Foto ilustrasi diambil dari Shutterstock.
Cerita sebelumnya baca di sini
Kisah Cinta TKW yang Ditinggal Pacarnya Meninggal : “Batu Nisan” (Part 1)
Hampir satu minggu dia berada di Singapore. Ya Allah, kapan Vinno pulang? Tiba-tiba ponselku berdering, alangkah kagetnya sewaktu aku mendengar kalau Vinno sudah pulang. Tanpa berpikir panjang aku datang ke rumahnya, tidak kupedulikan sang ibu yang membenciku. Yang ada di otakku, aku bisa bertemu Vinno. Setiba di rumah Vinno, aku tidak memedulikan sang ibu yang berada disampingnya. Aku langsung memeluk Vinno dengan erat. Seakan tidak ingin aku lepaskan. Wajah sang ibu merah, seakan ingin menamparku, tapi Vinno inginkan aku selalu di dekatnya dan menjauhkan aku dari sang ibu. Vinno yang mencengkram jemariku dengan sekuatnya dan berkata, “I will always love you. Aku titipkan cintaku bila suatu saat aku pergi dan tidak kembali, aku tidak membencimu bila nanti kamu dimiliki orang lain karena walau itu raga orang lain tapi cinta dan hati itu milikku,” itu ucapan Vinno ketika memelukku.
Cinta kami tetap kuat dan gigih karena sang ayah dan Yimmy (adik Vinno) mendukung dan merestui hubungan kami. Kebahagiaan bukan dari harta, tapi cinta. Orang yang selama ini menyayangi kita, sang ayah membela kita, menguatkan cinta kami agar Vinno kuat untuk melawan penyakitnya. Aku berjanji padanya aku akan selalu menjaganya dan menyimpan cinta Vinno hingga Vinno bisa sembuh. Tapi sampai detik ini aku juga belum tahu apa penyakitnya. Suatu saat kata Vinno aku akan dikasih tahu, tapi belum sekarang. Tapi kebahagiaan itu dihancurkan oleh sang ibu yang menginginkan putranya tinggal di Singapura dan mengurusi sahamnya disana. Mau atau tidak, Vinno terpaksa harus tinggal di luar negeri dan meninggalkan aku seorang diri. Aku tidak bisa melarang itu, karena itu juga demi masa depan Vinno yang harus mengurus semua perusahaan yang dikelola ayahnya. Tiga minggu telah berlalu, diam-diam Vinno kembali ke Indonesia untuk menemuiku dan membawaku ke rumahnya untuk menunjukan pada sang ibu bahwa kami tidak bisa dipisahkan. Berani atau tidak kami harus melangkah dan menunjukan batang hidungnya di depan muka sang ibu. Muka sang ibu merah seakan ingin menelan kami hidup-hidup. Hinaan dan cacian sang ibu padaku semakin meledak, dia murka dan membenciku. Rasanya aku seperti terjebak dalam kandang buaya. Akhirnya tangan sang ibu terbang menamparku paaakkk!! Dia sungguh membenciku dan membenciku… Tidak ada satu patah kata terucap padaku, tanpa kusadari bibirku terbuka, “Aku mencintai putramu.” Sang ibu menjawab, “Persetan dengan cinta!! Aku sangat membencimu, gadis bodoh!!” Kata-kata itu terulang, kembali menghinaku. Vinno melihatku ditampar dan akhirnya dia menjawab, ”Apakah sang ibu tidak senang melihat putranya bahagia? Sebenarnya siapa ibuku? Kalau memang kamu ibuku, mengapa kamu melarangku?” Kata-kata Vinno seakan menyinggungnya, tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya, wajahnya pucat dan ketakutan, tidak sedikit pun perlawanan keluar darinya.
Dengan tiba-tiba Vinno menarikku dan keluar dari ruangan, tiba-tiba dia memutar badannya, “Tidak ada satu orang yang bisa memisahkan cinta kami!” teriak Vinno dengan mengangkat jari telunjuknya ke arah sang ibu. Aku merasa berdosa, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Entah ada badai apa, aku dan Vinno bertengkar habis-habisan seperti perang di jaman Jepang dan Belanda. Entah aku atau Vinno yang salah bicara. Dari situ kami sudah salah paham. Aku tahu Vinno banyak berkorban untukku, mempertahankan hubungan kami. Tapi aku ingin Vinno kembali kepada sang ibu. Karena aku tidak ingin sang ibu membenciku hanya karena masalah ini. Vinno berani membangkang kata-kata sang ibu. Alangkah berdosanya aku hanya untuk menguatkan cinta kami, kami harus rela menyakiti hati orang lain. Keinginan itu membuat Vinno marah besar padaku, bukan aku tidak mencintainya! Tapi aku hanya ingin Vinno kembali pada keluarganya. Sebelum ada kehadiranku di tengah-tengah keluarganya, jarang sekali Vinno pulang ke rumah habis pulang kerja. Entah dia pergi kemana aku pun juga tidak tahu, dia tidak pernah bercerita. Akhir-akhir ini Vinno banyak diam walaupun kami jalan bareng, tapi dia jarang menunjukkan tawanya padaku, ia tidak seperti dulu lagi. Setelah bertengkar waktu itu, entah apa salahku, Vinno pun tidak meneleponku atau mengabariku. Ponselnya juga jarang aktif setiap kali aku hubungi. Akhirnya aku menelpon ayah, aku bertanya padanya, “Ayah, apa ada dengan Vinno?” Ayah tidak menjawab pertanyaanku, apakah dia membenciku juga? Kira-kira 3 menit kemudian, ayah menjawabku, “Vinno berada di rumah sakit.” Tanpa berpikir panjang, aku datang menemui Vinno untuk melihat bagaimana keadaannya.
Setiba di rumah sakit, aku mendapati Vinno sedang berada dalam ruang operasi, akhirnya aku harus menunggu di ruang tunggu. Aku dan ayah menunggu Vinno hingga operasi selesai. Dua jam kemudian operasi selesai, dia masih menutup matanya dan membisu. Apa yang terjadi pada Vinno aku juga tidak mengerti, aku bertanya pada ayah, “Ayah… sebenarnya Vinno sakit apa? Selama ini Vinno tidak pernah bercerita dan kenapa ini harus ditutupi dariku? Apakah aku tidak boleh mengetahuinya? Ayah, aku berharap ayah kasih tahu apa yang terjadi pada Vinno.” Ayah memelukku dan menghapus air mataku, akhirnya ayah bercerita, ”Dulu sewaktu Vinno masih sekolah SMA di Surabaya, Vinno sering sakit-sakitan. Akhirnya ayah membawa Vinno ke rumah sakit, dokter bilang Vinno terkena penyakit kanker darah, Leukemia. Penyakit itu sudah lama dideritanya. Setelah lulus SMA, dia harus melanjutkan perguruan tinggi di New York. Satu tahun Vinno tinggal di sana. Karena ayah khawatir penyakit itu kambuh lagi, terpaksa ayah bawa dia kembali ke Indonesia untuk melanjutkan kuliahnya di Jakarta, UBM(Universitas Bunda Mulia). Ayah tidak ingin hal yang fatal terjadi. Setelah itu Vinno tidak pernah tunjukkan tawanya lagi pada keluarga. Dia tidak pernah bangkit dari kehidupannya, seakan dia sudah menyerah. Tapi ayah perhatikan setelah bertemu dan kenal kamu Lia, Vinno banyak bicara dan bercerita tentang kamu. Itu yang membuat ayah bangga.”
Tidak mampu aku mendengar semua ini, aku tidak sanggup melihatnya, Vinno terbaring lemas seperti mayat hidup. Wanita mana yang sanggup melihat bila sang pujaan hati lumpuh dan terbaring lemas seperti tidak bernyawa. Ya Tuhan, aku sangat mencintainya, jika memang Vinno sembuh, berikan petunjukmu, aku tidak tahu kapan Vinno sembuh dari penyakitnya. Hatiku bagaikan petasan yang hendak meledak, tidak tahu harus bersikap apa. Aku hanya bisa diam dan merenungi hal ini. Kenapa nasibku seperti ini? Jalan yang aku tempuh begitu runcing, bagaikan laut yang luas yang harus aku seberangi. Ayah melihat seakan penuh belas kasihan, ayah tidak berhenti berkata, “Bersabarlah, kuatkan hatimu! Ayah titip Vinno padamu Lia, jagalah dia supaya dia sembuh.” Vinno belum juga sadar dari komanya. Sampai kapan dia harus dirawat di rumah sakit? Operasi yang kedua yang dia jalani hasilnya negatif. Penyakit itu tidak bisa sembuh, suatu saat akan kambuh lagi kata dokter. Tidak ada jalan lain untuk menyembuhkannya, hanya bisa dicegah dengan obat. Setiap bulan Vinno terpaksa cuci darah, semakin hari penyakit itu semakin menggerogoti tubuh Vinno. Semakin lama Vinno semakin kurus, seakan tawa yang dimiliki Vinno sudah tidak ada lagi. Semangat Vinno sudah patah, ia jarang tersenyum dan menemuiku. Apa dia membenciku? Aku bertanya padanya, “Apakah salahku padamu selama ini, Vin? Mengapa kamu tidak mau aku temui?” “Aku takut Lia, aku takut akan menyakitimu. Kalau aku pergi nanti, aku pasti akan membuatmu menangis, lebih baik kamu tinggalkan aku sekarang, sebelum aku pergi meninggalkanmu,” itulah jawaban Vinno untukku. ”Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Dulu kamu mempertahankan cinta kita, kenapa sekarang kamu menyerah? Apa yang kamu takutkan? Aku mencintai kamu, Vinno, apapun yang terjadi aku akan tetap tegar untuk menjaga cinta kita.”
Singkat cerita, operasi yang kedua kali ini tidak membawakan hasil. Berobat ke Singapura pun sudah tidak bisa menyembuhkan penyakitnya. Penyakit yang dideritanya semakin memburuk. Hari itu adalah hari terakhir yang aku lewati bersamanya. Tanganku menggenggamnya dan tidak ingin aku lepaskan. Saat itu aku melihat tawa Vinno, dia pun menatapku dan berkata, “I will always love you, would you like to be my honey?” sambil mencium keningku, lalu menghapus air mataku. Lambaian tangannya yang seakan untuk yang terakhir. Kasur roda yang ditempatinya perlahan-lahan memasuki ruang operasi, dan ini adalah operasi yang ketiga kalinya. Aku berdoa semoga operasi ini bisa membuatnya sembuh. Aku dan ayah tidak berhenti berdoa supaya Vinno bisa menghadapi ini. Setelah 2-3 jam kami menunggu hasil operasi, dokter keluar dari ruangan dengan wajah kecewa dan kelihatan capek, juga lelah. “Lia,” dokter memanggil dan menyebut namaku. Aku pun kaget dan bertanya kembali, “Iya, saya Lia,” jawabku. Lalu dokter memegang pundakku, “Tabahkan hatimu dan jangan menangis, relakan dia pergi. Vinno telah meninggal dunia,” jawab dokter. Tubuhku terasa lemas dan gemetar. Aku lari dan masuk ke ruangan dimana Vinno berada. Aku melihat selimut sudah menutupi tubuhnya. Air mataku tidak bisa aku hentikan. Mengapa Vinno harus pergi secepat ini? Tidak sanggup aku melihatnya, orang yang selama ini bersamaku, mencintaiku, dan memberikan aku kebahagiaan, kini dia harus meninggalkan aku. Vinno sudah tidak ada. Vinno sudah meninggalkan semua ini dan Vinno sudah meninggalkan aku dan cintaku. Bagaimanakah perasaanku? Wanita manapun yang ditinggalkan orang yang dicintai, apakah mereka merasakan hal yang sama sepertiku?
Mataku harus melihat batu nisan yang terukir nama Vinno, wajah ganteng berkulit putih dan mata sipit itu kini tidak bisa aku lihat. Tawa dan celotehannya kini tidak mampu aku dengar. Sentuhan dan pelukan hangatnya kini tidak dapat aku rasakan. Semua pergi melayang jauh… meninggalkan raga, jiwa dan cintaku. Langkah kakiku untuk beranjak pergi meninggalkan tanah pemakaman itu terasa berat. Tidak sanggup aku terima kenyataan ini. Apakah aku bisa bahagia setelah ditinggal Vinno? Ya Tuhan, orang yang benar-benar aku cintai kini telah kembali kepadaMu. Mungkin ini adalah jalan takdirku. Semoga Engkau selalu melindunginya, terimalah dia disisiMu.
Kisah yang pahit ini derita yang aku jalani, semoga ada hikmahnya. Perih, luka, duka, pedih, dan sengsara tertumpuk menjadi satu. Aku jalani hidup yang baru di negeri Formosa, tertetaplah aku di sebuah kota yaitu Pingtung. Disinilah aku bertahan, dan jam kosong kerjaku aku habiskan untuk berdoa. Bila tengah malam aku membaca Al Quran, akan aku iringi doa agar tertuntunlah roh Vinno ke pintu surga.
Ya Tuhan… tegarkan hatiku, semoga Engkau selalu melindungiku dan orang yang aku cintai. Selamat tinggal cinta, kenangan, dan Vinno. I love you Vinno, I will always love you.