Ketika keinginan kita terbentur pada sesuatu yang mampu membuat harapan itu lepas dan tak ada lagi jalan bagi kita untuk merengkuhnya kembali,
tetaplah berpikir jernih, menimbang keinginan yang terhambat itu dari segi positif.
Mungkin… ada hikmah besar yang akan Tuhan anugerahkan untuk kita nanti.
Apabila masih ada jalan bagi kita untuk merengkuh mimpi, tetap telusuri ruang itu, meski sesempit dan sesulit apapun! Yakinlah akan ada banyak jalan bagi orang yang memiliki tekad, juga berkemauan keras, dan menjalankan segalanya dengan ikhlas. Lalu memasrahkan hasil akhirnya kepada satu-satunya Pemilik Semesta.
Kawan…. ingatlah pada satu hal: Tuhan menciptakan kesulitan, tapi sekaligus membukakan jalan keluar. Tuhan tahu apa yang kita lakukan dan Dia ada bersama orang-orang yang tetap sabar dan tawakkal…..
Tetap optimis menapaki hidup! Jadikan hari ini awal dari usaha-usaha kita dalam mewujudkan impian dan membangun masa depan…………………….
=============================================================
Awal kisahku adalah potret kepahitan dan kesusahan pada tempaan keras akan keinginan untuk bisa mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Meski ditengah-tengah perjuanganku aku harus menelan kenyataan pahit,diriku terhempas-
kan oleh keadaan yang tak kukehendaki hingga menorehkan segenggam luka,
kepedihan, juga sesal. Tapi aku patut bersyukur, hingga detik ini aku dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi dan mencintaiku seburuk apapun kisah yang tak sengaja telah ku ukir.
Aku, anak ketiga dari 5 bersaudara, hidup dalam keadaan yang serba terbatas tapi tak mematahkan semangat kami untuk selalu optimis menggapai cita-cita. Kenyataan yang terbentang didepanku adalah rimbunnya hutan pinus, lebatnya hutan jati, dan lengangnya hutan karet yang menambah rentang waktuku ke sekolah berdurasi 1,5jam. Itu pun masih harus melanjutkan rutenya dengan menggunakan angkutan umum. Praktis, tapi sangat menguras tenaga. Belum lagi perjalanan sepulang sekolah. Alternatif lain dan bukan opsi yang kutempuh adalah jalan kaki selama 3 jam . Waktu itu matahari belum menampakkan sinar lembutnya, hanya semburat kuning tua dari ujung timur. Aku dan dua kakakku menyisir jalan setapak diantara hutan –hutan tersebut dengan sepatu yang cuma dijinjing dan tangan kiri yang menyingsingkan rok agar tidak basah oleh embun pagi yang masih membasahi ilalang.
Kami berjalan cepat,saling mendahului agar lekas sampai pada jalan beraspal, tempat kami menunggu bis. Begitu melewati hutan karet yang nampak riuh,
karena ada beberapa penyadap getah karet disitu, nampaklah jalur membentang warna hitam, jalan raya. Kami segera mencari sumber air untuk membasuh kaki dan memakai sepatu kembali. Beberapa pengguna jalan yang melintas dan melihat rombongan kecil kami keluar dari hutan,tampak keheranan.Terlebih lagi tempat dimana kami mangkal menungggu bis merupakan area bekas pembuangan mayat PETRUS (Penembakan Misterius pada jaman orba). Setelah itu kami, tiga gadis pemberani segera mencari jalur kendaraan yang kami inginkan, sebab kami tidak bersekolah pada tempat yang sama.
Menginjak tahun kedua, dua kakakku nge-kost. Tinggallah aku sendirian ketika berangkat sekolah. Ada ketakutan yang mengendap dalam perasaanku ketika melewati sebuah pohon beringin besar,yang konon ada‘penunggunya’. Atau seringkali kutemui babi hutan liar, bahkan suara-suara aneh didalam hutan. Terakhir, aku sering memergoki ada seorang laki-laki di tengah belantara. Akhirnya aku tahu laki-laki misterius itu adalah Pak mandor.
Ingin kumenjerit, bahkan berteriak, inikah salah satu perjuangan yang harus kutempuh demi sebuah impian? Menelusuri hutan sendirian, menempuh tiga jam perjalanan saat memutuskan berjalan kaki, dan bermain dengan segala ketegangan urat perasaan karena takut??? Akhirnya orangtuaku yang tak tega melihat riskannya medan yang harus kutempuh setiap hari bermufakat membelikanku sepeda butut.
Sejak saat itu,aku makin bersemangat mengarahkan kendaraan tak bermesinku,
melewati jalanan yang berbatu dan sering membuat ban sepedaku rusak/bocor.
Gelapnya warna hidupku…
Setahun kemudian, orangtuaku menyuruhku kost karena kakakku yang pertama sudah lulus dari bangku SMU. Sejak hari itu aku makin konsentrasi belajar,
dan tak heran, nilai pelajaranku selalu diatas rata-rata teman sekelas. Ditambah lagi
penguasaan ma-pel matematika dan fisika yang sangat kukuasai, aku makin disayang bapak/ibu guru. Dari situlah aku dan teman-teman kerap belajar kelompok yang seringnya diadakan ditempatku kost.
Suatu ketika, salah seorang temanku datang bersama ayahnya di kost-
kost-an. Ternyata ayah temanku ini menawariku untuk belajar bersama dirumah-
nya, tentu saja kuterima dengan tangan terbuka. Meski dalam hati menyembul sebaris tanya:”Bukankah anak orang terpandang, seorang camat ini mampu mendapatkan les privat dengan tentor terbaik? Tapi mengapa lebih memilih belajar bersamaku??
Ahhh, tak usah terlalu dipikir, buktinya sahabat baruku ini tidak mempermasalahkan grade sosial yang ada pada kami.
Persahabatan kami begitu tulus dan indah. Hingga tanpa terasa akupun berhasil lulus sekolah lanjutan pertama. Masalah mulai muncul ketika timbul ke-
inginan untuk melanjutkan ke sekolah tingkat atas. Darimana kami dapat uang??
Adikku mau masuk SMP, sedang kakakku mau PKL. Lalu akupun menghubungi kakakku yang lain di Jakarta. Niatku untuk bekerja apa saja, meskipun cuma sebagai buruh cuci. Walau sedikit , yang penting aku bisa mendapatkan uang untuk daftar ulang.
Akhirnya,seorang TNI , teman kakakku menjemputku dirumah.
Sebenarnya ayahku melarang, tapi aku nekat.demi sekolah, pikirku waktu itu. Padahal jika aku tahu berapa yang harus kubayar untuk biaya daftar ulang, seumur-umur takkan pernah aku mau ke Jakarta bersama laki-laki tegap dan berwibawa ini.Takkan pernah aku mau….!!
Kejadiannya,sungguh diluar perkiraan bocah tamatan SMP. Sore jam lima, kami berangkat menggunakan jasa kereta api. Sampai tujuan, subuh keesokan harinya. Lalu abdi negara itu mengajakku berputar-putar mencari alamat kakakku. Aneh, kenapa dia yang adalah teman kakakku merasa kesulitan menemukan
Rumahnya? Aku yang polos ini menurut saja. Tatkala pencarian kami berlangsung hingga larut malam dan tak membuahkan hasil, ia pun mengajakku beristirahat di sebuah penginapan.
Dalam kamar berukuran kecil, entah bagaimana awal peristiwanya,
seseorang yang kuanggap kakak, seseorang yang kuhormati karena statusnya yang berpangkat, ternyata…. tak lebih dari pada orang-orang yang tak bertanggungjawab diluaran sana. Ia telah dikendalikan oleh nafsu, dan aku jadi korban perbuatan tak terpujinya. Mahkota keperawananku terenggut paksa. Ahhhh…. Andaikan aku men-
dengar larangan ayah, mungkin aku tetaplah seorang gadis manis yang lugu, tanpa tekanan batin akibat sikap buruknya padaku. Sehari setelahnya,laki-laki tersebut membawaku langsung ke rumah kakakku tanpa pencarian terlebih dahulu, sedangkan kejadian itu tersimpan erat dalam karang hatiku. Tak seorangpun tahu…
Setelah waktu 30 hari mencari tambahan uang, akupun kembali kekampung. Ketika aku ingin mendaftar sebagai siswa baru,ternyata masa pendaf-
tarannya tlah ditutup, namun berkat bantuan ayah sahabatku yang menjabat sebagai pejabat negara, akupun bisa diterima disebuah SMU swasta. Kekhawatiranku adalah khawatir kalau aku hamil. Tapi itu tidak terbukti. Malah mulai dari kelas 1 pada semester dua, aku mendapatkan beasiswa penuh hingga kelas 3. Alhamdulillah….
Saat kelas 2, aku terpilih menjadi ketua OSIS. Menggantikan ketua OSIS lama, yang juga komandan PASKIBRAKA yang mirip Orlando Bloom, dan yang ternyata menjadi seseorang yang sangat berarti dalam hidupku dikemudian hari.
Dia pula yang mencuri perhatianku sejak aku terdaftar sebagai siswa baru disekolah ini. Akh,laki-laki ini ’menembakku’ didepan teman-teman, di Pantai Karangnini. Sejak saat itu,kami resmi jadian.
Tiba waktu kelulusan,aku dan cowokku terpisah karena kesibukan. Ia mendaftar sebagai polisi di ibukota, dan aku sibuk menghadapi EBTANAS. Ketika kudengar ia gagal jadi polisi karena materi, aku mengadukan pedihku pada sahabatku.
Suatu ketika, teman yang ingin kutemui tak ada dirumah, hanya ayahnya saja.
Iseng-iseng, beliau bertanya akan rencanaku setelah lulus nanti dan mau kuliah dimana.Aku diam,”kuliah biayanya mahal,” kataku singkat. Bapak yang terhormat ini
dengan bahasanya yang halus berkata sanggup membiayai seluruh biayaku nanti asal aku bersedia membantunya. Aku yang mengejar pertanyaan tentang tawarannya,
akhirnya harus menepis kebaikan semu pria berdasi ini. Pria ini memaksaku menonton film BF yang diputar tak lebih tiga menit karena aku buru-buru memejamkan mata dan beristighfar terus menerus. Lalu ia memintaku agar bersedia menjadi isteri simpanannya tanpa rasa bersalah sedikitpun! Betapa terkejut dan marahnya aku. Jelas sekali aku menolak. Mulailah aku tak memiliki rasa hormat sedikitpun pada pria ini. Dan kemudian aku tak pernah lagi menemui sahabat baik
- Putuslah pertemanan kami tanpa ada yang mengerti apa penyebabnya hingga kutak mau lagi menyambangi Apdiani Puruhita, sahabatku.
Pada suatu ketika,sepulang sekolah,ibu pemilik kost,mengenalkanku seorang TNI A-U bernama Dian Iriansyah. Ia keponakan dari seorang yang datang dari Medan dan ditugaskan di Juanda-Surabaya. Pertemuan pertama kami membuahkan banyak ‘salam’dari Dian untukku, namun tak kutanggapi serius, karena dalam hatiku aku masih menanti seseorang yang mendaftar polisi itu. Beberapa bulan kemudian,aku lulus. Lagi-lagi karena masalah biaya, tak kulanjutkan kuliah. Akupun nekat mengadu nasib keluar negeri.
Cerita sedih mewarnai awal keberangkatanku. Di PT.aku kenal dengan mbak W, cewek bertampang lucu, berpenampilan tomboy, nampak dewasa dengan sikapnya yang ‘ngemong’. Dia seperti kakakku, kami saling berbagi kisah. Ia pun membelikan aku segala keperluan hidup seorang canaker di penampungan. Suatu hari aku sakit, ia pula yang merawatku hingga sembuh. Aku merasa berhutang budi padanya.
Suatu hari, mbak W merasa tidak enak badan,mengeluhkan kepalanya sakit, saking menderitanya hinggga mbak W terguling-guling. Kami teman- temannya bergegas memberikan pertolongan. Aku yang merasa ‘dekat’ menjaga mbak W saat ia tertidur malam itu. Siapa tahu saat terjaga ia butuh sesuatu dan aku bisa membantunya. Benar saja, dini hari ia terbangun, tapi tatapan matanya aneh. Hatiku menangkap sesuatu yang tak beres akan terjadi. Tak salah dugaanku, sejurus kemudian ia langsung ‘mencabuliku’. Aku berontak sesaat, namun rasa berhutang budi membuatku tak mampu menolak, membungkam ketidakmauan batinku. Semenjak itu mbak W menggilaiku. Tak ada yang bisa kuperbuat selain mengikuti permainan
nya. Boleh dibilang akupun menikmati asmara tak wajar ini. Sungguh, meski demikian disetiap hari, setiap waktu, aku disekap rasa berdosa.
Akhirnya, disela kesadaran nurani, kumenjerit penuh perasaan dari dasar hati, memohon ampun dan pertolongan-Nya.Ya Alloh, angkat hamba dari derita ini, pintaku tiada putus pada Illahi.
Dua bulan dalam kungkungan kelam,Tuhan mengabulkan doaku.Aku cepat diterbangkan ke negara tujuan.Seiring kepergianku mengadu nasib,sejak itu kami tak lagi berhubungan.Aku bersyukur dalam hati.Kiranya aku tak berlarut-larut dalam jalan kesesatan.
Rupanya aku memang ditakdirkan bertemu lagi dengan cowokku semasa SMU, sepucuk surat darinya datang. Terkabarkan keinginannya untuk serius denganku. Aku jujur pada keadaanku, dan dia yang telah mendengarkan masalaluku yang gelap, dengan segenap hati dan sepenuh jiwa mau menerimaku kembali. Setahun kembali dari Singapura kami tunangan. Dan sekembalinya aku merantau yang kedua kali meski belum finish kontrak, kami menikah. Beberapa tahun kemudian, deras kehidupan yang kami tempuh menuntun tekadku untuk berjuang lagi. Kali ini aku membaur pada klan orang-orang bermata sipit, Taiwan. Demi perbaikan perekonomian keluarga, demi dia yang paha kanannya tlah cacat akibat kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya, yang membuatnya keluar dari korp kepolisian. Dan teruntuk, laki-laki yang memberiku seorang buah hati yang cantik, yang juga suamiku mantan polisi itu yang kini slalu kurindu………………..
Ohhhhh……Orlando’Purnomo’Bloom…!!!
&&&&&&&&&&&
Angin malam yang berhembus dingin menyapukan sebekas rindu tak tertahan untuk orang-orang yang sangat kucintai. Bingkai jendela kamar menyisakan sela untuk sinar purnama memancarkan cahayanya, membelai sepiku. Pada tempat dimana kugelayutkan wajah senduku, pada ruang dimana aku merenda mimpi. Aku terbenam mengenangmu, mendo’akanmu selalu, dan senantiasa berharap agar waktuku cepat berlalu.
Diceritakan kembali oleh Enno Salsa
.