Gambar ilustrasi diambil dari jgoerrissen.blogspot.com.
Tubuhku ibarat mayat hidup. Tak bernyawa dan tak berasa. Dunia gelap dan pekat, tak bercahaya. Hari-hari kulalui penuh durja. Kesedihan terus bergelayut di dada. Hingga sebutir nasi pun tak dapat kutelan, seteguk air tak dapat kurasakan. Kering kerontang, hatiku penuh ketandusan.
Dengan sabar oma memberikan wejangan, bahwa semua yang ada di dunia kelak akan kembali pada Yang Kuasa. Entah itu sekarang, esok, atau lusa. Bukankah Cakra sudah lama menderita? Terbaring di rumah sakit tanpa bisa melakukan apa pun. Dia juga kesakitan dalam penderitaan. Tuhan memberikan yang terbaik, memanggil Cakra ke dalam pangkuan-Nya. Menuju kehidupan abadi. Oma menyuruhku tetap mendoakan Almarhum sebagai bentuk rasa cinta yang tak pernah sirna.
***
“Sayang, abang pergi ya? Jaga diri baik-baik. Jaga Kirani dan Genta, mereka adalah wujud cinta kita. Meski sekarang kita tidak bersatu. Tapi cinta kita tak akan pupus,” bisik Cakra seraya melangkah ke luar pintu ruangan.
Ia terlihat begitu tampan, dengan balutan baju koko berwarna putih, kopiah, dan bawahan kain sarung.
“Abang jangan pergi! Abang …. Tunggu!“ sergahku menahan kepergiannya.
Namun bayangin itu sirna, di balik tirai kelambu berwarna ungun. Seketika pula kuterjaga. Lagi-lagi hanya mimpi. Meski Cakra telah pergi, tetapi ia sering menyambangiku melalui mimpi.
Cintanya masih menyertaiku. Mengisi hari-hari, di setiap sudut nadi dan darah yang mengalir, cinta kami indah terukir. Mimpi-mimpi itu terasa indah, meski akan sirna kala aku terjaga. Cakra akan menjadi aksara dalam tulisanku. Menghiasi setiap lembaran buku. Dia ada di setiap kata. Di setiap desah nafas dan sudut pandangan.
Cakra, biarlah di dalam mimpi kita bertemu, Meski hanya sepintas berlalu.
Taipei, 27 November 2015
The End