Foto ilustrasi diambil dari Timlo.net
Berkali-kali aku tak habis pikir dengan pikiranku sendiri. Aku begitu mencintai orang yang telah berulangkali menyakitiku. Namun di lain pihak, aku juga dengan sengaja membagi perasaan pada orang lain. Entah ini bentuk pelampiasan kekecewaanku terhadap orang yang menyakitiku, ataukah ini benar-benar cinta yang sebenarnya.
Sudah enam bulan lebih aku menjalin hubungan dengan kekasih gelapku. Cinta yang hadir di tengah pernikahan suciku yang tahun ini sudah menginjak tahun ketujuh. Tak seperti kebanyakan orang yang tengah di mabuk asmara, aku dan laki-lakiku ini hanya berkomunikasi lewat handphone, sekali dua kali bertemu diam-diam, itupun cuma sebentar.
Belum ada keinginanku untuk mengakhiri kisahku, seperti halnya belum ada tanda-tanda suamiku mengakhiri sifat jeleknya yang ingin membagi cinta. Aku dan suamiku sama saja, terlibat dengan cinta gelapnya masing-masing. Kuakui ini salah. Tapi apa daya, suamiku pula yang pertama kalinya secara tak sengaja mengajariku demikian.
**********
Dahulu aku salah satu penyanyi campur sari yang memiliki banyak penggemar, walaupun hanya tingkat kampung saja. Dan suami sahku sekarang dulunya juga sangat menyukai suaraku. Bentuk tubuhku yang tinggi semampai, kulit sawo matang, rambut lebatku yang hitam dan lurus, ditambah suaraku yang menurut kata orang bagus, cukuplah sebagai modal jika ingin menjadi penyanyi campur sari yang berkelas. Syukur-syukur bisa masuk televisi. Ah, lupakan.
Pernikahanku dengan lelaki pujaan awalnya tak direstui oleh orangtua dari kekasihku. Namun karena tak disetujui, aku berinisiatif untuk membuat kebohongan dengan mengatakan kalau aku hamil agar pernikahanku segera dilangsungkan (sekali lagi ini yang punya ide adalah aku). Cita-cita sederhanaku menikah selepas SMU pun terjadi. Dengan ide jitu (maaf ini tidak baik dicontoh), aku berhasil bersanding dengan laki-laki yang kucintai.
Pernikahanku awalnya bahagia. Kami saling menjaga komitmen. Hingga lahir anak kami yang pertama, dan pada saat itu suamiku belum memiliki penghasilan tetap. Lebih banyak menganggur malah. Aku yang saat itu bekerja sebagai sales di salah satu distributor hp, gajiku seratusan lebih tiap harinya. Cukup lumayan buat menopang ekonomi keluarga kecilku walaupun sebenarnya bukan kewajibanku. Karena cinta, aku lakukan dengan ikhlas.
Waktu menumbuh setiap hari. Beberapa bulan saat jagoan kecilku baru bisa tengkurap, rumah tanggaku diuji. Hingga akhirnya aku memutuskan kembali pada orangtuaku dan suamiku kembali pada orangtuanya. Kami pisah ranjang, suamiku ketahuan selingkuh. Aku sakit hati dan sangat kecewa. Sudah bersusah-payah mencari uang, masih dikhianati pula. Hampir satu tahun keadaan ini kujalani. Bahkan atas dorongan kedua orangtuaku pula aku berniat mengajukan gugatan cerai. Berkas perceraian sudah diterima oleh pengadilan agama. Suamiku juga sudah mendapat surat panggilan sidang pertama perceraian kami.
Tiba-tiba aku yang saat itu tak tega melihat buah hatiku, segera ke rumah kakak suamiku dan meminta pertimbangan. Aku banyak dinasehati, aku dan suamiku akhirnya dipertemukan. Terjadilah kesepakatan bahwa sidang perceraian tidak usah dilanjutkan, biarlah panggilan sidang diabaikan saja. Sejak itu aku dan suamiku akur kembali. Dengan komitmen baru, keluarga kecilku pun belajar mandiri dengan mengontrak sebuah kamar di dekat rumah orangtuaku.
Setahun kami mengontrak, suamiku diajak sama suami kakakku untuk merantau ke Kalimantan. Kebetulan kakak iparku itu sudah lima tahun lebih bekerja disana. Hasil dari perantauannya itu sebuah mobil keluaran terbaru ketika itu dan bisnis rental mobilnya berjalan semakin hari semakin ramai. Melihat kenyataan dari hasil kerja kakak iparku, aku pun mengijinkan suamiku berangkat ke Kalimantan. Dengan berat hati, kamipun berpisah kembali.
Hanya sebulan kepergian suamiku, aku dikejutkan oleh keadaan tubuhku yang mirip sekali dengan keadaan orang yang sedang mengandung. Iseng aku tes, dan benar aku hamil, maka aku meminta suamiku pulang. Ternyata aku sudah hamil 5 bulan dan aku benar-benar tak tahu kalau tengah berbadan dua.
Kehamilan kedua ini kami memutuskan ikut orangtua suamiku, hingga lahirlah jagoan keduaku dengan selamat. Belum genap setahun usia anak kedua, suamiku kembali berulah. Aku memergoki sebuah sms mesra. Ya, untuk kedua kalinya suamiku membagi cinta. Betapa marahnya aku, hampir saja aku kalap. Untung saja aku masih bisa mengontrol, aku kembali ke rumah orangtuaku. Suamiku membujukku kembali padanya, meminta maaf padaku dan kepada kedua orangtuaku. Orangtuaku juga sangat marah, bahkan menyuruh suamiku untuk bercerai saja. Namun aku yang ketika itu masih kasihan terhadap anak-anakku yang masih kecil, kemudian memafkan suamiku lalu kembali kepadanya.
Sejak itu aku menjadi perempuan yang tak ingin diatur oleh lelaki. Meskipun suamiku memiliki penghasilan tetap sebagai karyawan swasta, aku tak mau peduli dan menghambur-hamburkan uang belanja dari suami. Tak disengaja, aku bertemu dengan Beni, temannya sahabat karibku. Kami berkenalan dan saling berbagi nomor telepon. Terjadilah komunikasi kami setiap hari setiap saat. Menurut pepatah Jawa, tresno jalanan saka kulino (cinta itu terjadi karena terbiasa) maka aku dan Beni pun diam-diam jatuh cinta. Lelaki lajang yang tahu bahwa aku sudah beranak dua ini pun seakan tak memperdulikan statusku. Demi menjaga agar suamiku tak mengetahuinya, aku dan Beni hanya berkomunikasi lewat pesan singkat atau terkadang telepon saat suamiku sedang bekerja. Untuk pertemuan pun dilakukan sembunyi-sembunyi.
Tak sampai berbulan-bulan, kembali kudengar dari teman suamiku kalau bapaknya anak-anak itu memiliki kekasih simpanan lagi. Entah mengapa aku tak merasa sakit hati, sesakit pertama kali dulu suamiku berkhianat. Ataukah karena ada Beni disisiku ataukah karena aku sudah ‘terbiasa’ disakitinya? Entah.
Kunikmati saja kehidupan tak sehat dalam keluarga kecilku. Aku asyik dengan Beni dan suamiku sibuk dengan perempuan barunya. Aku tahu kalau suamiku mendua lagi namun ia tak tahu aku juga memiliki kekasih gelap. Hingga suatu ketika, hubungan suamiku dengan perempuan lain itu diketahui oleh suami dari kekasih suamiku. Langit seolah mau runtuh. Untuk pertama kalinya suamiku menangis dan meminta maaf padaku. Ia bahkan putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya. Aku sebagai istrinya tak mengeluarkan airmata sedikitpun, bahkan aku sangat tegar. Diam-diam aku juga curhat sama Beni. Oh…
************
Jujur, aku ingin mengakhiri keadaan ini. Aku tak ingin anak-anakku menjadi korban atas keegoisan orangtuanya. Aku ingin pisah dengan Beni dan kuharap suamiku benar-benar bertaubat dan tak ingin mengulangi sifat jeleknya yang suka mengkhianati cinta. Kepada siapa aku harus mengadu, keadaan ini sangat menyiksaku. Memiliki cinta ditengah cinta yang suci itu sungguh menyakitkan, seperti pohon yang ditumbuhi benalu.
Aku ingin semua berakhir sebelum suamiku mengetahui hubungan kami. Ya Allah, berilah petunjuk. Aku ingin rumah tanggaku sehat. Tak ada cinta lain diantara kami.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa