Foto ilustrasi diambil dari tahirih.org.
Akhirnya, pada saatnya keindahan itu benar-benar menjadi nyata. Aku kehabisan kata. Bahkan hanya air mata yang mewakilkan kebahagiaanku. Surga dunia itu ternyata ada. Seperti yang kurasakan ini. Hal yang sudah empat tahun lebih kurindukan. Terlalu sering kukeluarkan air mata agar saat yang kutunggu tiba. Terlalu banyak doa yang kupanjatkan pada-Nya. Mungkin ini pula jawaban atas semuanya.
Terima kasih Tuhan Pemilik Semesta. Kepada orangtua yang tak lelah mendoakanku. Kepada dua malaikat kecil yang begitu tulus mendampingiku. Untuk sahabat yang tak lelah menemaniku. Kebahagiaan ini tak hanya milikku. Milik kalian juga. Segala bahagia semoga terlimpah untuk kalian.
Akhir ceritaku ini, begitu indah.
************
Tertanggal, 27 Oktober 2013
“Saya terima nikahnya…… dengan mas kawin…..tunai.” Dan orang-orang disekelilingku menjawab, “Sah”. Begitu kalimat-kalimat yang meluncur tadi sangat kurindukan sejak lama. Akhirnya, aku resmi menjadi isteri dari laki-laki yang sangat kucintai seperti harapan dua jagoan kecilku yang bukan darah dagingnya namun sudah memanggilnya, Ayah.
Perjalanan hidup hingga sampai pada titik ini, sangat tidak mudah kujalani. Betapa tidak, 5 tahun silam aku pernah disakiti oleh seorang laki-laki yang sekaligus bapak biologis dua anak laki-lakiku. Ceritaku ini sangat kelam. Kuharap tak seorangpun di dunia ini yang bernasib sama sepertiku. Perih yang sangat. Dahulu, aku jatuh cinta dengan seorang laki-laki dari Kota Padang. Aku tahu betul kalau lelaki itu bukan tipe lelaki baik-baik. Ia terkesan urakan, bertato ditubuhnya, tak memiliki sopan santun bahkan pada orangtuaku ketika itu. Namun perhatiannya padaku kekasihnya, membuatku sangat berat untuk melepaskan meski kedua orangtuaku tak merestui hubungan kami.
Rumahku di daerah yang padat penduduk. Ada di pusat kota yang sekaligus sebagai daerah tujuan wisata. Tak pelak, banyak penginapan, toko, cafe, mall yang menyesaki kampungku. Walaupun tinggal di daerah yang hanya memiliki akses jalan gang kecil, namun aku senang. Karena apapun usaha yang dilakukan akan cepat di respon konsumen. Mau jualan baju-baju, jual makanan dan minuman, jasa bengkel motor dan sebagainya, hampir tak pernah ada kata sepi atau tak laku. Di lain pihak, hidup di daerah padat penduduk memiliki dampak negatif juga. Sering terjadi perkelahian, banyak yang suka mabuk-mabukan, ancaman terjadi kebakaran pun mau tak mau harus dihadapi.
Di sebuah cafe, aku bertemu dengan Mas Andi, bapaknya anak-anak. Singkat cerita, kami saling jatuh cinta. Karena Mas Andi itu perantau dari Sumatera dan kerjanya di cafe sebagai pelayan, praktis bapak sama ibu melarangku keras. Aku pun memiliki pendirian yang kuat jika sudah memilih sesuatu. Hingga suatu ketika, aku nekat lari bersama Mas Andi ke Padang, kota asalnya.
Disana ada sekitar 3 bulan. Namun diam-diam aku merindukan kota asalku, Yogyakarta. Karena kota itu juga tempatku mencari rejeki, berikut ada adik lelakiku satu-satunya beserta bapak ibu. Apa dikata, aku dan Mas Andi memutuskan kembali ke Yogyakarta. Saat kembali tersebut, aku sudah mengandung. Padahal kami belum terikat pernikahan. Tak bisa kubayangkan bagaimana nanti jika aku berada di depan kedua orangtuaku. Ah, sudah kepalang basah. Mau tidak mau aku harus melegalkan hubungan ini.
Benar saja. Ketika sampai rumah, ibuku marah besar. Bapakku yang cenderung pendiam tak mengucapkan sepatah katapun. Kami berdua menerima tamparan di pipi dari ibu dan kata-kata amarah. Mas Andi yang tak bisa menahan emosi, akhirnya pergi begitu saja meninggalkanku. Air mataku menderas sejak itu.
Ibu menyuruhku pergi. Bapak tak menahanku. Dengan hati sesak karena sedih, aku mencari Mas Andi dikontrakan. Hal yang membuat batinku semakin sedih ialah kata-kata Mas Andi yang tak ingin menikahiku. Akan tetapi bapak dari bayi yang kukandung itu sanggup menafkahiku dan calon bayiku. Aku yang merasa tak memiliki tempat untuk berkeluh kesah, menerima saja pilihan kekasihku itu untuk hidup serumah tanpa pernikahan. Astaghfirullah…
Bulan berganti, anak yang aku kandung lahir ke dunia dengan sehat dan selamat. Seorang bayi laki-laki mungil. Betapa bahagianya aku, karena sejak anakku lahir, hubunganku dengan ibu dan bapak baik kembali. Walaupun Mas Andi tetap belum mau menikahiku. Hubungan kami membaik. Setahun sejak anakku lahir, kembali aku hamil anak kedua. Dan itu tetap bukan anak dari hasil pernikahan. Entah apa yang ada di kepalaku saat itu. Aku mungkin sudah lupa bahwa hidup ini ada pemiliknya yaitu Allah. Dengan tingkahku yang melupakan norma agama, rupanya Tuhan menegurku. Kudapati bapaknya anakku berselingkuh dengan perempuan lain. Amarahku tak terbendung. Tanpa berpikir panjang, kuputuskan pergi dari kehidupan Mas Andi dengan keadaan perut berisi janin.
Aku kembali ke rumah orangtuaku. Setelah kujelaskan yang terjadi, bapak ibu langsung naik pitam. Mereka ingin meminta pertanggung jawaban Mas Andi. Sayangnya, lelaki yang pernah kucintai itu diam-diam sudah kabur entah kemana. Hatiku hancur seketika itu.
Setelah kulahirkan anak kedua, aku menemukan seorang laki-laki yang perhatian sekali. Ia bahkan tak menolak ketika anakku yang kedua memanggilnya Ayah. Oh ya, anak pertamaku akhirnya di adopsi oleh Bude, kakaknya Ibu yang kebetulan tak memiliki anak. Aku sendiri memutuskan untuk mengontrak di sebuah kamar bersama buah hatiku yang kedua. Hatiku beku ketika itu. Bahkan tak percaya pada tiap lelaki. Namun entah mengapa, dengan lelaki yang kupanggil Mas Agus, hatiku bisa luluh.
Lelaki ini kukenal saat aku kerja sebagai sales produk makanan. Aku dapat sms nyasar yang kemudian berlanjut ke pertemuan. Begitu telaten laki-laki yang usianya lebih tua 12 tahun dariku itu menarik perhatianku. Hingga pada akhirnya, kuputuskan menerima cintanya. Kisah cinta keduaku pun dimulai.
Tak seperti impian, pada kenyataannya cintaku harus melewati ujian kembali. Lagi-lagi aku hamil diluar nikah. Pada kehamilan ketiga ini, aku harus mau menuruti keinginan Mas Agus untuk menggugurkan kandungan. Di tengah kebimbangan, rasa takut yang bercampur aduk, dengan uang 5 juta aku gugurkan janinku. Ampuni aku, Tuhan….
Tahun-tahun aku lewati bersama Mas Agus. Walau tak jauh berbeda dengan Mas Andi, namun Mas Agus lebih santun. Walau dia belum menikahiku dengan alasan orangtuanya tak menyetujui, namun dia begitu menyayangi kami, aku dan anak keduaku. Hingga penantianku berada di ujung batas. Setahun hubungan kami, aku sudah memintanya menikahiku. Namun jawabannya tunggu dulu. Sampai bapaknya meninggal, dan lagi-lagi dia memintaku sabar menunggunya. Aku benar-benar tak sabar. Setahun, dua tahun hingga empat tahun hubunganku dengannya seolah bertahun lamanya. Aku ingin menjauh saja darinya, namun laki-laki itu menangis dan memohon agar aku jangan meninggalkannya karena ia begitu menyayangiku. Dilema sekali, antara cinta dan putus asa. Banyak teman kumintai pendapat, namun kebanyakan mereka memintaku untuk meninggalkannya saja. Aku bahkan sudah memiliki keyakinan yang sama (dulu keyakinanku beda). Aku mulai rajin sembahyang dan berdoa. Memohon ampun dan pertolongan Allah agar hidupku bisa ‘lurus’. Sampai kemudian suatu ketika, Mas Agus memberi kabar kalau keluarganya ingin bersilaturahmi ke rumah. Alhamdulillah. Seminggu setelahnya, ijab qabul pun terjadi. Mas Agus benar-benar menepati janjinya menikahiku.
Akhirnya, akupun resmi menyandang predikat, isteri. Airmata yang mengalir di pipiku kini, bukan airmata kesedihan. Melainkan airmata bahagia yang tak terkata.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa