Ilustrasi gambar diambil dari http://www.illustrationsource.com.
Ini memang jalanku, kurasa. Tapi sungguh, hati kecilku menolaknya. Bagaimana bisa cinta disatukan bukan karena aku yang memilih? Bagaimana aku harus mengingkari diriku bahwa aku diam-diam memiliki perasaan sama dia, seseorang yang selama ini mengira wajahku mirip sekali dengan mantan kekasihnya? Ah Tuhan….
Ijinkan aku berbincang denganMu, mengutarakan kegelisahan ini Tuhan. Apakah dengan alasan berbakti, aku harus mengorbankan perasaan dan mengkhianati diriku sendiri? Ataukah masih boleh aku menghindar, atau setidaknya menunda saja keinginan orang yang kusayang mengakhiri masa lajang? Beban ini kurasa teramat berat. Dan hampir air mataku menangis oleh karena dada yang penuh kecewa. Sekali lagi, bolehkah aku menundanya, Tuhan?
******************
Adalah dia, perempuan yang awalnya kuanggap biasa-biasa saja. Kurang lebih kuperlakukan sama seperti pelanggan-pelanggan lain ditempat fotokopi dimana aku bekerja. Namun karena pernah suatu ketika, perempuan itu sempat berkata kalau wajahku mirip dengan mantan kekasihnya, sejak saat itu aku jadi lebih perhatian dengannya. Cukup sering dia bolak-balik fotokopi, mungkin berkaitan dengan pekerjaannya.
Namaku Ary. Tinggiku kurang lebih 170 sentimeter dengan kulit sawo matang. Sudah 4 tahun aku bekerja disebuah tempat fotokopi. Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Sayangnya, diusia masih anak-anak, 5 tahun, aku harus berpisah sama adikku satu-satunya. Tuhan lebih sayang sama dia, dan tempatnya ialah disisi-Nya. Akhirnya, sejak saat itu aku menjadi anak paling bungsu dari orangtuaku yang seorang pedagang buah.
Kakakku satu-satunya, sudah menikah dan sekarang ikut bersama suaminya di kota lain. Kulihat meskipun keadaan perekonomian mereka biasa-biasa saja, nyatanya kehidupan mereka penuh kebahagiaan. Berulang kali kakak menanyakanku kapan menyusul mereka. Aku hanya bersenyum-senyum saja.
Tentang dia, perempuan yang kuceritakan, aku tak pernah punya cerita. Aku hanya merasa dekat, sekali lagi merasa dekat. Itupun dari kacamataku sendiri, entah untuknya, perempuan yang biasa kupanggil Cute. Tingginya kurang lebih 160 sentimeter, berkulit kuning langsat. Alhamdulillah dia juga memakai jilbab, santun pula, ah…aku memang mulai memikirkannya, kurasa.
Parasnya, semakin lama kulihat semakin manis. Semakin aku tak bosan memandangnya lama-lama. Aku memang tak begitu kenal sama perempuan itu. Tetapi dari suaranya yang renyah, wajahnya yang cantik, membuatku merasa dekat dengannya, walau kedekatan itu hanya sebatas anganku saja.
Awal ketertarikanku sebenarnya secara tak sengaja. Pertama kali dia datang, aku memang mengaguminya. Setelah berulangkali dia datang ke tempatku bekerja, apalagi setelah tak sengaja dia bilang aku mirip sama mantan kekasihnya, perhatianku jadi lebih sama dia. Dari obrolan yang pernah terjadi, dia mencari karyawan untuk perusahaan tempatnya bekerja. Aku sebenarnya tertarik, tepatnya biar bisa berlama-lama melihat parasnya, tapi merasa tidak enak sama pemilik fotokopi karena sudah menganggapku saudara sendiri. Karena aku ingin tetap bisa berhubungan sama Cute, aku menawarkan lowongan pekerjaan itu sama teman. Dan beruntungnya, temanku bersedia. Nah, sejak saat itu, aku bisa lebih dekat sama Cute karena aku telah berhasil pula meminta nomer teleponnya.
Jika sehari saja Cute tidak datang fotokopi sesuatu, aku buru-buru sms. Biasanya dia membalas memang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dari kurang lebih sebulan kedekatan kita (menurutku), aku semakin mengerti kalau Cute memang perempuan yang super sibuk. Dia lebih banyak sibuk dengan urusan pekerjaan dan juga urusan kuliahnya. Dan sekali lagi menurutku, dia belum memiliki kekasih. Batinku merasa senang. Yes, masih ada kesempatan.
Sering kali teman-teman menyindirku kalau sudah sore Cute belum nampak. Apalagi sampai berhari-hari, wajahku bisa kelihatan tak bersemangat. Aku cuek saja. Kata mereka, aku sudah mulai merasakan jatuh cinta sama Cute. Entahlah, aku tak bisa memungkiri batinku sendiri. Ya, sepertinya aku memang merasa jatuh cinta sama dia. Pernah suatu ketika, aku iseng sms kenapa beberapa hari tidak datang fotokopi. Dan ternyata balasan smsnya membuatku sangat khawatir, karena dia sedang sakit bahkan tidak bekerja beberapa hari. Aku jadi semakin (sok) perhatian sama dia. Yang menyuruhnya cepat ke dokter, menyuruhnya jangan telat makan, banyak-banyak istirahat, dan ehm…kurasa memang aku peduli akan dia.
Sejak aku mulai mencintainya diam-diam, aku memang sudah siap dengan segala yang akan terjadi. Masalah sebenarnya tak pernah terjadi sejak aku mengenal Cute. Aku sendiri yang menjadikannya masalah sebab akan membuatku semakin jauh dari perempuan yang kupuja itu. Beberapa waktu yang lalu, aku bertengkar sama orangtua. Mereka menginginkan aku segera memiliki kekasih, dan secepatnya menikah. Sewaktu aku ditanya masalah kekasih, dan jawabanku mengecewakan mereka, tanpa aku duga Bapak langsung mengultimatum agar aku mau menerima pilihan Beliau harus menerima kenyataan agar mau dijodohkan dengan anak perempuan temannya Bapak. Bagai disambar petir, sontak wajahku berubah. Aku jelas-jelas menolaknya. Bapak berang, aku langsung keluar rumah dan mengambil motor, pergi.
Sejak itu pula, hati kecilku berperang. Aku ingin berbakti tanpa harus menyakiti diri sendiri. Lepas Isya, aku bbm Cute. Aku ingin membagi kecewa ini sama dia. Aku beranikan diri mengajaknya makan malam dengan alasan yang masuk akal, menanyakan lebih jauh tentang kerjaan yang kutawarkan temanku dulu. Setelah harus deg-degan takut kalau dia menolak, akhirnya aku bernafas lega. Dia menerima ajakanku dengan catatan hanya bisa keluar sebentar saja.
Disebuah lesehan, kita bertemu. Pertama kalinya aku bisa berbincang berdua saja dalam keadaan yang santai. Dimana aku tak takut lagi disindir oleh teman-teman kerja. Setelah berbasa-basi sebentar, akupun dengan suara yang terputus-putus memulai pembicaraan. Kuceritakan tentang keadaanku, bahwa aku diam-diam mencintai seseorang. Dan semakin lama perasaanku itu semakin besar. Aku memang tak menceritakan siapa perempuan itu, dan dimana aku mengenalnya. Lalu kuceritakan pula, kalau aku dijodohkan sama orangtuaku. Dan aku ingin menolaknya tapi tak mampu karena aku belum memiliki kekasih. Aku bingung dan tak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
Kulihat Cute begitu menyimak setiap kesahku. Dia diam saja. Selesai aku bercerita dan tersenyum kecil, dia berkata, “Mas, jangan bingung. Tuhan ada untuk setiap detik yang terjadi di kehidupan kita. Luangkanlah waktu, berbincanglah dengan–Nya. Dan percayalah, Dia akan menjawab setiap pertanyaan kita.” Deg! Dadaku berdesir. Perempuan itu semakin lama semakin membuatku merasakan jatuh cinta. Cute, aku mulai sayang kamu, meski kau tak sedikit pun tahu. Maaf ya….
Setelah makan malam pertama itu, ada sesuatu yang berubah di diriku. Keyakinan bahwa aku pun harus mengungkapkan perasaanku sama dia. Aku ingin Cute tahu, betapa tulus rasa ini untuknya. Memang, kalau dilogika mana mungkin seorang sepertiku mendapatkan perempuan seperti dia. Kalau diibaratkan ruang, aku dan dia tersekat sesuatu yang membuat kita terasa jauh. Namun aku ingin menepisnya. Dan ingin menguatkan hati jika cinta yang tulus, tak mengenal jarak apapun.
Suatu malam aku berencana mengungkapkan perasaanku. Untuk kedua kali aku mengajaknya makan malam. Ditempat makan itu, aku sudah bersiap untuk mengungkapkan semuanya. Malam semakin dingin, semakin hangat perbincangan kami. Mulutku hendak memulai menyatakan cinta, namun tiba-tiba, Cute mengatakan sesuatu yang sungguh membuatku bungkam. Ternyata, perempuan itu masih takut untuk membuka hati karena ia pernah dikhianati oleh orang yang ia cintai. Ia belum bisa percaya sepenuhnya sama laki-laki. Aku diam. Dan memang berpikir untuk tak mengatakannya saja agar aku masih bisa berlama-lama menjadi temannya. Saat ini perempuan yang ternyata menyibukkan diri agar bisa melupakan kekasihnya itu, menyimpan kecewa yang masih dalam.
****************
Aku memang mencintaimu, duhai perempuan. Aku sangat menyayangimu. Tapi aku tak ingin membuatmu terluka, tak ingin membuatmu kecewa. Aku ingin selalu ada untukmu, sebagai apapun yang kau mau. Cute, dalam segala keterbatasanku dan ketulusan sederhana milikku, ijinkan aku mencintaimu, diam-diam.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa