Epilogue, Ina
Sesiang ini sepertinya aku harus kembali setia teronggok di sudut kelas. Masih dengan alasan yang sama; karena tak sanggup menjawab pertanyaan Laoshi. Puluhan pasang mata seakan mewakili komentar-komentar yang tak terucap. Tentangku. Dan itu makin membuyarkan secuil memori yang dengan susah payah telah aku kumpulkan.
Aku adalah gadis desa yang tumbuh di belantara Kota Jakarta. Bukan sebagai kaum metropolis, tapi sebagai pemulung! Jalanan di seputaran Tanah Abang sudah menjadi bagian dari hari-hariku. Aku menggantungkan nasib perut anakku disana. Kerasnya kehidupan membuatku mati rasa pada banyak hal. Seperti di tempat aku mendamparkan diri saat ini, sebuah penampungan pengerah tenaga kerja luar negeri. Segenap lara, gundah, penat dan mimpi yang tinggi kugantungkan di sini; diatas ranjang sempit yang berjejer, di ruang kelas yang panas dan pada bahasa yang aku eja satu-satu. Di sini tekadku tetap membulat meskipun kadang merasa tersisih karena aku sering kehabisan uang.
“Sudah?” aku menjawab dengan anggukan ragu. Hapalanku sebenarnya makin menguap bila harus berdiri di depan kelas. Dengan gamang aku melangkah ke hadapan Laoshi.
“Tidur, bahasa mandarinnya apa?”
“Xi zau,”
“Tidur kok si cau?” tukas Laoshi dengan nada tinggi. Hening aku benar-benar lupa.
“Tidur….?”
“Maaf Laoshi, saya lupa,” jawabku gugup.
“Push up sepuluh kali sambil ucapkan shui jiau!”
Menghafal satu kata dengan segenap tenaga. Akhirnya aku diperbolehkan duduk setelah berhasil menerjemahkan kata tidur. Setelah itu biasanya Laoshi akan menunjuk teman sekelas yang sudah mahir untuk mengajariku. Selebihnya aku belajar sendiri, pun pada malam hari di kamar, aku lebih banyak diam dan menyendiri. Aku menghindar dari mereka-mereka yang sudah pernah bekerja di Taiwan, mereka yang lebih suka berkelompok-kelompok terlihat cenderung glamor, selalu ceria dan tanpa beban. Tentu saja begitu, mereka punya banyak uang, segala masalah dengan mudah bisa diselesaikan. Menyendiri menjadi pilihan terbaik, toh merekapun mungkin tak mau mendekat dengan penampilanku yang seperti ini.
Hingga pada suatu sore, seorang wanita dengan raut muka teduh menghampiriku. Ia menawarkan makanan kepadaku. Ia begitu tenang dan terlihat seperti menata setiap tutur kata yang keluar dari bibirnya. Dessi namanya, ia menawari aku untuk belajar bersama bila aku mau. Tiba-tiba aku merasa tersentuh dan merasakan sebuah ketulusan, seakan telah lama sekali aku tidak merasakan kepeduliaan seperti ini. Sebongkah bahagia menelusup ke dalam hati. Entahlah, mungkin beginilah jadinya bila hatiku terlalu lama mati rasa.
~**~
Epilogue, Dessi
Melihat perempuan muda yang terlihat lebih tua dari umurnya itu, seperti melihat diriku enam tahun yang lalu. Dari wajahnya tersirat kecemasan, mungkin dengan suasana baru di penampungan, teman-teman dengan sifat yang berbeda, dan tentu saja bahasa yang baru saja ia kenal. Mandarin. Tak tega rasanya mendapatinya berdiri di depan kelas selama hampir satu jam, belum lagi tambahan hukuman berlari di luar kelas atau push up. Mataku sampai mengembun saat akhirnya ia bisa menghapalkan satu kata setelah push up berpuluh kali.
Sore itu, aku sengaja mendekatinya ketika melihat ia makan sendirian. Kubawa juga jatah makan soreku, lauk oseng terong dan tempe goreng rupanya sudah jadi bagian dari menu tetap di penampungan ini. Kusodorkan sambal teri yang kubekal dari rumah dua hari yang lalu untuk membuka perkenalan.
“Wah sambal! Boleh minta ya, Mbak?”
“Silahkan,” entah mengapa aku bahagia melihatnya tersenyum. “Namamu siapa?”
“Ina, kalau Mbak?”
“Dessi, aku dari Lampung,”
“Aku dari Cirebon Mbak, tapi lama di Jakarta. Mbak sudah pernah ke Taiwan ya?”
Aku mengangguk, lalu aku jelaskan kalau sekarang ini adalah keberangkatanku yang ketiga. Ina memandangku dengan pandangan yang sulit kuterjemahkan, tapi aku tak ambil peduli, yang penting aku sudah mengenalnya dan besok aku sudah punya jalan untuk lebih dekat agar aku bisa berbuat sesuatu untuknya.
Pagi yang cerah. Mulai hari ini aku duduk satu meja dengan Ina. Belajar satu demi satu bahasa mandarin, aku sengaja memilih kalimat-kalimat yang sering diucapkan di Taiwan. Ternyata Ina lebih tertarik belajar kalimat, hanya setengah hari saja ia sudah hafal dan paham lima kalimat panjang. Aura cemas sudah mulai hilang dari wajahnya, berganti dengan pancaran semangat. Aku senang sekali bisa melihatnya tersenyum.
~**~
“Terimakasih ya, Mbak,” ucap Ina pada suatu sore seusai kelas.
“Untuk?”
“Karena Mbak, aku jadi nggak sendiri lagi,”
“Aku nggak melakukan apa-apa kok,” seraya kuraih tangannya.
“Kita sholat dulu yuk.”
~**~
Satu bulan berlalu sudah, keberangkatanku hanya tinggal menghitung hari. Ina terlihat murung, seperti ada beban berat yang tengah ditanggungnya yang ia sembunyikan dariku. Ah! Betapa aku akan merasa sangat kehilangan Ina. Sebab darinya aku banyak belajar tentang rasa syukur. Betapa Tuhan telah melimpahkan rizki untukku lebih dari yang lain, dan aku merasa bahagia bila saat ini bisa berbuat sesuatu untuk orang lain. Ina.
“Kalau kamu sudah sampai di Taiwan, aku pasti akan mencarimu In,” ucapku menghibur.
“Jangan sedih ya…”
“Atau tidak sama sekali?” Sebuah tanya yang penuh tanda tanya.
“Kenapa…?” kulihat bulir bening menggantung di matanya.
“Anakku, anakku sakit, Mbak. Sponsor bilang saat ini anakku sedang di rawat di klinik.” dan kali ini bulir-bulir itu benar terjatuh.
“Lalu…?”
“Aku bingung,” ucapnya seraya mendesah panjang, seakan berusaha melepaskan beban yang begitu berat.
“Ikuti kata hatimu In,” kugenggam tangannya.
“Aku tahu kamu bisa mengambil keputusan terbaik untuk anakmu.”
~**~
Penampungan masih diam, lelah telah membuai seluruh penghuninya dalam tidur yang lelap. Hanya aku dan Ina yang terbangun lebih awal. Ia memintaku untuk menemaninya merapikan baju-baju kumal dalam tas yang sudah hampir lusuh. Keputusannya sudah bulat. Ina akan pulang. Sebab buah hatinya lebih berharga ketimbang mimpinya menjadi TKW di Taiwan.
“Hati-hati In.” kusisipkan beberapa lembar ratusan ribu di sakunya.
“Bukan untukmu, tapi untuk anakmu,” sergahku ketika Ina memasang wajah menolak.
“Terima kasih Mbak.” Ina memelukku erat sekali.
Sepenuh doa untukmu, sahabat…
Itulah barangkali pelukan terakhir yang bisa menghangatkan kedekatan kami selama ini. Sebelum akhirnya sponsor membawa Ina pergi dari balik pintu gerbang penampungan.
Aku tahu menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita bukanlah pilihan yang Ina inginkan, termasuk aku. Atau kalian yang kebetulan membaca kisah ini. Tapi inilah tawaran hidup. Berencana hanya milik kita, tetap Tuhan yang punya kuasa.
~***~