Gambar ilustrasi diambil dari jgoerrissen.blogspot.com.
Cinta, paduan rasa dengan berjuta warna. Pelangi sekali pun tak bisa mewakili ragamnya cinta. Asmara yang mengalun, melebihi merdunya nyanyian dan gending Jawa(*). Syahdu, mendayu, merasuk ke dalam kalbu. Mengusik hati pendengar untuk menari, meski sekedar jempol kaki yang berekspresi.
Inikah cinta? Bahkan saat nisan telah menjadi bukti, jika kepergiannya tak akan kembali, aku tetap tak peduli. Masih kucumbui kerinduan, disetiap waktu bersama bayangannya. Saat pagi hari, netra menatap maya pada. Sampai malam datang ketika gelap mencumbu keheningan. Aku masih terpaku, di dalam rindu. Laksana symponi lagu asmaranda, yang kerap dilantunkan dewa-dewa kepada permaisuri di kaputren kerajaan. Ah … mungkinkah aku terus mencumbui mimpi, sedangkan ia tak akan kembali.
30 April 2015
Aku berada di ruang keluarga. Bersama ibu yang duduk tepat di dekatku. Sedangkan dia –kekasihku–tengah berdiri tepat di tengah pintu. Seolah hendak berjalan keluar. Raut wajahnya berbinar, menggambarkan kegembiraan.
“Abang mau kemana?“ tanyaku pada Cakra.
“Mau pergi, Sayang,“ jawabnya singkat.
“Tidak! Jangan pergi!” sergahku seraya beringsut dari tempat duduk, berusaha menarik lengan Cakra agar tidak melangkah.
Namun ibu yang berada di sampingku, tiba-tiba melarangku bergerak, seraya berkata,“Sudahlah Gita, biarkan Cakra pergi. Ia telah lelah, jadi biarkan ia pergi ya?”
“Tapi, Bu –”
Bibirku terkatup, saat tangan lembut itu meraih jemari ini. Menggenggamnya penuh kasih, seolah menyalurkan kekuatan di setiap kisi dan saluran nadi.
***
Aku terjaga, keringat bercucuran. Ternyata aku bermimpi. Namun sungguh kejadian itu seolah benar-benar nyata. Di saat aku berada di antara orang-orang yang kusayangi. Cakra, ibu, dan keluarga yang penuh cengkrama kebersamaan.
Siang itu seperti biasa, tiba waktunya aku menyiapkan hidangan makan siang untuk nenek beserta kedua anaknya. Yah, aku bekerja di Taiwan sebagai care taker. Bertugas merawat pasien berumur 94 tahun sekaligus merangkap sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Pekerjaan apa saja kulakukan, mulai A sampai Z. Dari ba … bi … bu …. Karena aku memanglah “Babu“.
Karena kesibukan di ruang tugas, bergumul dengan asap dan minyak goreng di dekat kompor. Membuatku meletakan kekasih kedua di dalam kamar. Itulah sebutan untuk si putih, Tablet Galaxy Samsung yang kumiliki.
Betapa aku terkesiap, manakala masuk ke kamar untuk menengok si putih sejenak. Terpampang di screen lima belas kali panggilan yang nomor yang tidak kukenal.
Siapakah yang menelepon? Gumamku dalam hati.
Kucoba menghubungi kembali nomor itu, ternyata si punya nomor adalah Damar. Beliau sepupu Cakra yang kerap menungguinya saat di rumah sakit.
“Hallo, Gita,” tanyanya di seberang gadget.
“Iya. Maaf ini siapa ya? Ada keperluan apakah sehingga menelepon saya?” berondong pertanyaan kulontarkan.
“Ini aku Damar. Saudara sepupu Cakra yang dari Singapore, masih ingatkah engkau?” tanyanya kepadaku.
“Iya, aku ingat. Ada apa, Mar?”
“Gita, aku hanya ingin mengabarkan jika Cakra telah pergi untuk selamanya.”
Perkataanya seolah tiupan sangkakala yang meruntuhkan dunia. Menumbangkan jagad semesta. Langit pun runtuh, menimpa rapuhnya tubuh ini, yang telah berbulan-bulan dirajam oleh cobaan.
***
Aku tak ingat sesuatu. Antara sadar dan tidak, seolah atmaku melayang. Melintasi birunya langit menuju alam jauh yang tak dapat dijamah oleh jari-jari mungil manusia. Anganku terbang, hendak menuju Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta. Tempat di mana beberapa bulan Cakra menjalani perawatan.
Sudah beberapa bulan Cakra koma, bahkan seluruh aktivitasnya terhenti. Tidak bisa bergerak dan berjalan, bahkan untuk asupan makan pun harus menggunakan kanula di hidung. Aku melihatnya pun tak sanggup. Acap kali netra ini memandang, seketika itu pun buliran-buliran bening berdesakan keluar membasahi gundukan pipi.
“Gita berangkatlah ke Taiwan! Biar ibu dan keluarga yang menunggui Cakra di rumah sakit,”ucap ibu kala itu.
“Bu, saya teramat sangat mencintai abang. Tapi … saya juga punya kewajiban untuk menafkahi putra semata wayang saya, buah dari pernikahan dulu,“ paparku dengan air mata yang berhamburan.