Gambar ilustrasi diambil dari jgoerrissen.blogspot.com.
“Iya, ibu juga tahu. Untuk itu pasrahkanlah semua kepada Allah SWT, jika memang kalian berjodoh pasti kelak bisa bersatu serta mengarungi bahtera rumah tangga bersama,“ wejangan wanita senja itu, dengan penuh kearifan.
***
Kami–aku dan Cakra–adalah pasangan kekasih yang saling mencintai. Rasa cinta yang tidak hanya antara dua individu yang ingin memiliki. Cinta yang kami rajut, cinta dewasa. Yang berniat menyatukan dua buah keluarga yang sama-sama kami sayangi. Aku adalah single parent, dari sebuah pengkhianatan seorang lelaki yang semestinya menjadi figur ayah sekaligus imam dalam rumah tangga. Sayangnya nafsu angkara menguasai hati lelaki yang kala itu syah menjadi suamiku. Ia pergi dengan wanita lain. Lantaran kepincut harta dan paras yang lebih menawan. Jadilah aku orangtua tunggal. Sebagai ayah sekaligus ibu, dari putra kecil hasil pernikahan kami. Putraku tampan dan cerdas. Ia bernama Genta Udaya Pratama.
Sosok malaikat kecil itulah yang menjadi pelita dalam kehidupanku. Memantikan api semangat, yang pernah padam karena sebuah pengkhianatan.
Sedangkan Cakra sosok ayah sekaligus ibu bagi putrinya Felita Candra Kirani. Gadis kecil nan cantik yang memanggilku bunda, acap kali aku datang menjenguk Cakra. Gadis bermata sipit itu sangat dekat dan penuh manja. Mungkin karena telah lama tidak merasakan sosok ibu, pasca meninggal almarhumah istri Cakra karena kecelakaan. Sudah empat tahun ia menjalani peran ibu untuk buah hatinya. Memandikan, menyisir rambut, serta mengeloni Kirani adalah tugas rutin Cakra setiap hari. Lekaki berdarah Betawi Itu begitu piawai melakoni perannya, tanpa mengeluh sedikit pun. Itulah mengapa benih-benih cinta bersemai di hatiku, ketika pertemuan tidak sengaja diantara kami saat ada pergelaran adat budaya betawi di kota Kemayoran.
***
Setelah mendapat telepon dari Damar, aku tak ingat apa pun. Ketika tersadar, kutemukan tubuhku di samping meja makan. Kurasakan sebuah tangan lembut mengusap pipiku.
“Gita, kamu kenapa?” tanya oma, nenek yang kurawat.
“Calon suamiku, Oma … calon suamiku telah meninggal dunia,“ ucapku dengan isak tangis.
Oma tahu hubungan LDR kami. Karena aku sering bercerita kepadanya bagaimana dan siapa Cakra sesungguhnya. Bahkan ketika aku mengambil cuti dua bulan, untuk mempersiapkan pernikahan kami. Tetapi Allah berkehendak lain, hingga jatuh sakit dan harus menjalani perawatan intensive.
“Sabarlah! Setiap manusia pasti kembali pada-Nya. Tinggal waktu yang menentukan. Kamu baik-baik sajakah? Atau perlu memanggil 119 **? Karena kalau terjadi apa-apa denganmu, oma tidak dapat membantu. Karena oma sudah tua,” paparnya panjang lebar.
***
Aku sadar, tugasku menjaga orangtua ini. Bukan untuk memberi kerepotan padanya. Kupastikan semuanya baik-baik saja. Meski seluruh sum-sum dan persendian terasa lemas dan mau lepas. Dengan merangkak perlahan-lahan ku menuju ke kamar, membenamkan rasa sedih dalam balutan tangis mendalam.
Kuraih gadget untuk menghubungi Damar, sayup-sayup terdengar suara mengumandangka surah Yassin. Juga terdengar isak tangis ibu di seberang sana. Sebenarnya aku ingin berucap bela sungkawa dengannya, namun tidak untuk sekarang. Hati ibu masih terlarung dalam kesedihan. Karena Cakra adalah anak laki-laki tunggal di keluarga itu. Betapa besar harapan mereka pada sosok lelaki bertubuh kekar itu. Yang selalu merengkuhku dengan hangat dan penuh kasih sayang. Namun kini ia telah pergi tuk selamanya, membawa raib cintaku ke dalam surga.
“Gita, maukah kau membaca Al-Fatihah untuk almarhum? Biar nanti handphone ini kudekatkan ke telinganya?” ucap Damar, yang membuyarkan lamunanku.
“Tentu mau sekali, Mar. Baik. Silahkan letakkan hanphonenya, biar kubacakan Al-Fatihah.
Dengan berurai air mata, aku pun turut mendoakan Cakra meski dari kejauhan. Dadaku sesak, seolah jutaan duri menusuk. Nafas pun seakan enggan kuhembuskan, terlalu cepat dan seperti mimpi. Aku ingin semuanya hanya mimpi, tetapi kenyataannya adalah bukan! Mimpi yang kualami beberapa malam lalu, adalah firasat dari Cakra yang hendak berpamitan kepadaku.
“Tabahkan hatimu di sana ya, Gita. Jaga diri baik-baik. Cakra telah pergi menuju keabadian yang indah. Tunjukan rasa cinta dan sayangmu melalui doa. Karena hanya dengan itulah ia bisa merasakan betapa kau sangat mencintainya,” ucap Damar, mengakhiri sambungan telepon jarak jauh kami.
***