Foto ilustrasi diambil dari Pinterest.
Sebut saja aku Nunu (Nama samaran), wajahku tidak begitu cantik ataupun jelek, kulitku seperti kebanyakan orang Indonesia sawo matang. Aku dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, ayahku seorang petani dan ibuku hanya seorang pembantu rumah tangga yang kesehariannya mengasuh anak-anak.
Aku mempunyai 1 abang, 1 kakak, 2 adik laki-laki dan 1 adik perempuan. Diusiaku yang masih muda (17 tahun) aku menikah dengan seorang duda yang belum mempunyai anak, usianya terpaut 5 tahun lebih tua dariku, namanya Adi. Dia anak yatim piatu dari kecil dan hanya punya satu kakak perempuan. Suamiku hanya seorang buruh tani dan kadang dagang perabot dapur yang modalnya pinjam dari saudaranya. Setelah setahun menikah aku belum mempunyai keturunan karena ikut KB (Keluarga berencana).
Karena pendapatan hanya cukup untuk makan sehari-hari saja, maka aku minta izin pada Adi untuk berkerja ke luar negeri. Awalnya Adi tidak mengizinkan, tapi karena dia juga merasa belum bisa memberiku nafkah yang cukup,akhirnya diapun mengizinkan aku. Akupun berangkat ke negara Saudi 2 tahun. Aku berkerja tanpa halangan, uang hasil kerjaku 1 tahun aku kirimkan buat modal usaha suamiku dagang. Sisanya aku bawa pulang. Ternyata hasil kerja suamiku nihil dan gagal, dan yang separuh dari uangku pun habis buat kebutuhan hidup kami.
Akhirnya akupun kembali lagi ke Saudi dan Adi pun mengizinkan aku lagi. Tetapi kali ini nasib baik tidak berpihak padaku, majikan aku sangat jahat, ditambah lagi dengan pekerjaan yang segunung, membuat aku tidak tahan. Akhirnya akupun memilih kabur. Akupun bertemu dengan teman senasib dan di ajaknya ketempat dia tinggal, akupun dicarikan pekerjaan rumahan yang jam kerjanya dari jam 7 pagi – 7 malam. Aku tinggal di kontrakan yang per bulannya harus dibayar 100 Riyal per orang.
Hari demi hari aku jalani dengan senang dan tak terasa 3 tahun sudah aku di negara Saudi. Hasil kerjaku aku kirimkan buat beli tanah dan bahan-bahan untuk membangun rumah, dan hubunganku dengan suamiku pun baik-baik saja.
Hingga menginjak tahun ke-4, aku dikenalkan dengan seorang laki-laki oleh temanku, dia juga TKI kaburan sepertiku, dia adalah duda beranak dua, namanya Leo. Dengan seringnya bertemu kamipun menjadi lebih dekat dan akrab. Disitulah awal aku sedikit demi sedikit mulai melupakan suamiku bahkan tumbuh rasa benci padanya, entah kenapa mungkin karena aku kini telah berpaling ke lain hati. Ya, aku dan Leo sudah menjalin hubungan layaknya seorang kekasih, Leo pun tahu kalau aku punya suami dan dia menyuruhku menceraikan suamiku dan menikah dengannya.
Setelah setahun hubunganku dengan Leo, selama itu pula aku jarang sekali menghubungi suamiku dengan alasan sibuk dan tidak sempat. Suamiku mungkin merasakan perubahanku hanya saja dia tidak mau menanggapinya dengan serius dan berpikiran yang tidak-tidak. Tapi lama kelamaan naluri kesuamiannya terasa dan mengungkapkannya kepadaku. Mulai sejak itu setiap komunikasi hanya pertengkaran yang ada diantara kami. Tak jarang pula aku minta cerai dari dia. Akhirnya Leo pun mengajak aku nikah sirih dan memintaku bercerai dari suamiku, karena aku sudah di butakan dengan cinta Leo. Aku pun menghubungi suamiku untuk minta cerai dan terus terang padanya kalau aku akan menikah dengan Leo. Awalnya suamiku mengira aku hanya bercanda, namun setelah Leo sendiri yang langsung berbicara dengannya, suamiku mulai percaya.
Setelah itu suamiku menceritakan semua tentangku pada orang tuaku. Dengan kesal orang tuaku menghubungiku dan memintaku segera pulang, dan jangan sampai di kemudian hari menyesal karena kebodohan yang aku buat sendiri. Suamiku tidak mau menceraikan aku kalau aku tidak pulang, kecuali aku pulang dengan Leo, dia baru akan menceraikanku.
Tanpa pikir panjang akan baik dan buruknya nanti, akupun menikah sirih dengan Leo. Ya aku telah melakukan dosa besar, tapi saat itu hanya kebahagiaan semata yang aku inginkan bersama Leo. AKu percaya 100% kalau Leo benar-benar mencintai dan menyayangiku dengan tulus dan suci.
Dua tahun sudah aku hidup dengan Leo dan suamiku masih tetap setia menanti kepulanganku, itu kutahu dari orangtuaku dan keluargaku, tapi apa yang aku rasakan bukan kasihan tetapi malah membencinya.
Dengan nasehat dari orang tuaku, Adi pun bersedia menceraikan aku dengan syarat aku dan Leo benar-benar pulang, tapi aku belum bersedia pulang karena aku lebih suka menikmati hidup di Saudi bersama Leo. Dan tak lama setelah aku hamil 6 minggu, dengan bangga aku menghubungi Adi dengan harapan dia mau menceraikan aku, tapi apa yang aku pikir berbalik keadaannya. Adi dengan tulus berkata, “Pulanglah sayang, sampai saat ini aku tetap setia dan sayang padamu, aku tidak peduli dengan kehamilanmu. Anakmu adalah anakku, kita akan membesarkannya sama-sama.” Setelah mendengar kata-kata Adi, akupun makin marah dengannya.
Dengan bujukan dari semua keluargaku dan keluarganya, Adi pun akhirnya menceraikan aku. Ya mungkin dia sudah capek dan terlalu sakit dengan apa yang sudah aku lakukan selama ini padanya. Dua bulan bercerai, Adi pun dijodohkan oleh bibinya dengan gadis sekampungnya yang bukan orang kaya tetapi sudah mapan. Entah hanya untuk pelarian atau hanya pelampiasan semata, Adi pun menikah.
Tujuh bulan sudah usia kandunganku, akupun diminta Leo untuk pulang, dia berjanji akan pulang dan menikahiku secara resmi. Akupun percaya dengan semua ucapannya, dengan dibekali uang 5 juta dan perlengkapan buat anakku, akhirnya akupun pulang.
Kepulanganku disambut bahagia oleh keluargaku, karena selama hampir 8 tahun aku tidak ketemu dengan mereka. Bisik-bisik tetangga pun sungguh tidak sedap di dengar, tapi aku tidak menanggapinya.
Sembilan bulan sudah aku hamil, tetapi belum ada tanda-tanda untuk melahirkan, akupun segera memeriksakan kandunganku ke dokter spesialis. Setelah di USG betapa terkejutnya aku kalau air ketuban dalam rahimku semakin hari semakin berkurang dan dokter menyarankan aku untuk operasi cesar. Berapa kali aku melahirkan selama itu pula aku harus melakukan operasi karena tulang vaginaku kecil, tidak bisa untuk melahirkan secara normal. Setelah pulang dari rumah sakit akupun menghubungi Leo dan membicarakan semuanya, dokter memberiku waktu 24 jam untuk segera operasi karena kalau tidak itu akan membahayakan nyawaku dan anakku. Dengan tenang Leo menyuruhku meminjam uang dengan kelaurgaku dan dia akan menggantinya secepat mungkin.
Setelah pinjam uang dari bibiku, akupun segera berangkat dan melakukan operasi. Alhamdullilah, aku dan anakku selamat, aku melahirkan seorang putra. Setelah kelahiran anakku, Leo jarang sekali menghubungiku bahkan sekedar SMS pun tidak. Alasannya sibuk dan tidak sempat. Sebulan usia anakku, dia terserang gejala penyakit paru-paru dan harus di periksa secara rutin. Sedangkan hutang untuk biaya operasipun belum bisa aku bayar, akupun tidak mengharapkan uang dari Leo, karena setiap aku bicara soal uang diapun tak segan-segan menutup teleponnya.
Enam bulan sudah usia anakku, dan Leo sudah jarang sekali memberiku uang. Akhirnya aku putuskan untuk menjual tanah yang sudah aku beli untuk biaya hidupku dan menutupi hutang-hutangku dan setelah anakku genap satu tahun, Leo pun menghilang entah kemana, nomer handphonenya sudah tidak aktif lagi. Akupun sudah pasrah menerimanya karena alamat yang dia berikan dulu padaku sudah hilang.
Kini anakku sudah 3 tahun tumbuh tanpa belaian seorang ayah. Karena Leo sudah benar-benar hilang bai ditelan bumi. Ya Tuhan inkah yang dinamakan karma. Sekarang aku baru sadar kalau selama ini aku telah berbuat dosa, dan akibat dari kebodohanku kini anakku harus hidup tanpa tahu sosok ayahnya.
“Ampuni aku ya Tuhan, masih pantaskah aku memohon ampunanMu?”
“Anakku maafkan Ibu, karena Ibu kau harus tumbuh besar tanpa belaian seorang ayah, maafkan Ibu sayang.”
Lain halnya dengan Adi yang kini hidup berkecukupan dengan istrinya. Sudah punya kendaraan, rumah, sawah dan semuanya.
“Untukmu Adi, dalam diamku aku memohon maafmu, karena selama ini aku sudah terlalu banyak menyakitimu, semoga kau memaafkan semua dosa-dosaku.”
Kini aku dan anakku hanya bersandar pada orangtuaku dan saudara-saudaraku, aku benar-benar malu dan menyesal namun segalanya sudah terjadi dan nasipun sudah menjadi bubur.
The End.