Foto ilustrasi diambil dari shutterstock
Matahari belum sepenggalah ketika ku seberangi trotoar jalan ke arah Sogo Department Store (Pertokoan Sogo) daerah Zhongxiao Fuxing. Kuhirup dalam-dalam semilir angin pagi itu. Langkahku ringan, riang seiring irama musik, karena lagu “wanita” milik Ada Band yang berdetak-detak dari ujung headset yang menempel di telingaku. Jalanan tampak lengang di sepanjang depan pertokoan yang kulewati, mungkin karena ini hari Sabtu, jadi tak banyak orang yang berangkat ke kantor seperti biasanya.
Irama musik benar-benar membuatku sangat enjoy, sampai-sampai ada suara yang memanggilku. Aku masih belum “ngeh” (sadar, kalau ada orang yang manggil) dan aku menjadi terkejut tatkala suara yang memanggil itu terdengar sangat jelas.
“Mbak… tunggu… mbak… tunggu sebentar, Mbak…!!!” ujarnya sangat memohon.
Seketika kuhentikan langkahku untuk memastikan apakah suara itu memanggil aku atau bukan?! Menengok kesekelilingku, tak ada seorangpun yang lewat, jadi….??? Memang benar, ia pasti memanggilku. Kutoleh sumber suara yang berada agak jauh di belakang.
“Haahh… astaga, orang gila!!” pekikku dalam hati ketakutan. Serta merta kupercepat langkahku sambil mendorong pasienku yang juga sakit jiwa di atas kursi roda, setelah tadi habis pergi terapi.
Jantungku berdebar keras, dag… dig… dug… tak karuan. Jalanan sangat sepi, “Bagaimana kalau aku diapa-apain oleh orang itu?”
Setelah itu,
“Mbak….. tunggu mbak……! Jangan lari…. Jangan takut, Mbak?!” hampir aku menangis, karena suara itu terdengar jelas, sudah ada di belakang telingaku. Lemas! Langkahku terhenti dengan lutut gemetar.
“Mbak… saya dari Indonesia, jangan takut!” ujarnya sedikit parau dan tersengat. Antara takut dan kasihan, kucoba perhatikan dia. Astaghfirullah! Dia lelaki tinggi besar, wajahnya kusut rambut tak terawatt, pandangan matanya gelisah menatap berbagai arah. Baju kaos kedodoran terlihat kumel, dan memakai sandal jepit warna biru. Kuperhatikan kakinya lebih seksama…. Ya Allah… hitam-hitam, kotor dan kukunya panjang. “Huh… Huh…” andai tak malu, aku sudah menangis karena takut dan prihatin.
Dan dua kantong keresek besar yang ditenteng di kedua tangannya menambah rumit asumsiku. “Sepertinya dia TKI kaburan, nasibnya tidak beruntung, lalu ia jadi gelandangan! “Astaghfirulloh.”
“Duuh… kenapa nggak ada orang yang lewat sih, biasanya ada perempuan Indonesia yang mendorong pasiennya memakai kursi roda, jadi aku tak takut seperti ini?” gumamku macam-macam dalam hati.
Kembali laki-laki itu berbicara sambil menadahkan tangannya. “Mbak tolong saya diberi sedikit uang. Saya dari Indonesia daerah Jawa Timur, saya ingin pulang ke Indonesia, tapi belum punya ongkos. Habis itu saya mau ke KDEI,” ujarnya panjang lebar. Setidaknya, kata-katanya itu menguatkan asumsiku, kalau dia memang lelaki kaburan (BMI). Tergesa-gesa kucari dompetku, dan hanya tersisa beberapa keping uang receh, kuberikan semua padanya.
“Terima kasih ya, Mbak…. Terima kasih. Mbak, hati-hati kerja ya?” ucapnya sambil terus menatap berbagai arah ke jalan-jalan, dan bukannya memperhatikanku.
Aku pun malah bengong dibuatnya, tak tahu harus berkata apa.
“Iya, mas juga hati-hati!” ujarku tak mengerti harus bagaimana.
Hampir tak banyak bicara, dia pun pergi dan aku juga melanjutkan perjalananku. Lagu-lagu indah dari headsetku sudah tak karuan lagi, digantikan dengan detakkan-detakan hatiku yang tak menentu. Kembali kudorong kursi roda dimana pasienku yang sakit jiwa terus berbicara sendiri. Aku berharap bisa bertemu dengan seseorang untuk bercerita. Dan….. tidak lama kemudian, sekitar 25 meter ke depan, ku lihat ada seorang mbak yang juga sedang mendorong pasiennya yang menggunakan kursi roda, lalu segera ku panggil dia.
“Hai Mbak… di sana lho, tadi ada lelaki (begini begitu)!” kuceritakan dengan menggebu pada mbak itu dengan sok akrab.
“Yaahh… udah sering lihat. Mbak. Memang tiap hari juga ada, bahkan terkadang ia di stasiun bawah tanah. Ya, begitu kerjaannya! Minta-minta! Tapi, kita kan nggak setiap hari punya uang untuk ngasih mereka? Kita sendiri juga banyak kebutuhan!” ujar mbak tadi seperti masa bodoh atau malah ketus.
“Ooo…!” aku hanya makin melongo. Menatap, tak jelas apa yang kutatap. Melamun tak jelas apa jawabannya.
Ah! Ku berjalan lagi. Masih sedih, bahkan tambah puyeng. Pasienku masih bercuap-cuap asyik dengan kawan khayalnya (berbicara sendiri (自言自語)). Keningku berkerut-kerut, melangkah ke arah taman berharap sekali lagi ada kawan yang bisa dijadikan tempat curhat bagiku.
Hmm… duduk di taman, angin sedikit kencang, daun-daun kering yang jatuh, kembali terpekur.
“Ya Allah, apa yang terjadi dengan lelaki tadi? Mengapa keadaannya begitu menyedihkan? Baju kumel, kotor, badan kotor?” kupandangi sendiri bajuku yang masih lumayan, tiap hari ganti dan dicuci bersih. Kupandangi tubuhku yang bersih, karena tiap hari bisa mandi.
“Ya Allah, lelaki itu berniat ke Taiwan ini mencari kerja untuk memperbaiki kehidupan keluarganya, tapi malah nasibnya sendiri sangat pilu. Bagaimana pula jika keluarganya tahu? Tentunya akan sangat sedih, bahkan bisa malu.”
“Ya Allah, maafkan aku yang tak bisa berbuat banyak membantunya. Berikanlah kemudahan kepada lelaki itu, pertemukan ia dengan orang yang bisa memberi jalan keluar atas masalahnya.” Hidungku kembang-kempis dengan isak tertahan. Sungguh ku tak kuasa, andai nasib itu menimpaku. Ya Allah, jauhkanlah!
PS: Sahabat demikian kisah nyata ini. Sedikit pendapat, bahwa dari sekian banyak BMI kaburan, ada yang nasibnya bagus, tapi ada pula yang tidak. Dan nasib lelaki di atas adalah salah satu dari yang nasibnya tidak bagus. Berikut permohonan dari hati saya kepada pihak berwenang, agensi maupun lembaga berwenang melindungi para BMI, agar lebih peka siaga menangani kasus aduan dari kami para BMI, sehingga tercipta kenyamanan, kerjasama kerja antara BMI dan majikan. Agar dapat mampu menekan angka BMI kaburan yang beresiko tinggi. Terima kasih.