Foto diambil dari Shutterstock.
Ini adalah kisah cintaku dengan seorang cowok tetangga baru di depan rumahku. Saat itu aku baru pulang dari Malaysia, usiaku sudah 25 tahun, tapi aku belum menemukan cowok yang sesuai dengan apa yang aku idamkan, walaupun sebenarnya di kampung banyak juga yang menyukaiku.
Di pagi yang cerah, walau badanku masi lelah akibat baru tiba di rumah semalam, aku memetik sayuran di depan rumah. Menanam sayur-sayuran di depan rumah memang sudah merupakan kebiasaan keluarga kami. “Petik sayuran ya, Mbak?” tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang pemuda tampan berkulit kuning langsat yang menyapaku, “Mau dimasak apa?” tanya cowok itu kepadaku. Aku hanya tersenyum membalas sapaannya.
Pemuda itu selalu memperhatikan aku setiap aku keluar masuk rumah, lama-lama aku jadi salah tingkah dibuatnya. Kami kemudian sering ngobrol-ngobrol menceritakan kisah masing-masing.
Di kala sore hari di bawah pohon jambu nan rindang di samping rumahku, aku tidak tahan lagi untuk tidak bertanya, “Eh, sudah lama kenal kok aku masih belum tahu nama dan asalmu?” tetanggaku itu tersenyum dan berkata, “Oh iya, aku Ariyadi, panggil saja Ari. Dulu kami tinggal di Bali, tetapi orang tuaku kemudian memutuskan untuk pindah ke Lampung karena Pakde-ku tinggal di sini.” Dengan singkat aku pun memperkenalkan namaku sendiri, “Namaku Nur”.
Dua bulan sudah berlalu sejak kami saling memperkenalkan diri. Di satu pagi yang dingin, saat mentari pun masi enggan menampakan diri, dia tiba-tiba saja menyatakan cintanya padaku, “Aku suka kamu, aku cinta kamu, pokoknya aku gak bisa tanpamu,” katanya dengan lembut dan penuh percaya diri. Aku sangat terkejut dan sebetulnya masih belum siap untuk mencerna kata-katanya sepagi itu, tapi tetap saja kata “Ya” meluncur dari mulutku, walau sesungguhnya aku masi belum tahu betul apakah dia adalah pemuda baik-baik.
Akhirnya kami berpacaran dan sering berjalan bersama. Tiap malam minggu dia selalu mengajakku keliling kampung dengan motornya, dia terlihat sangat gembira seolah ingin memamerkan hubungan kami kepada orang sekampung. Terang saja seluruh penghuni kampung juga melihat kami sebagai pasangan yang sedang dimabuk asmara.
Walau demikian, keadaan ini tidak memupuskan cita-citaku untuk bekerja di Taiwan sekembalinya dari Malaysia, karena yang aku dengar dari teman-teman yang sudah ke Taiwan, gaji di Taiwan cukup lumayan dan aku ingin sekali bisa membantu orang tua selagi belum berkeluarga, selain juga untuk masa depanku sendiri. Aku sangat tertarik dan segera mendaftarkan diri ke PT dengan tujuan Taiwan.
Seperti biasa, di sore nan indah, Ari setia menungguku di bawah pohon jambu. Dia duduk di sana sambil makan buah jambu ketika aku menghampirinya. Dengan berat hati aku mengutarakan maksudku untuk pergi ke Taiwan, “Ri, sori ya… aku sudah harus pergi karena sponsor menungguku,” kataku dengan nada kuatir. “Yah, kalau memang itu keinginanmu, aku juga tidak berhak melarang. Aku hanya bisa berkata bahwa aku akan selalu setia menunggumu sampai kembali,” kata Ari kepadaku.
*****
Kira-kira satu tahun setelah aku sampai di Taiwan, aku mendengar kabar dari kampung kalau Ari sudah menikah dengan wanita pilihan orang tuanya. Mendengar kabar itu, aku sedih sekali. Aku masih berharap dia masih bisa menjadi pendamping hidupku di saat aku pulang nanti, tapi apa daya ternyata dia sudah menjadi milik orang lain.
Singkat cerita, aku menyelesaikan kontrakku dan pulang kampung. Tapi aku tak kuasa menunjukkan rasa gembira selayaknya orang yang pulang membawa keberhasilan, karena cintaku telah hancur berkeping-keping.
Sebenarnya selama di Taiwan pun aku cukup beruntung. Walau aku tidak diizinkan keluar, tetapi aku masih diperbolehkan memegang HP. Pernah di satu pagi, di saat aku masih sibuk bersih-bersih rumah, tiba-tiba saja HPku berbunyi. Anehnya, nomor yang muncul adalah nomor dengan kode Negara Malaysia. “Siapa dia?” tanyaku dalam hati, “Ha..Halo….ini siapa ya?” tanyaku agak ragu. “Halooo, boleh kenalan?” jawabnya di sana. Begitu mendengar suara cowok, langsung kuputuskan sambungan telepon dan tidak kuhiraukan lagi. Tapi rupanya cowok itu tidak mudah putus asa. Dia selalu mengirimiku sms dengan kata-kata indah yang membuatku penasaran. Akhirnya akupun setuju untuk diajak berkenalan. Cowok itu bernama Aji yang berasal dari Jawa Timur. Dengan Aji, aku merasa sangat terhibur, walau tak tahu seperti apa rupa ataupun sifat aslinya. Aku melewati hari-hariku dengan gembira hingga akhirnya habis kontrak. Kami kemudian membuat janji untuk bertemu di Indonesia dan menerima kekurangan masing-masing serta membina rumah tangga.
Walau begitu, kenangan akan Ari tetap kembali seiring dengan berpijaknya aku di Negara tercinta. Walau sudah berjanji dengan Aji, tetap sulit bagiku mengusir bayangan Ari. Seminggu lamanya setelah aku tiba di rumahku, tapi bayangan Ari masih tidak terlihat, “Kemana dia, kok tidak keliatan? Apa dia benar-benar telah melupakanku?” tanyaku dalam hati. Walau benci, tapi hatiku masih menyimpan cinta untuknya. Usut punya usut, adikku berkata bahwa sehari setelah pesta pernikahan, Ari yang menikah dengan wanita pilihan orang tuanya memilih untuk pergi ke Bali dan belum pulang sampai sekarang. Dengar-dengar dia tidak berencana pulang sampai aku kembali dari Taiwan. Betapa terkejut aku mendengar kabar ini.
*****
Suatu sore, saat aku duduk di bawah pohon jambu sambil mengenang kenangan bersama Ari di masa silam, sebuah suara menyentakkanku dari lamunanku, “Sore sayang, kamu tambah cantik setelah pulang dari Taiwan.” Dengan wajah yang tampak gembira, sosok yang sangat kukenal ini mengambil tempat dan duduk di sebelahku, “Masih ingat dengan janji kita dulu? Pohon jambu ini menjadi saksi kita kan?” tanyanya padaku.
Aku tidak menjawab, hanya beranjak pergi dan meninggalkannya tanpa menghiraukan satu katapun. Cepat-cepat dikejarnya aku dan menarik tanganku, “Aku tahu kamu marah dan kesal, tapi semua ini bukan kehendakku. Aku bahkan menepati janji kita dulu. Walau aku dijodohkan orang tuaku dan telah menikah, aku tetap tak bersamanya, aku masih mengharapkanmu sebagai pasanganku, karena kamulah yang aku cintai, dan aku yakin kamu juga mencintaiku.” Ari berusaha memberikan penjelasan. “Tapi aku tidak mau, karena sekarang statusmu adalah suami orang, dan andaipun kamu bercerai nantinya, aku tetap tidak mau!” kataku padanya dengan nada yang sangat marah. Tanpa sadar pipiku basah oleh linangan air mata kepedihan yang tidak bisa berbohong akan perasaanku yang sesungguhnya. Aku benar-benar masih mencintainya, “Aku kangen sekali sama kamu, Ri. Ingin rasanya aku memelukmu erat…” hati kecilku terus menjerit. Akupun mengingatkan diriku sendiri dengan janji menikah kepada Aji untuk mengalihkan perasaanku.
*****
Setelah itu takdir akhirnya mempertemukan aku dengan Aji dan kami menikah seperti yang sudah dijanjikan dulu. Kami dikaruniai seorang anak perempuan dari pernikahan kami ini. Setelah anakku berumur satu tahun, aku kembali bekerja di Taiwan karena ekonomi suamiku yang tidak mencukupi.
Setahun sudah aku di negeri Formosa, tanpa bisa membohongi hati kecilku, aku masih merindukan Ari, cinta sejatiku. Walau aku sudah bersuami dan memiliki seorang putri, tapi aku tak kuasa menahan keinginan untuk mencuri tahu kabar Ari. Dengan menelepon adikku di kampung, aku mendapat kabar bahwa Ari masih tetap menantiku dan tidak segan-segan datang ke rumah menanyakan kabarku ataupun no HPku pada orang tuaku di rumah. Tetapi dengan alasan melindungi pernikahanku, orang tuaku tidak pernah memberikan no HPku padanya.
Walau aku juga begitu mencintainya, tetapi satu-satunya yang bisa aku lakukan hanyalah mendoakan Ari agar dapat segera menjalankan rumah tangga dengan wanita yang baik, seperti aku saat ini. Hanya itu yang bisa aku lakukan, sebab terkadang kita harus merelakan diri dan menerima kenyataan bahwa cinta tak harus memiliki.
THE END