Foto ilustrasi diambil dari Pinterest.
Aku adalah anak perempuan bungsu dari sembilan bersaudara, walaupun penghasilan ayah pas-pasan, namum alhamdulillah ayah berhasil menunjukkan bahwa dia adalah laki-laki sejati yang penuh rasa tanggung jawab. Sekarang tinggal aku dan kedua adik laki-lakiku yang masih harus ditanggung dari uang pensiunan ayah. Aku bersyukur mempunyai orang tua seperti mereka yang sangat pengertian dan bersahaja.
“Tok…tok…tok” suara pintu kamarku ada yang ketuk, mataku enggan membuka, pagi itu kurasakan sangat dingin sekali, “tok…tok…tok”…kembali pintu diketuk. “Bangun ‘na udah siang, kamu harus berangkat sekolah”, dengan manjanya kujawab sautan itu “baik bu!!”.
Dengan bermalas-malasan kupersiapkan diri, jam menunjukkan pukul 6.30 pagi dan aku berpamitan pada orang tua untuk berangkat ke sekolah. “Hati-hati di jalan!!” amanatnya. Dengan mengendarai sepeda motor FIZ-R, akhirnya kusampai di sekolah disambut dengan senyum ceria teman-teman. Suasana sekolahan bagiku sangat mengasikkan, tempat luapkan segala inspirasi dan imajinasi tentang model dan gaya yang menarik perhatian dalam setiap penampilan.
“Hai Suy…tadi Iwan nunggu loe, dia pesan ama gue nanti jam tiga sore ditunggu di café “pak kumis”. Ketiga sahabatku sangat senang jika aku ada kencan sama Iwan, soalnya Iwan orangnya royal sekali.
Iwan adalah kekasihku, umurnya jauh lebih tua dariku, udah kerja dan berpenghasilan cukup, jadi teman-teman suka kebagian jatah makan siang gratis di cafe.
Pertemuan pun akhirnya tiba juga, kusambut Iwan dengan senyum bahagia. Hari minggu aku ada balapan di Gasibu,…ikut yah!”, dengan perkataan yang memelas dan genggaman tangannya meyakinkan bahwa aku harus ikut, aku hanya tersenyum ngangguk tanda setuju. Tentang hubunganku sama Iwan, orang tua tak pernah tau, mereka tak member ijin untuk pacaran, apalagi sampai bawa laki-laki ke rumah. Mereka menganggapku masih kecil dan harus berfokus pada pelajaran.
Gerungan gemuruh suara motor yang berbaris di garis start siap untuk beratraksi unjuk kecepatan, hatiku berdebar-debar kali melihat sang pujaan hati bertanding dengan maut. “Aduh…maaf yah kalah”, seraut wajah dengan penuh rasa kecewa menghampiriku. “Tak apa-apa, yang penting kamu selamat”, sahutku membesarkan hati Iwan agar tidak terlarut dalam kekecewaannya.
“Kita jalan yuk!!!”
“Ke mana…?”
“Ke situ patenggang” ajaknya, “oh…ya udah”, jawabku. Kamipun berlaju menuju tempat tujuan, Iwan membawaku ke sebuah villa di pinggir pantai, sambil menikmati alam pegunungan Ciwidey yang indah dan sejuk, seindah suasana hati kami saat itu yang sedang dilanda asmara. Lamunanku terjaga ketika Iwan memeluk tubuhku dari belakang, ku tak mengelak atas sikap Iwan, entah berapa lama kami bercumbu tanpa sadar aku telah melakukan hal yang layaknya suami istri, perbuatan itu bukan untuk pertama kalinya, dalam setiap pertemuan pasti kami melakukannya. Aku sungguh tak pernah berpikir secara rasional apa dampak dari semua itu, kupercaya sepenuhnya pada Iwan, dimataku dia adalah sosok yang baik, jujur dan setia.
Semakin lama hubunganku semakin mesra, tanpa dirasa akhirnya aku mendekati tes ujian akhir di bangku SMU ku, aku sibuk cari contekan pelajaran, soalnya buku catatanku kosong. Hari-hariku kuhabiskan hanya untuk Iwan, sering kali aku pulang malam. “Aduh…anak sekarang kok rajin-rajin belajarnya, pulang sampai larut malam”, sindir ayah. “Iya…padahal jaman kita dulu cukup jam 12 siang udah sampai rumah”, sambung ibu menambah sindirannya untuku. “Les…bu”, elakku.
Suasana hening dalam ruangan dan tajamnya 10 pasang mata pengawas membuat hatiku benci untuk berdiam lama-lama. Pikiranku menerawang jauh, mengingat pelajaran yang tak nempel di benakku, untuk sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di kertas ujian. Seperti halnya pertanyaanku pada Iwan yang akhir-akhir ini tak pernah menemuiku, hp nya pun tak pernah aktif. Rasa rindu, resah dan sedih jadi satu, menjelang dua bulan ini aku terlambat bulan, “apakah aku hamil?” ,guramku. 3 bulan, 4 bulan, 6…….8 bulan tak pernah aku dapatkan kabar dari Iwan. Kucoba tanya pada teman-temannya, jawabnya sama “tidak tahu!”.
Setiap malam aku selalu menangis, apa yang harus kulakukan?…tak henti-hentinya tanganku mengelus perutku yang semakin membesar, hatiku hancur, murung pun menguasai semua waktuku yang tanpa disadari kedua kakiku bengkak seperti bangkal anjing yang terendam dalam air. Lamunanku terhenyak ketika kudengar suara ayah, “pergi sana olah raga, jemur matahari, agar kakimu tak terlalu bengkak kedinginan.” Tanpa rasa curiga ortuku tak memperhatikan perubahan pada diriku , setau mereka bengkak pada kakiku akibat terlalu lamanya bahkan sampai pagi bersila di lantai main “playstation”.
Dengan perasaan gembira akhirnya kudapatkan kabar dari Iwan…namun kebahagiaan itu berubah 100% jadi kesedihan, ketika kutau Iwan ternyata sudah beranak istri. Betapa hancurnya hatiku orang yang selama ini kunanti dengan penuh rasa rindu ternyata sudah menjadi milik orang lain. Sementara itu aku tak ingin menghancurkan benih cinta yang tertanam di ragaku, aku berniat untuk merawatnya apapun yang akan terjadi kusiap menghadapinya, tanpa harus kehadiran Iwan di kelahiran anaknya nanti.
Tanggal 28 November 1997, tepatnya hari Sabtu…sabtu magrib, perutku terasa mules, bolak balik ke wc, namun tak ada yang keluar, di luar sana hujan deras sekali, sederas air mataku menahan sakit yang tiada terkira. Ortuku tengah asyik nonton TV, sementara perutku tak tertahan sakitnya, aku sadar…mungkin aku akan melahirkan?…Kuhendak ke kamar mandi karena perasaan pingin “pipis”, namun…ketika hendak berdiri!!! Air apa itu…aku gak tau, keluar dengan sendirinya, rasa sakit seakan hendak dicabut nyawa, aku berteriak memanggil ayah, “ada apa na?…”. Aku tak bisa menjawab, hanya keringat menggigil, dan erat genggamanku menjadi jawabn, tubuhku terkapar di pinggir ranjang, “Ya Allah anakku mau melahirkan!!!”. Dipeluknya tubuhku, “mak, cepet telpon bidan”, teriak ayah pada ibu. Usap tangan ayah membelai rambutku sembari berbisik, “na, kuatkan…’na”, kujambak tangan ayah sambil menjerit setinggi langit yang disambung dengan tangisan seorang bayi mungil berbobot 1,4 kg.
Alam seakan menyaksikan peristiwa aib yang aku alami, hujan tiada henti, akhirnya bidan pun tiba membantu mengeluarkan dudukan anakku yang belum keluar dari perutku. Pada saat itu aku tak ingat apa-apa lagi, yang kutau, ku telah berbaring di ruang tengah ditemani “insan baru disampingku”. “Selamat ya bu!!!…bayinya laki-laki”, ucap bidan, sembari berpamitan pulang, satu kalimat yang begitu menyayat hati.
“Inikah balasan atas kasih sayang dan kepercayaan yang ayah berikan, sungguh kau telah mencoreng mukaku dengan tai!”. Sambil terisak ibu memeluk ayah, “ini adalah salahku, yang terlalu percaya pada anak”, sambung ibu sambil bersujud di pangkuan ayah. “Sudahlah bu…semuanya sudah terjadi”, melas ayah sembari beranjak pergi, “ayaaaaaaa…h”, aku menjerit,…menangis…berlari mengejar ayah yang jatuh terkulai, kupeluk tubuh ayah, kudekap…kucium, “maafkan aku ayah!”. Aku tak perdulikan darah yang berceceran di lantai akibat persalinan, kugoyang-goyangkan tubuh ayah namun…namun tak ada suara, “pak…sadar pak”, desah ibu dalam isak tangisnya.
Dua hari kemudian Iwan datang, namum aku tak diperbolehkan keluar dari kamar. Suasana guruh di rumahku menambah guruhnya hati yang hancur, karena aku terlalu percaya dan mudah menyerahkan apa yang semestinya aku pertahankan. Akhirnya kami pun menikah dengan syah.
Ayah menyodorkan dua pertanyaan antara keluarga dan Iwan, kuharus memilih salah satu, “jawab pertanyaan ayah…?”. Lamunanku pudar dengan teriakan ayah penuh amarah, “pak…”, desah ibu sembari merengkuh anakku yang terbangun di ayunnya sampai dia tertidur lagi. Melihat perlakuan ibu seperti itu air mataku terus menetes penuh haru, “terserah…, yang pasti ‘na ga mau jauh dari ayah dan ibu”, “baik”, seru ayah sambil menghela nafas panjang.
Seminggu kemudian Iwan dipaksa untuk menandatangani surat perceraian dengan wajah berlumuran darah. Iwan menangis di telapak kakiku memintaku untuk menghentikan penyiksaan pada dirinya, namun aku tak bisa komentar apa-apa. Di depan kedua mataku Iwan disiram dengan air panas oleh saudara sepupuku, ternyata ayah telah membayar orang untuk menghajar Iwan, kupasrah walau ada rasa kasihan melihat tubuh Iwan bonyok.
“Pergilah pada anak dan istrimu”, kumenyuruh Iwan pulang. “Maafkan aku ‘na!!”, begitu mudah kata maaf terlontar, pengen rasanya aku jadi laki-laki yang bertanggung jawab, dan pengen rasanya laki-laki bunting biar seperti apa komentarnya.
Sebulan telah berlalu, suasana riang pun kembali normal di rumahku, saat itu aku tengah menyantap makan siang bersama orang tua, tiba-tiba terdengar suara bel pintu rumah berbunyi. “Biar ibu yang buka, kalian teruskan makan”, sahut ibu lantas bergegas menyambut tamu datang. “Nana nya ada bu…?”, seru tamu bertanya, lantas ibu menyuruh tamu masuk.
“Na, ada tamu!”, “siapa bu?”…ibu gak kenal tuh, ibu terheran-heran. Dengan alis berkerut tanda penasaran siapa gerangan yang datang. Kucoba menemui tamu yang tak diundang itu, kujumpai seorang wanita cantik berambut pendek dengan ditemani bocah kecil imut berumur empat tahun.
“Maaf, siapa yah…?”, tanyaku pada sang tamu. “Oh…kenalkan aku istri Iwan, dan ini anaknya”. Perempuan itu menceritakan tujuan kedatangannya, atas apa yang sedang dialaminya. Ternyata selama ini pula Iwan tak pernah pulang ke rumah istrinya, dia bertanya padaku dimana Iwan berada. “Demi Tuhan mba,…aku sudah tidak ada urusan atau hubungan sama Iwan, kami memang menikah, namun Iwan tak pernah tinggal disini”. “Maafkan aku mba, karena aku, rumah tangga kalian jadi berantakan”, aku menghela nafas panjang mengapa orang secantik itu belum cukup syarat untuk menjadi istri, apa yang Iwan cari dari perempuan?
Sejak peristiwa itu, kini aku menjadi trauma dengan cinta, sampai saat ini pun kabar Iwan tak pernah aku dengar lagi,…matikah dia?…Masa depanku telah terkubur, terkubur bersama tali ari-arinya anakku, hatiku luka, hasratku tertutup untuk laki-laki.
Kebencianku pada laki-laki ternyata berdampak negatif, aku terjun ke jalanan ikut aliran anak broken home, minuman keras dan narkoba pun jadi santapan sehari-hari. Penampilanku yang amburadul, cuek, dan tomboy…ternyata banyak menarik perhatian wanita. Ku tak pernah menyangka dunia seperti ini (lesbi) mengasyikkan juga, dan mampu mengobati luka hati karena laki-laki. Sehingga akhirnya sampai saat ini, aku pun menjalani dunia pecinta sesama, salahkah diriku…?