Ilustrasi diambil dari Caz Haigh.
“Mimpikah aku, Sayang. Karena kini kau telah pergi tuk selamanya,” sembari kuciumi foto yang terpampang di buku Yassin.
Aku mengenalnya di dunia maya, sebuah aplikasi berlambang huruf F, dan berwarna biru–Facebook–kami saling bertegur sapa.
Berawal dari sebuah Komunitas Pantun, dia–Rifai Sigam–adalah seorang pencinta seni dan penggiat budaya baik di dunia maya maupun dunia nyata.
Sedangkan aku, adalah seorang TKI di Taiwan yang bertugas menjaga seorang nenek yang sudah lumpuh.
Sekatan dan aturan pekerjaan tidak memperbolehkanku bebas keluar dan bertemu teman. Hanya melalui Sosmed aku bercengkrama dengan para sahabat.
Berawal dari postingan status, beradu komentar, melalui seorang sahabatnya yang kebetulan adalah teman baikku, ia mendapatkan nomor kontakku.
“Assalamuallaikum …!” sapanya pada chat Whats’ap.
“Wallaikumussalam …!” jawabku.
Gayung pun bersambut, entah siapa yang memulai hubungan antara kami semakin dekat. Komunikasi lewat video call pun terjadi. Tak jarang dia mengirimiku foto keluarganya seperti; ibu dan Ayahnya untuk menyakinkanku bahwa hubungan kami tidaklah sebatas aplikasi seluler, namun berharap bisa berlanjut ke dunia nyata.
“Sayang jangan lupa maem ya! Jaga kesehatanmu di sana, ” itulah kalimat yang selalu ia lontarkan dipenghujung percakapan kami di telepon.
“Iya. Pasti, Abang! Selamat beraktivitasnya!” timpalku kemudian.
Dia selalu memberiku semangat, menjalani hari-hari di Bumi Formosa, seolah bentangan samudera yang luas dapat kami lewati dengan aplikasi gratisan handphone pintar.
Kala itu sepuluh bulan menjelang kefinishan kontrak pertamaku.
“Cinta dunia maya adalah semu“ banyak orang beranggapan demikian, namun kami ingin membuktikan bahwa “Cinta suci“ itu ada, meski perjumpaan hanya melalui suara dan gambar di layar kaca.
“Abang yakin, keluarga abang akan menerima aku? Yang statusnya hanya seorang TKI?” pertanyaan kulontarkan di balik speaker TAB seksi berwarna putih kesayanganku.
“Insya Allah pasti mereka welcome, Sayang. Abang sudah cerita semuanya tentang hubungan kita,“ terdengar suara teduhnya di ujung sana, yang membuat hatiku damai.
“Terima kasih ya, Abang! Sudah menerimaku apa adanya, ingat…! Aku anak orang gak mampu, sehingga harus berjihad ke sini.“
“Iya, Sayang. Abang juga anak orang gak mampu kok, kita sama. Jadi tidak ada yang perlu disungkankan.”
*******
Sampai suatu hati tidak kudapati pesan darinya, aplikasi What’s ap, BBM dan Facebooknya juga nggak aktif.
“Apa yang terjadi dengannya?“ gumamku dalam hati.
Kucoba menekan digit angka yang telah hafal di luar kepala, yaitu nomor telponnya namun tetap tidak ada yang menjawab. Hatiku terasa gundah gulana, kemanakah kiranya Arjuna yang kupuja, mengapa diam tiada berita. Kucoba bertanya kepada teman-teman kami sesama Komunitas Pantun, namun dari mereka pun tidak ada yang tahu kabar si Abang.
“AssalamuAllaikum, maaf saya ibunya Fa‘i, ia sekarang ada di rumah sakit.“
Degh … terasa jantungku berhenti berdetak, membaca pesan yang tertera di layar si Putih kesayanganku. Dengan cepat kutekan tombol hijau untuk menghubungi nomor yang baru saja mengirim pesan tersebut.
Menurut punuturan sang ibu, abang jatuh di kamar mandi sehingga menyebabkan mengecilnya urat saraf pada bagian kepala. Saat ini sedang berada di ruang ICU karena belum sadarkan diri.
“Ya Allah … berikanlah kesembuhan kepadanya, orang yang hamba sayangi. Tolong jaga dan selalu beri kesehatan,“ untaian doaku setiap sujud untuk menghadap Sang Khalik.
**********
Waktu pun terus berputar, melindas apapun yang berada di lingkarannya. Semakin mendekati masa cutiku ke tanah air. Rasa yang bercampur aduk, dilema mulai melanda dalam benakku. Di sisi lain aku bahagia akan bertemu keluarga. Namun di satu sisi keadaan kekasihku belum juga membaik. Meski kini telah sadar dan melakukan rawat jalan.
Semenjak masa sakitnya, abang banyak berubah. Emosinya sering meledak-ledak tanpa penyebab yang jelas. Lagi-lagi atas nama cinta aku tetap sabar menghadapinya, memaklumi keadannya yang baru keluar dari rumah sakit.
Pada 29 November 2014,
Pesawat China AirLane yang kutumpangi mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Wellcome to Indonesia, negeri yang telah tiga tahun aku tinggalkan.
Setelah mengambil bagasi, kumelangkah menuju Gate Two, terpampang tulisan ‘Diallova’ pada sebuah karton putih.
Yah … mereka adalah keluarga abang yang datang menjemputku. Betapa terkejut hati ini kala kulihat seorang lelaki bertubuh tinggi besar duduk di dalam Mobil Daihatsu Kuda.
Dialah Abangku, orang yang setahun lebih menemani hari-hariku di Formosa.
“Apa kabar, Bang?” sembari kuulurkan tanganku untuk bersalaman.
“Ba … baik,” suara itu terbata-bata.
Tess … Buliran bening ini membasahi kedua mutiara beningku, rasanya tidak tega aku melihat keadaannya. Wajahnya pucat, matanya cekung, dan tidak bisa berjalan sendiri. Harus dibantu agar tidak terjatuh. Makanya saat menjemputku beliau harus ditemani oleh sang adik, karena tidak diperkenankan untuk menyetir mobil sendiri.
Mobil yang kami tumpangi melaju dengan cepat di atas jalan raya mulus menuju daerah Jiung, Kemayoran. Jakarta-Pusat. Sepanjang perjalanan meski dalam keadaan lemah, aku dapat merasakan kehangatan kasih sayang abang yang begitu besar. Cinta yang kami bina kini benar-benar terbawa ke dunia nyata.
Rumah yang besar dan mewah di kawasan Kemayoran, perpagar besi tinggi dilengkapi dengan CCTV membuktikan bahwa keluarga abang adalah orang yang berbobot.
“Terima kasih ya, Nak Nova. Tolong bantu semangati Fai agar terus melawan penyakitnya,” ucap sang ibu seraya mengelus pundakku.
“Iya, Bu. Insya Allah akan semangati abang agar cepat sembuh.”
Selama empat hari di rumah abang, perasaanku seperti teraduk-aduk, antara cinta dan rasa iba berbaur menjadi satu. Dengan sabar dan kasih kutemani abang sehari-hari, makan bersama, bercanda. Terlihat jelas kebahagiaan di balik wajah pucatnya. Bahkan aku juga menemani abang ke dokter untuk terapi masa pemulihannya.
“Sayang, mimpikah Abang, kita bisa berkumpul dan bersama sekarang?”
“Tidak, Abang. Kita tidak sedang bermimpi. Ini nyata, kita bersama dan bahagia,” sembari kukerlingkan mataku, tanda menggoda.
“Iya, Sayang. Nanti kalau abang sembuh, abang akan pergi ke Lampung untuk melamarmu. Kita akan menikah dan hidup bersama.”
“Iya, Abang. Yang penting abang sembuh dulu ya? Baru kita fikirkan rencana pernikahan.”
Air mata yang telah beberapa hari ini kubendung, akhirnya jebol juga dan membasahi kedua belah pipiku, namun dengan cekatan aku mengusapnya karena takut Abang akan semakin sedih.
Namun di balik semuanya, hatiku meronta. Apa yang harus kulakukan? Orangtuaku pasti tidak akan merestui hubungan kami, karena kondisi abang yang sakit parah.
“Mungkinkah Aku akan menikah dengan abang? Sedangkan keadaannya begini …!” pertanyaan itu terus menggema dalam hatiku.
********
“Aku pulang ya, Bang. Cepat sembuh ya! Ingat harus tetap semangat…!!” seraya kudaratkan ciuman mesra di pipinya.
“Ha… hati ya, Sayang. Jaga dirimu di perjalanan. Kalau sudah sampai rumah kabari abang,” dengan memeluk erat tubuhku seolah tak ingin lepas.
Sebelum aku check in pesawat, kucium punggung tangan bapak dan ibu Ibrahim. Beliau berdua turut serta mengantarkanku ke bandara. Karena kondisi abang yang tidak mungkin mengantarkanku seorang diri.
Hari berganti minggu, lalu merambah di akhir bulan. Yang kutunggu-tunggu untuk datang melamar tak kunjung tiba, keadaannya bukan semakin berangsur membaik, justru sebaliknya.
Kini abang tidak bisa diajak komunikasi lagi, aku hanya berhubungan dengan bapak, ibu dan mba Nana, adik kandung abang. Sementara waktu dua bulan cutiku telah habis dan mewajibkan untuk kembali ke Negeri Formosa untuk melaksanakan kewajibanku kembali.
Tepat tiga bulan untuk kontrakku yang kedua, abang pergi menghadap Allah SWT.
Menurut penuturan keluarganya, abang mengidap penyakit Meningitis. Atau lebih terkenal dengan radang selaput otak.
Penyakit mematikan yang juga menyerang Almarhum komedian terkenal di Indonesia yaitu Olga Syahputra.
Sungguh pukulan telak menghantam diriku. Ingin sekali memeluk tubuhnya meski yang terakhir kali dan menghanarkannya ke tempat peristirahatan yang terakhir, namun itu tidak mungkin. Karena aku baru saja mengambil masa cutiku.
Teruntuk Yang Kusayangi
Selamat jalan sayang
Cintamu tetap terjeda rapi di sanubari
Kesetiaanku akan terjaga
Kuiringi kepergianmu dengan kidung doa
Kutaburi nisanmu dengan bunga cinta
Pahatan kesetian mengukir namamu di batu nisan
Harum cintamu bagai kasturi
Di setiap sudut rindu di hati
Sampai kutulis cerita ini, saat di mana menjelang seratus hari Almarhum, yang setiap rekaman indah kebersaan kami tetap rapi di dalam ingatanku. Almarhum pun sering menyambangiku meski melalui mimpi. Pertemuanku dengannya adalah pertemuan yang pertama dan terakhir.
Semoga damai engkau di surga sayang, di sini aku masih menyayangimu.