Foto ilustrasi diambil dari Jezebel.
Musim sekolah tiba, banyak anak-anak sekolah berseliweran pada jam-jam berangkat dan pulang sekolah. Dari yang masih duduk di Taman Kanak-Kanak hingga bangku perguruan tinggi. Beberapa murid berseragam putih merah juga nampak riang meski hanya berjalan kaki menuju sekolah. Ada pula remaja berseragam biru putih yang memiliki raut cerah saat berjalan dengan lawan jenisnya yang berseragam sama.
Rumahku tak besar, hanya rumah tipe 70 yang terletak tepat ditepi jalan beraspal. Kebetulan juga dekat dengan sekolah-sekolah. Paling dekat yaitu dengan sekolah menengah pertama negeri teladan di kota kelahiranku. Pagi itu, segar sekali menikmati suasana pagi dengan bunga yang mulai mekar. Aku tak lupa untuk memyiraminya agar tidak layu dan tanamanku bisa tumbuh subur. Entah mengapa, penglihatanku tertubruk pada segerombolan anak-anak SMP. Lima orang cowok tersebut asyik bercengkrama dijalan dan tak peduli lalu lalang kendaraan sesekali membuat mereka harus menepi.
“Priyo! Ntar malam kongkow ya!” celetuh salah satu diantara gerombolan anak tersebut kepada temannya.
Aku tertegun. Mendengar nama itu, ingatanku terlontar ke masa tujuh belas tahun silam. Dimana aku masih seusia mereka. Dan nama cowok itu, mirip sekali dengan nama teman sekelasku: Priyo.
Tahun 1995
Suasana kenaikan kelas kali ini sungguh berbeda. Ini adalah tahun terakhir kami sekolah di SMP teladan. Hari itu waktunya kami menerima hasil ujian sekolah. Wali kelas bernama Ibu Yuni, datang dengan raut wajah yang sedih. Beliau langsung duduk dikursinya lalu menenggelamkan sejenak pandangannya ke lantai. Helaan nafas gurunya nampak berat. Dengan suara agak terbata dan serak, guruku yang hitam manis tersebut mengabarkan berita duka. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Teman sekelas kami bernama Sofyan telah meninggal dunia karena sakit. Kami semua terkejut, sedih, dan tak pelak airmata bertumpah ruah. Sekolah berduka. Dalam suasana berkabung dan sedih yang mendalam, aku dan teman-teman bisa lulus dengan hasil nilai yang memuaskan.
Tahun 1996
Aku kini bangga mengenakan seragam putih abu-abu. Apalagi sebagai murid kelas satu, aku bisa menjabat sekretaris OSIS yang sekaligus ketua kelas. Aku senang karena teman-teman percaya padaku. Makin lengkaplah kebahagiaanku sebagai murid SMK 1. Hari-hari kulalui dengan optimis. Aku tak terpengaruh teman-teman yang mulai mengenal kekasih. Bagiku sekolah ya waktu untuk belajar dan menuntut ilmu. Bukan untuk bersenang-senang. Tak heran, teman-teman dan guru-guru menyayangiku sebagai pribadi yang riang.
Meski tak mendapat peringkat pertama, aku selalu berada di lima besar saat semester awal. Seperti pagi itu, saat terakhir kali hari ujian kenaikan kelas tiba, aku berencana ke sekolah naik bis. Matahari masih malu-malu. Jam belum menunjuk angka 6 pagi. Aku sudah berada di tempat pemberhentian bis yang letaknya tak jauh dari rumah. Tak menunggu lama, bis yang kutunggu tiba. Kulihat bis hampir penuh. Karena aku takut terlambat, aku nekat masuk bis yang sudah berjejal penumpang itu.
Tak kutemukan teman yang seangkatan denganku ataupun sekolah yang sama. Aku tak kebagian tempat duduk, lalu dari arah samping, kurasakan tepukan tangan seseorang dipundakku. Aku menoleh. Mataku terbelalak, kaget. Aku senang. Laki-laki di depanku yang menawarkan tempat duduknya itu tak asing bagiku. Priyo namanya. Teman SMP-eku yang pendiam, agak sedikit bandel namun tak pernah mau menyakiti teman-temannya yang cewek. Entah siapa yang memulai. Kami pun terlibat percakapan hangat. Hingga tanpa kami sadari, kami harus menyudahi karena aku turun duluan, karena sekolahku lebih dekat. Begitu ingin kubayarkan ongkos naik bis, pak kernet bilang sudah dibayarin sama seseorang. Kulirik Priyo tersenyum. Aku tahu ini pasti kerjaannya. Aku membalas senyum sambil mengucap terima kasih. Entah dia dengar atau tidak.
Sejak pertemuan yang biasa itu, aku jarang dan hampir tak pernah bertemu lagi dengan Priyo. Aku juga tak tahu rumah dia dimana. Apalagi nomor hp, aku tak punya. Hari-hariku disibukkan dengan kegiatan OSIS dan sekolah saja. Aku sempat dekat dengan kakak kelasku yang orangnya cukup pintar, Mas Achmad. Dia kuanggap seperti kakakku. Namun aku tak pernah mengijinkan Mas Achmad untuk datang kerumah karena alasan ayahku yang tak mengijinkan anaknya dekat dengan cowok. Apalagi kalau sampai tahu ada hubungan khusus, pasti dilarang. Maka aku dan Mas Achmad lebih memilih teman dekat daripada menjadi sepasang kekasih.
Tahun 1998.
Tahun dimana aku harus menuntaskan 3 tahun waktu sebagai murid SMK. Setelah Mas Achmad lulus, aku tak memiliki teman dekat cowok. Konsentrasiku hanya kelulusan sekolah. Suatu ketika, aku bertemu dengan Priyo di bis lagi. Lagi-lagi aku yang biasanya naik motor ingin sekali naik bis ketika itu. Penumpang tak banyak saat itu. Aku sesekali mengobrol dengan Priyo. Cowok ini sedikit berbeda. Ia jadi banyak bicara dibanding biasanya yang diam saja. Ia menasehatiku banyak hal. Tentang hidup dan bagaimana menjadi cewek yang baik. Ah aku jadi geli sekaligus bahagia mendengar temanku itu berubah baik dan tak pernah lagi terdengar kabar kalau ia suka berkelahi. Dan lagi-lagi, dia membayari ongkosku naik bis. Ehm..
Suatu hari, matahari belum lama terlihat. Tiba-tiba teman-teman SMP-ku datang kerumah. Aku sedikit heran tapi lebih banyak senang melihat mereka. Namun, raut yang nampak di wajah teman-temanku tak seperti yang kupikirkan. Mata mereka nampak sembab. Sebuah perasaan tidak enak menyelinap diam-diam dihatiku. “ Priyo meninggal…” kata salah satu temanku dengan nada lirih sekali. “Apa…?????” Aku sontak menangis. Kami berpelukan.
Sebuah rumah sederhana, menjadi tempat reuni bagi kami. Namun kali ini bukan karena lama tak bertemu. Melainkan karena salah satu teman kami yang tersayang harus dipanggil Allah. Melangkahkan kaki di halaman rumah Priyo, yang meninggal karena kecelakaan sungguh membuat kakiku lemas. Rasanya sungguh tak percaya. Cowok yang beberapa kali membayari ongkos naik bisku itu harus tutup usia dalam umur yang masih muda. Namun semua yang terjadi, aku percaya telah ditentukan oleh Tuhan. Bahwa apapun yang terjadi pada manusia, ialah sebaik-baiknya hal yang terjadi di mata Yang Maha Pencipta, Allah SWT.
Selamat jalan, Priyo. Rumahmu sekarang ialah dirumah Tuhan, sebaik-baiknya tempatmu kini bersemayam. Terima kasih untuk segala kebaikanmu, semoga amal ibadahmu diterima disisi-Nya.
Tahun 2012.
Suatu pagi, kala anak-anak sekolah sudah tak lagi kelihatan, kutitikkan air mata mengenangnya: Priyo.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa