ku tarik satu nafas dan menghembuskannya kembali pelan, semua tetap sama pada tempatnya. Ini NYATA. Aku tak tau apa yang diobrolankan oleh mama dan kang Dadan, yang pastinya setelah hari agak menjelang sore, mama kemudian menyuruhku untuk membersihkan badanku dan akupun dapat menangkap sinyal bahwa kami akan bermalam di sini. Tak lama kemudian, satu persatu sosok yang sebenarnya adalah keluargaku juga, datang dan menyapaku. Di antara mereka, kakak laki-laki ku lah yang paling akrab dan langsung mengajakku ngobrol tentang bermacam hal. Akupun sempat berbincang-bincang kecil dengan ibu tiriku.
Ketika waktu tidur menjelang, aku tertidur di samping ibuku,, di atas sebuah kasur matras, dalam satu kamar tidur yang cukup besar. Tak jauh dariku, telah tertidur kakak laki-laki dan juga ibu tiriku. Aku tak mampu memejamkan mata. Entah sampai jam berapa. Tak jauh pula dariku, di atas tempat tidur, ayah tengah membaca sebuah buku. Aku hanya mampu mengintip dari balik selimut. Aku pandangi dia lekat-lekat… ayah begitu dekat, namun terasa sangat jauh. “Ayah… tahukah engkau, aku ingin merasakan belai kasih mu???”
Keesokan harinya, kak Adi begitu bersemangat menemaniku bermain, hingga tak terasa sampai waktunya makan siang dan kami pun makan bersama. Satu keluarga yang besar. Saat makan, aku pun hanya mampu mencuri-curi dari sudut mata melihat wajah ayahku, kemudian memandang wajah ibuku. Ya Tuhan… jika saja saat itu aku sudah cukup dewasa, untuk memahami perasaan ibuku.
“Tante… biarkan Sinta menginap di sini sampai beberapa hari lagi, tan.. ” rajuk kak Adi, saat kami berpamitan.
Dengan tersenyum, mama mengatakan “Ma’af sekali Adi, tante gak bisa. Tante mesti ke rumah saudara dulu, sebelum nanti langsung pulang ke kampung. Nanti lain kali saja ya.” Meski dengan cemberut kecewa, kak Adi akhirnya merelakan aku pulang. Sungguh aku merasa nyaman bermain bersama kak Adi, tapi dalam hati entah kenapa aku ingin cepat-cepat pergi dari situ & pulang. Namun ada harap kelak aku akan bisa bermain bersama kak Adi lagi. Akan tetapi hal itu tak pernah terjadi. Tanpa ku duga, itu adalah pertama dan terakhir kalinya aku bertemu dengan keluarga besar ku, karena ternyata tujuan sebenarnya ibuku datang kesana untuk meminta perceraian dari ayah.
Memang ayah sudah lumayan lama tidak pulang ke kampung. Entah berapa bulan, kepala kecilku saat itu belum mampu tuk menghitungnya.
“Ayah… tidak sayangkah kau pada kami??? ”
Berselang beberapa tahun kemudian, ibuku bertemu dengan seorang pria yang bijaksana. Yang kemudian hingga hari ini telah menjadi ayahku. Meski sudah memiliki seorang ayah pengganti yang lebih baik,, entah kenapa masih selalu ada bayang melintas akan wajah ayah kandungku. Bertahun lamanya, tak pernah terdengar sedikitpun kabar tentangnya.
Pernah satu saat, kala aku sudah bersekolah SMP, aku coba mengirimkan surat kepada ayah dengan bermodalkan alamat dari foto copy KTP ayah, yang sempat tak sengaja ku temukan di lemari buku. Namun berselang 2 minggu kemudian surat itu kembali lagi, utuh tak tersentuh dengan tanda cap pos yang tertera “NAMA PENERIMA TIDAK DI KENAL.”
Ayah… dimanakah dirimu kini berada???
Betapa terkadang kerinduan ini begitu besar menyiksa. Dalam setiap sujud do’a ku selalu meminta,,, jika memang engkau masih berada di atas muka bumi ini, entah dimana ataupun bila masanya, perkenankanlah aku ingin bertemu dengan ayah.
Aku tidak akan pernah menanyakan, apa yang telah kau perbuat terhadap hidupku dan ibuku.
Aku tidak akan pernah menanyakan kenapa dulu kau begitu tega.
Dan aku tidak akan pernah menanyakan rasa pertanggung jawabanmu. TIDAK, AYAH!!!
Jika masih diperkenankan aku untuk bertemu denganmu, aku hanya ingin meminta ma’af, bila sikap kecilku dulu yang selalu menghindar bertatap mata denganmu, mungkin telah menyakiti hatimu. Dan aku hanya ingin meminta ijin untuk merawat dan mengabdi kepadamu.. menggantikan waktu yang telah lalu dalam kekosongan dan kehampaan tanpa sosok sejatimu. Akan tetapi, Tuhan… masih mungkinkah aku bisa bertemu ayah????
*Selama aku masih bisa bernafas,
masih sanggup berjalan,
ku kan selalu memujamu;
meski ku tak tahu lagi,
Engkau ada dimana…
dengarkan aku, “Ayah, aku merindukanmu.”
(lirik d’massiv ‘Merindukanmu’)*
The End