Aku, Auliaste Dawantha, lebih gampang lagi panggil saja Lias. Aku lahir di kota Jakarta, 11 Maret 1986. Aku berasal dari keluarga tidak mampu, maka dari itu aku bekerja menjadi TKW untuk memperjuangkan masa depanku. Keluh kesah yang aku alami selama ini membuatku tidak tahu harus berkata apa. Selain berdoa, aku tidak tahu harus melangkah dan berjalan kemana, arah dan tujuanku tidak pasti. Aku harus menelan pahit kenyataan ini sendiri, menelusuri jalan yang penuh duri yang tajam. Aku tidak pernah menyesali hidup ini walau aku lumpuh dalam kehancuran. Perih dan luka yang aku alami, kebahagiaan yang baru sepercik aku dapatkan, kini terhapus oleh debu.
Waktu aku masih kecil, kira-kira 10 tahun yang lalu, aku baru bisa merasakan kebahagiaan yang disebut cinta, cinta monyet bagi anak kecil sepertiku , anak kecil yang belum tahu apa arti cinta sejati. Apakah aku salah mengungkapkan dan mencintai sahabatku? Aku mencintai dia dari dulu sampai sekarang, aku pendam perasaan ini bertahun-tahun, tertutup rapat dan tidak ada orang yang tahu tentang isi hatiku. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaan ini. Semakin lama perasaan ini menggundah, seakan ingin kutunjukkan padanya bahwa aku mencintainya. Tapi selama ini kata-kata yang aku ucapkan padanya membuat dia membenciku. Apakah aku salah berkata demikian untuk mencintai dan menyayanginya. Walau aku tahu diantara kami hanya sebatas sahabat, tapi aku tidak bisa mencintai siapapun kecuali dia. Meski aku harus korbankan hati dan perasaanku hingga luka untuknya, aku berjuang mati-matian supaya aku bisa melupakan dia dan mencintai orang lain. Selama ini cinta yang aku simpan ternyata bertepuk sebelah tangan. Aku rela dia bersama orang lain, mungkin dengan orang lain dia lebih bahagia. Aku hanya mampu mengucapkan selamat tinggal sahabat. Ya Allah, dosakah aku selama ini padaMu? Apa yang harus aku lakukan? Berat sekali cobaan ini aku jalani, kenapa sahabatku tidak pernah mencintaiku? Apakah selama ini aku tidak sempurna di matanya? Aku menyesal mencintainya. Karena aku mencintainya, persahabatan kami terputus.
Dulu ia bagaikan malaikat hidupku yang membangkitkan aku dari kelumpuhan dan mengajari aku untuk berjalan. Ya Tuhan, berikan aku kebahagiaan yang bisa membuat aku bangkit kembali. Dia orang yang pertama membuka hatiku, meski dia tidak pernah tunjukkan padaku bahwa dia mencintaiku. Pelukan dan pegangan tangannya kini masih erat di tubuhku. Aku tidak pernah melupakan hal itu, kenangan yang indah meski menyakitkan. Tidak pernah aku menyesali, aku bersandar di hidupnya walau hanya sesaat.
Kini aku dapat melupakan kenangan itu dengan kehadiran seorang malaikat kecil. Dia adalah sosok pria ganteng, kaya, dan baik. Ia bernama Alvinno Greatio Agung. Seorang pengusaha sukses di kota Jakarta, panggil saja dengan nama Vinno. Mungkin pada saat itu aku masih merasakan kebahagiaan dari Tuhan. Saat itu tawa dan canda kudapatkan darinya. Kebahagiaan yang sampai sekarang masih tersimpan, bukan karena materi ataupun kekayaan yang dia miliki. Bukan! Tapi karena aku benar bisa merasakan seperti apa cinta sejati itu. Kebahagiaan yang mulai aku rangkai dan aku hiasi dengan tawa itu akhirnya kandas ditengah jalan, bukan karena dia mengkhianati ataupun selingkuh. Bukan! Luka yang selama ini aku obati terkelupas kembali, sangat perih dan sakit. Kekecewaan dan sakit hatiku lebih sakit dibanding yang aku rasakan dulu. Ya Tuhan… Apalagi cobaan ini, apakah ini garis takdirku? Apakah yang aku jalani selama ini? Banyak yang mengira aku cewek materialistik. Aku hanya mencintai Vinno, bukan karena hartanya. Aku bukan gadis yang cantik, putih, anggun, sexy ataupun berpakaian mewah. Aku hanya gadis miskin. Dulu, aku dan Vinno, kami mempunyai hubungan. Anggaplah pacaran. Namun hubungan kami tidak direstui oleh keluarga Vinno, terutama sang ibu. Ia bersikeras bahwa sang putranya tidak menginginkan gadis yang tidak berpendidikan, miskin, dan tidak sederajat. Tapi Vinno mencekal kata-kata ibunya dan membela aku, si gadis miskin. Memang aku tidak tahu diri, tidak bisa bercermin dan menilai siapa aku, namun Vinno tetap mencintaiku dan melawan orang tuanya untuk bersamaku. Aku tidak tahu harus berkata apa, itu pilihan Vinno. Memang hubungan kami tersendat-sendat karena materi. Aku tidak punya apa-apa dan tidak ada yang bisa kubanggakan. Kekecewaan selalu menghampiri hidupku. Sang ibu memcaci maki aku, menghinaku dengan sebutan “pelacur”. Itu terasa pedas di telingaku. Aku tidak mampu mendengar cacian itu. Air mataku menetes dan tidak bisa kuhentikan, tapi Vinno membelaku, menarik tanganku dan mengajak aku keluar dari rumahnya.
Setiba di muka pintu gerbang, sang ayah bertanya apa yang dikatakan sang ibu padaku. Tidak sempat aku menjawab, Vinno menjawab dulu, “pelacur,” katanya. Suara yang dikeluarkan Vinno seperti petir yang menyambar. “Apakah aku pantas mendapatkan kebahagiaan ini?,” suara Vinno bertanya. Sang ayah menjawab, “Pergilah, dan bawalah cintamu kalau itu memang kebahagiaanmu.” Memang harta adalah kendala dalam kehidupan, perbedaanku dengan Vinno memang jauh, tapi Vinno tidak pernah mengakui harta itu miliknya, harta adalah titipan dari yang Esa. Itu yang aku kagumi pada Vinno selama ini. Dia tidak pernah menilai rendah. Banyak orang tidak merestui hubungan kami. Orang mengira aku memakai “pelet”. Bukan! Demi Allah aku bersumpah, aku tidak pernah menggunakan pelet. Cintaku benar, tulus dan suci. Aku tidak pernah menginginkan cinta itu terpaksa. Aku cuma inginkan cinta itu tumbuh dari hati yang tulus, bisa menerimaku dari kekurangan dan kelebihanku. Tidak sanggup aku mendengar isu-isu di telingaku, semakin hari orang semakin membenciku. Aku benar-benar mencintai Vinno, benar-benar mencintainya. Cacian itu membuat Vinno membenci ibunya, itu karena aku. Dia berani membantah sang ibu hanya untuk membelaku. Ya Allah, apakah aku salah bila akrab dengan Vinno?
Dia tidak pernah bercerita tentang hidupnya. Yang dia tunjukkan hanya keceriaan dan tawanya padaku, seolah dia mendapatkan kebahagiaan dariku. Aku bisa membuatnya bahagia. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Dia menutupi kepribadiannya dariku, seakan dia menyimpan segudang masalah. Tapi kenapa dia tidak mau bercerita? Saat-saat itu aku mulai bertanya apa yang terjadi pada Vinno, tapi tidak ada satu pun jawabannya. Vinno hanya membisu tanpa mengatakan iya ataupun tidak. Apa yang harus aku lakukan? Sang ibu menudingku sebagai wanita pembawa sial. Apa yang aku dengar itu nyata? Hinaan yang kedua kali ini yang membuat aku meneteskan air mata. Aku seakan tidak mampu berdiri, kakiku lemas, tubuhku gemetar. Apa salah dan dosaku hingga cacian pahit itu kurasakan? Apakah aku salah mencintai putramu? Tidak ada perlawanan kata yang terucap dari bibir Vinno untuk membelaku. Ia tidak pedulikan cacian dan hinaan yang menyiksa batinku. Memang aku salah mencintai Vinno yang lahir dari keluarga yang berpendidikan, kaya, dan berjasa. Aku tidak pernah menyalahkan waktu dan keadaan. Memang ini sudah takdir dari yang Esa. Semakin lama aku tidak kuat untuk mendengar kebencian sang ibu padaku, yang selalu mengatakan bahwa diriku gadis bodoh. Aku tidak berani membuka bibirku untuk berbicara, seakan beku dan tidak bisa bergerak.
Hari itu Vinno tiba-tiba masuk rumah sakit. Mataku tidak mampu melihat Vinno terbaring lemas tidak berdaya seakan tidak mampu hidup. Tidak ada satu kata pun yang dikeluarkan Vinno untukku, dia membisu tidak mampu bicara. Ini bukan yang pertama kali Vinno terbaring di atas kasur yang ada di rumah sakit. Hampir tiap bulan dia menjalani fisiotherapy dan berobat karena penyakitnya. Tapi kenapa selama ini Vinno tidak pernah bercerita padaku kalau dia sakit? Dia sakit apa? Aku tidak tahu. Kini aku harus benar-benar mencoba untuk bersabar menjalaninya. Orang yang selama ini aku cintai tidak berdaya di depan mataku. Aku hanya bisa pasrah kepada Allah. Semakin lama kebencian sang ibu padaku semakin memuncak seperti gunung yang mau meletus. Aku tidak berani menatap wajahnya, melirik pun aku takut. Aku diusir dari ruangan di mana Vinno dirawat. Dengan tudingan jari telunjuknya di depan mataku, tidak satu patah kata pun sanggup aku ucapkan. Langkah kakiku seakan berat untuk meninggalkan Vinno yang terbaring lemah dalam keadaan koma. Hampir dua minggu Vinno masih dalam perawatan dokter, hingga akhirnya dokter berkata demikian, “Kami tidak sanggup melanjutkan perawatan ini, sebaiknya dibawa ke rumah sakit yang lebih canggih.” Dan akhirnya Vinno dibawa ke rumah sakit yang mempunyai alat yang lebih lengkap, yaitu di Singapura. Semakin aku tidak kuat untuk menanggung beban ini. Kepergiannya ke Singapura membuatku semakin lemah. Aku khawatir dan bertanya-tanya bagaimana keadaan Vinno setiap hari, hanya itu yang aku ucapkan. Ya Allah, sembuhkan Vinno agar dia bisa menjalani hidup normal seperti yang lainnya.
BERSAMBUNG (PART 2)
Kisah Cinta TKW yang Ditinggal Pacarnya Meninggal : “Batu Nisan” (Part 2)