Foto ilustrasi diambil dari InfoCurse.
Petangku gaduh padahal aku lagi duduk sendiri. Tak juga bisa dikatakan sendiri karena dihadapanku ada laptop kesayanganku yang di dalamnya beribu sahabat-sahabat menemani. Sekalipun raga kami berpisah, namun hati kami serasa tak lagi bersekat oleh jarak.
Senja ini, emosi semakin mengaduk-aduk perasaanku. Kesabaran rasanya tersapu angin entah kemana. Lemas terasa menyelimuti raga.
Melihat segala aktivitasmu yang terekam di foto-foto dan juga status facebook-mu tak mampu rasanya menghentikan jemariku untuk menyapa. Kangen, marah, penasaran dan entah rasa apa lagi memenuhi rongga dada.
Namun sapaku tak bersambut jawaban. Kau kentara sekali, kini sengaja menghindar dariku.
*****
Galau yang ranum, aku bersenyawa dengan lamunan dan kenangan.
Seperti mengenal yang lainnya, aku mengenalmu. Aku memanggilmu dengan nama panggilanmu, Mas Langit. Lelaki yang kuperkirakan berumur kurang 50 tahun karena di facebook hanya tercantum tanggal dan bulan lahir. Dari foto, pembawaanmu terlihat tenang. Beberapa lembar uban mulai menghias kepalamu. Penampilanmu sederhana namun dewasa.
Dan kemudian kita dengan mudah akrab, mungkin karena hobby kita yang sama. Menulis. Kau sering datang memberi komentar ditulisanku. Lalu kita bisa menghabiskan banyak waktu untuk bertukar pikiran mulai dari tentang tulisan atau juga berbagi cerita tentang apa saja. Aku yang tak mudah berbagi cerita tentang hidupku kepada orang lain, denganmu berbeda. Semua kisah terasa mengalir deras.
Suatu malam, tiba-tiba kau bercerita tentang keluargamu.
“Perkawinan kami adalah kecelakaan terbesar dalam hidupku.” keluhmu.
“Kok bisa begitu. Kalau kamu tak mencintai istrimu kenapa kamu menikahinya?” tanyaku penasaran.
“Aku dijodoh guruku disaat umurku sudah berkepala tiga.” jawabmu.
“Dari sejak awal pernikahaan, kami sering bertengkar sehingga tak ada kedamaian yang kurasakan. Dalam rumah seperti di neraka. Sampai pernah terlintas di pikiranku untuk bercerai, namun saat itu juga kuketahui istriku sedang mengandung. Lalu aku berpikir lagi, mungkin ini cara Tuhan mendekatkan kami. Berharap kalau anak sudah lahir bisa mendekatkan hubungan hati kami berdua. Dengan kelahiran putri kami, membuatku menjadi terikat dan harus bertanggung jawab. Tak mungkin meninggalkan mereka begitu saja.” ceritamu panjang lebar.
“Mmm…” aku tak bisa berkomentar apa-apa. Kasihan atau tersentuh. Entahlah. Segala rasa tiba-tiba bergumul dalam pikiran.
“Selain itu, aku sering dipusingkan dengan berbagai kebutuhan. Aku harus membantu sekolah adikku karena orang tuaku sudah tua dan tidak memiliki penghasilan tetap. Setelah adik perempuanku mendapat pekerjaan, akhirnya dia membantuku menopang kehidupan orang tuan kami. Namun tak berjalan begitu mulus karena desakan ekonomi setelah krisis. Sedangkan dia hanyalah seorang guru SD dan kini dengan dua orang anak.” ceritamu semakin masuk ke ruang-ruang keluargamu.
“Sabar ya! Setiap manusia sudah memiliki nasibnya sendiri-sendiri. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya,” ujarku menyemangati.
****
Keakraban semakin terjalin manis antara kami. Sehingga membuatku merasa kau telah menjadi bagian indah yang turut serta menghias hidupku. Sekalipun kesibukan mendera aktivitasku setiap hari, namun selalu kusempatkan menyapamu. Sebagai teman bicara, kau bukan saja memiliki pengalaman yang banyak juga terasa mampu menyejukan hatiku dengan kalimat-kalimat bijakmu. Bahkan tak jarang kau mengunakan kalimat-kalimat motivasi untuk mengingatkanku tatkala aku mulai lelah dan rapuh dengan segala kejadian kehidupan.
Sampai suatu hari kau berdiskusi padaku untuk membuka sebuah usaha.
“Aku ingin membuka usaha. Karena gajiku selama ini sebagai pegawai negeri masuk ke rekening yang dipegang istriku. Bukan saja aku jarang dikasih untuk transportasi, kadang untuk makan saja tidak diberi kalau kami lagi bertengkar.” jelasmu.
Baru hendak menjawab, kau sudah memulai bicara lagi.
“Masalahnya sekarang. Semua terbentur dana yang masih kurang setelah aku membujuk istriku dengan berbagai perjuangan. Dia memberiku 5 juta. Sedangkan yang kubutuhkan sekitar 9 juta.” paparmu.
“Ah! Parah banget istrimu.” ujarku polos.
“Itulah. Namun aku mau bagaimana lagi. Aku malas bertengkar. Maka aku tahan-tahan saja semua selama bertahun-tahun. Aku juga malu mau menceritakan kepada orang lain. Kau yang sudah aku anggap adik maka aku berani bicara apa adanya. Namun jangan kamu singgung apapun yang aku ceritakan kepadamu jika kelak kau bertemu istriku.
Biarlah.. aku memilih mengalah saja. Maka dari itu, aku pengen buka usaha sehingga bisa ada pemasukan sendiri yang mengalir ke rekeningku.”
“Mmm…emang nggak ada jalan lain?” tanyaku.
“Itulah yang masih aku pikir-pikir. Buka mulut ke teman nggak enak. Tapi ya sudahlah… anggap saja tidak pernah bercerita. Lupakan ya! Nanti akan aku coba cara lain.” jelasmu.
“Oo, begitu ya. Oke, deh. Semoga ada jalan keluar.” jawabku menutup perbincangan kita sore itu.
*****
“Puji Tuhan!” aku melonjak gembira menerima bonus akhir tahun.
“Kalau sudah rezeki memang tak kemana.” gumamku bahagia.
“Kerja kerasku membuahkan hasil. Horeee…”
Aku yang polos langsung menceritakan kebahagianku hari ini. Kau pun mengucap selamat atau segala usahaku selama ini, terlebih kau mengatakan bangga dengan segala prestasi kerjaku.
“Oh ya mas, usahamu sudah jalan?” tiba-tiba aku ingat perbincangan kita dulu.
“Belum. Dananya masih belum cukup.” jawabmu singkat.
“Wah…padahal bisnismu kalau menjelang lebaran pasti bagus.” sesalku.
“Bagaimana kalau kau pinjam ke aku, nanti akan saya ganti beserta bunga atau kita gabung saja menjadi usaha bersama?” tanyamu antusias.
“Wah, tapi…”
“Yakinlah bisnis ini oke banget! AKu sudah memikirnya sejak lama.” potongmu.
“Bagaimana ya?” jawabku ragu
“Kau tak mempercayaiku? Begini saja, kamu buat satu nomer rekening baru. Jadi semua uang bisnis ini masuk ke situ. Kamu yang pegang buku tabungan itu. Aku sangat menyanyangimu. Bagiku kau sudah seperti adikku sendiri.” kalimatmu yang manis perlahan menghipnotisku.
“Okelah, Mas. Begini saja. Aku bikin buku tabungan baru. Uang kumasukan ke situ. Buku di aku dan atm akan segera aku kirim ke kamu.” usulku.
Tanpa banyak komentar, kamu langsung menyetujuinya.
****
Lebaran pun tiba. Kau susah dihubungi. Setelah aku membuka facebook, baru aku tahu kamu habis jalan-jalan bersama keluargamu. Foto-fotomu di hotel, di restoran, di daerah Batu, Kota Malang yang dingin. Dan kebeberapa tempat di Jawa Timur yang kuyakin pasti menguras banyak uang. Wah benar-benar bikin aku kesal.
Aku ambil telepon genggamku. Aku telpon kamu.
“Kok susah dihubungi sih Mas?” sodokku.
“Oh sorry. Beberapa hari ini aku bawa keluarga jalan-jalan. Signalnya kurang bersahabat. Istriku cemburu denganmu, dia mendiamkanku berhari-hari. Untuk membujuknya maka aku bawa mereka jalan-jalan. Sekarang dia sudah baikan. Besok aku hubungi kamu ya.” tiba-tiba saja kau memutuskan percakapan.
“Huh…. benar-benar tidak sopan. “ ujarku dongkol.
Kesal rasanya. Jawabanmu benar-benar bikin aku lemas karena jawaban yang aku inginkan masih belum aku dapatkan.
Aku janji akan mendiamkanmu. Biar kau yang mencariku. Sebenarnya aku hanya ingin bertanya bagaimana perkembangan bisnis bersama kita. Apakah ada yang bisa kubantu supaya bisnisnya lebih cepat geraknya. Pengen tahu apa ada kendalanya.
Sejak bisnis mulai berjalan, aku malah harus beli jualannya dengan harga yang lumayan mahal dari harga pasaran. Dan sering mesti nambah buat ngebuletin transferannya.
“Sinting, bisnis begini. Modal dari saya, saya juga yang harus beli dengan harga mahal pula. Harus bayar dimuka, kalo tidak di sms melulu. Lebih parahnya lagi, kalau duitnya sudah di transfer dia, malah putar untuk kebutuhannya yang lain dulu. Huh… benar-benar,” dengusku kesal.
“Siang aku telpon ya.” SMS-mu barusan.
Aku tak membalasnya. Siang kau pun menelponku saat aku lagi makan siang.
“Pelangi, bisa tidak kamu kirim sejuta lagi.” suaramu terhantar lewat ponselku masuk ke telingaku.
“Hahhhh?”
Kini kau tak lagi basa-basi. Tak lagi ada rasa malu. Aku sudah mirip ATM, yang setiap minggu kau minta uangnya. Tadinya aku hanya tak ingin kehilangan uang yang pertama, yang lama kelamaan malah seperti dimanfaatkanmu.
“Wah, Mas… bukankah minggu kemarin saya baru kirim sejuta? Bulan ini saya sudah kirim empat kali loh. Gaji saya sebulan sudah habis saya transfer ke rekeningmu. Namun kok jadi saya yang mesti terus membeli barang daganganmu?” Aku pun tak lagi segan bertanya kepadamu.
“Uang yang kau kirim minggu lalu aku gunakan untuk kebutuhan pribadiku, Pelangi. Maafkan aku! Istriku kembali tak memberiku sangu,” jelasmu
“Hahhh?” Benar-benar rasa mau meledak amarahku.
Setelah diakhir percakapan. Aku duduk seraya merenung semua kejadian dari awal sampai saat ini. Awalnya emang karena kasian banget. Masak laki-laki digituin sih oleh istri. Tapi setelah lama-lama barus sadar.
“Wah… enak banget ya istrinya. Bisa menabung terus dan aku malah musti memelihara suaminya. Sial!” umpatku kesal.
*****
Kalau mau dipikirkan, harusnya aku sakit hati banget dengan kejadian penipuan yang mulus ini. Tapi memang God is so good. Ada aja yang dibuatnya untuk mengalihkan perhatianku dari niatku untuk mendendam. Padahal aku punya cukup alasan untuk itu. Kalau aku mau jahat, Aku tinggal terbang ke Jakarta. Datang ke rumah Mas Langit pas dia ke kantor. Gampang. Cari istrinya, bawa beberapa bukti print out bank, transaksi yang ada namanya semua plus tagihan terhadap penggunaan uang yang diluar izinku yang bikin istrinya malu habis bahkan pingsan. Aku yakin mereka bakal ribut besar. Dia tidak mikir aku punya kekuatan untuk melakukan itu.
Tapi aku yang dikatainnya sinting dan dia menyesal berteman denganku itu hanya karena aku menekannya dengan mendetail perbuatannya sendiri. Dia tidak tahan aku sodor dengan fakta-fakta itu.
Itu alasannya memblokirku.
Pengalaman emang mahal banget. Tapi aku berterimakasih kepada Tuhan, semua digantiin-Nya. Aku tetap dapat berkat. Dapat rejeki. Karena apa yang kubantu ke dia, kulakukan dengan ikhlas.
Tapi aku sangat bersyukur dengan kejadian ini. Aku memang harus dapat pelatihan seperti ini. Karena aku dulu super tidak tegaan sama orang. Belas kasihan yang kelewatan.
Ini adalah kejadian yang keberapa yang aku alami.
Sebelumnya aku pernah difitnah oleh seorang cewek yang punya utang sama aku. Padahal tidak kutagih. Dia minjam 2 minggu, sampai sudah 8 bulan belum juga dibalikin padahal udah terima THR dan terima bonus. Alasan minjam mau bayar uang sekolah adiknya dan bayar berobat ayahnya, eh buntutnya tidak sengaja ketauan dia beli hp baru dari percakapan di komentarnya. Jengkel!
Ada juga yang mau pinjam untuk takeover rumah. Benar-benar banyak macam. Tapi selalu dimanfaatin dan buntutnya aku sendiri yang susah. Sampai aku bilang ke Tuhan, “Apa aku berhenti saja berbuat baik?”
Tapi terus aku diingatkan dengan satu ayat yang mengatakan bahwa, “Jangan jemu-jemu berbuat baik.”
Aku hanya perlu bijaksana. Maka selangkah demi selangkah aku mulai belajar untuk lebih bisa membedakan permintaan tolong orang; yang mana kebutuhan, yang mana keinginan.
*****
Sebelum diblokir, diam-diam aku ikuti segala aktivitasmu di Facebook. Ternyata komentarmu manis ke beberapa perempuan yang kelihatan kaya. Yang kau incer orang yang kelihatan berduit. Lumayan pintar pendekatan meskipun keliatan dari pembawaanmu, kau pendiam dan baik. Sebenarnya aku sudah tahu dari segala keceplosanmu bicara, kalau kau tak terlalu pintar menulis.
Kau terus mencari perhatian orang dengan tulisanmu yang memabukkan dan seringkali membuat beberapa wanita berasa spesial. Padahal semua tulisan yang kau posting terinspirasi setelah membaca karya-karya orang lain. Kau sering men-tag foto. Bahkan foto-foto itu kuyakin bukan hasil jepretanmu. Lalu di bawah foto kau bumbuhi kalimat-kalimat orang hebat.
Selain itu kau juga mengatakan kau bisa edit, layout dan desain cover buku, ternyata semua itu dikerjakan temanmu.
“Ah, kenapa baru sekarang aku mulai mengingat segala apa yang kau ucap. Lalu baru sadar untuk mencari info tentangmu? Kenapa tidak dari dahulu. Benar-benar konyol!”
Suatu malam, aku benar-benar kesal. Aku rasanya marah sekali karena menurutku sangat tidak sopan ketika orang sedang bicara dipotong atau ditinggal pergi. Dan kali ini aku diblokir dari friendlist Facebook –mu.
“Busyet!”umpatku.
Saat aku buka wall facebook, ada orang iseng dan gila mampir di wall-ku. Dan dengan nyelenehnya mengirim pesan ke wall serta berkomentar. Berlaku seenak udel di situ. Aku bukannya marah, tapi jadi geli sendiri. Dalam situasi biasa mungkin orang seperti ini sudah kumarah atau setidaknya tidak akan kuladen. Tapi berhubung aku lagi kesel, dialah jadi tempat pelampiasanku. Untung orang gila juga. Dia juga tidak marah. Dan ajaib, aku malah sembuh dari kemarahan membaca segala kelakarnya. Yang kadang masuk akal, kadang malah kupikir dia benar-benar kurang waras. Dan dalam waktu dua hari saja aku sudah tidak berasa apa-apa . Benar-benar berterimakasih dengan orang ini. Tapi aneh, sekarang malah tidak pernah nongol lagi. Tuhan hebat bisa mengunakan orang sinting dan yang paling menyebalkan sedunia buat menyelamatkan hari-hariku.
“Kenyataan selalu punya cara membuat kita menangis namun Tuhan memiliki beribu penghiburan untuk membuat kita tertawa.”