Foto ilustrasi diambil dari Fatakat.com.
Panggil saya namaku “Zuli.” Ku hanya mampu diam dan diam saat suamiku mencaci maki aku. Ku hanya mampu teteskan air mataku saat keluarga suamiku menghina aku. Dari perbedaan derajat diriku selalu dijadikan bahan pertengkaran.
Suatu saat ketika ayahku sakit dan aku sebagai seorang anak tak tega melihatnya. Karena dari keterbatasan ekonomi, orang tuaku tak sanggup untuk berobat ke rumah sakit. Hati ini menangis dan menjerit tak mampu berbuat apa-apa, hanya doa dan doa memohon kepada Allah agar supaya diberi kesembuhan.
Pada suatu hari aku memberanikan diri bicara kepada suamiku.
“Mas, ayah lagi sakit,” kataku.
“Terus kalau ayahmu sakit, kenapa?” jawab suamiku dengan sinis.
“Yaa, kitakan ada uangkan, Mas? Bantu ayah untuk berobat yuk? Itupun kewajiban kita sebagai seorang anak, Mas!” kataku.
Sambil meneteskan air mata, dada ini terasa sesak, hati ini terasa sakit, seakan-akan aku dan tak mampu mengucapkan kata-kata lagi.
Suamiku dengan lantangnya menjawab permintaanku, “Eehh.. dek, itu yang sakit ayahmu bukan dirimu. Kalau kamu ingin membantu orang tuamu boleh-boleh saja asalkan itu harta warisan dari orang tuamu sendiri atau uang hasil keringatmu sendiri.”
Tanpa ku bisa membantah ucapan-ucapan kasar dari mulut suamiku. Hari demi hari dan waktupun semakin terus berganti dan berjalan antara senyum dan tangis selalu silih berganti yang kuberikan kepada dunia. Ku selalu tersenyum jikalau ku berada di depan masyarakat, meskipun hatiku hancur dan sakit. Linangan air mata selalu berlinang disetiap sujudku.
Pada suatu malam terlintas dalam benakku, “Ya, Allah berikanlah petunjukmu agar hamba mampu menolong ayahku.” Doaku dalam hati. Seketika itu pula, ada keinginan niatan hatiku untuk pergi merantau ke luar negeri, “Izinkanlah aku Tuhan,” gumamku dalam hati, saat bangun pagi.
Seperti biasa, aku melakukan aktifitas sebagai ibu rumah tangga. Setelah semuanya sudah siap dan selesai, kami duduk sambil sarapan di ruang meja makan. Dengan basa-basi ku memberanikan diri ngomong sama suami.
“Mas, aku ingin kerja di luar negeri,” kataku.
“Haaa… keluar negeri? Kamu mau kerja apa disana, ijazah kamu cuma tamatan SMP. Kalau mimpi itu jangan jauh-jauh,” cemooh suamiku.
“Tamatan SMP nggak apa-apa kok, Mas. Asal bisa diterima kerja apa saja, aku mau yang penting halal,” jawabku.
Dengan perdebatan kecil, akhirnya aku mendapatkan ijin dari saumiku.
Dengan berat hatiku melangkah pergi meninggalkan kampung halaman. Yang memberatkan hatiku, aku harus berpisah dengan buah hatiku yang baru berusia 10 bulan. Namun, sebelumnya di malam harinya, aku masih sempat berpamitan dengan orang tuaku. Aku kecup kening ayahku sambil ku berkata. Yah, restui dan ridho putrimu ini ayah?! Aku akan pergi kerja-mencari uang supaya aku bisa membawa ayah berobat sampai sembuh ya.. (ayahku yang terkena penyakit jantung).
“Ayah harus kuat ya.”
Lalu ku pergi kebelakang mengambil satu gayung air putih dari tempat wuhdu dan satu buah piring kosong kubawa kepada ibu.
Kuraih kedua kedua kaki ibuku dan kucuci kedua telapak kakinya sambil berkata, “Ibu, maafkan anakmu yang belum bisa berbakti kepadamu. Aku janji ibu, aku akan kerja sungguh-sungguh dan cari uang yang halal, agar anakmu ini dapat membahagiakan kalian tanpa harus ada uluran tangan dari orang lain, termasuk suamiku. Ibu ridhoi anakmu ibu.”
Tak terasa air mata ibuku menetes di kepalaku. Ku ambil air cucian telapak kaki ibu, ku minum dan ku pakai buat membasuh mukaku. Sambil ku meneguk air, hatiku berdoa, “Bismillahirrahman irahim, ya Allah, Engkau yang maha suci dan maha adil dengan restu kedua orang tuaku, ku akan melangkahkan kakiku. Ridhoi hamba ya Rabbi. Bismillah tawakaltu’ala Allah.” Kakiku beranjak pergi dan sebelumnya ku gendong buah hatiku. Ibu aku titip anakku, ya? Rawat dan jaga dia dengan baik-baik pintaku pada ibuku sambil kulepaskan gendonganku.
Waktupun semakin berjalan cepat. Ku berangkat menuju Jakarta dengan tujuan datang ke BLK dimana tempat aku di attar berbagai ilmu untuk bekalku nanti di negara tujuanku, Taiwan. Alhamdullilah, nasib baik berpihak kepadaku, hanya memakan waktu satu bulan aku di penampungan.
Tepatnya tanggal 14 Maret 20xx, jadwal penerbanganku tiba. Hati bahagia dan takut berbaur jadi satu. Bahagia karena hari yang kunanti-nantikan telah tiba, takut karena bagaimana nanti kehidupanku di sana.
Dengan semangat yang menggebu-gebu, rasa takut dan khawatirpun sirna. Hari pertama aku bekerja di tempat majikan, aku masih canggung, karena job aku menjaga akong. Sebelumnya aku belum pernah punya pengalaman itu. Hari berganti hari, waktu berganti waktu, tiga bulan sudah kulalui kerjaku dengan baik. Majikankupun baik dan pengertian.
Hatiku sudah mulai betah dna senang menekuni pekerjaanku. Apalagi kalau sudah menerima gaji, bahagia sekali rasa hati ini.
Namun kebahagiaan itu sirna seketika berubah menjadi lautan air mata. Karena hati shock, menjerit histeris, karena mendapatkan kabar dari keluarga di kampung, bahwa ayahku telah tiada, beliau Almarhum. Seakan diri ini tak percaya mendengar semuanya. Ayah begitu cepat meninggalkanku. Kesedihan dan kesedihan selalu menemaniku.
“Ayaaahhhhh…. Kenapa kau begitu cepat meninggalkan putrimu…???” tangis histeris tiada henti.
Hati ini terasa teriris…. Rasa benci dan dendam terhadap suamiku tumbuh di hati….
“Mas…. Kau telah membuat aku begini…. Kau yang telah membuat kematian ayahku…. Kenapa Tuhan tak mengambil nyawamu juga, Mas? Aku benci…. Benci…. Benci….”
Setelah kejadian itu ku tidak pernah kontak lagi dengan suamiku. Semuanya kupasrahkan kepada Illahi.
“Jika suatu saat nanti kita bertemu untuk bersatu atau bertemu untuk berpisah, semua ada di tangan Tuhan.” Itulah kata terakhir yang ku ucapkan untuk suamiku melalui via telepon.
“Jangan benci aku Tuhan jika ku menggangap suamiku telah mati. Ampuni aku Tuhan.”
The END