Foto ilustrasi diambil dari uk.pinterest.com.
Sebuah kebahagiaan? Mungkin itu yang dicari setiap wanita di seluruh muka bumi. Seperti halnya aku, wanita desa yang terbiasa dengan liku kehidupan pahit. Namun, aku tak pernah mau berprasangka buruk pada Tuhan, meski kebahagiaan masih jauh dari cerita hidupku. Bila saja nasib tak mencibir dan menertawakan keluargaku, mungkin aku takkan pernah pergi sejauh ini.
Aku sosok gadis tegar dan dimanja oleh kedua orang tuaku, itulah aku dulu. Walau aku anak pertama diantara 3 saudaraku, namun kasih sayang ayah kurasa begitu melebihi dalamnya lautan.
Cerita hidupku berubah 180 derajat ketika aku harus melepas sekolahku hanya sampai tingkat pendidikan SMP. Kuniatkan untuk pergi bekerja, tujuan Hongkong adalah pilihan tertepat bagiku saat itu.
Hampir tiga tahun lamanya aku bekerja di negara beton itu, hasil dari upah kerja selalu aku kirim untuk kedua orang tua. Bahkan untuk membiayai ketiga adikku yang masih menuntut ilmu. Keberhasilan dari Hongkong memang tak seberapa, tapi bagiku tak cukup dengan tabungan yang pas-pasan.
Tahun 1999-2004 masa kerjaku, hingga aku pulang ke tanah air berniat untuk menikah. Saat itu, ada pria yang berniat melamarku, hingga cinta pun bersambut. Aku menikah dengannya, tentu dengan pilihanku sendiri. Restu dari orang tua pun kukantongi.
Awal tahun pernikahan, aku merasakan kebahagiaan bersama suamiku. Namun, entah mengapa perasaanku semakin tak karuan. Hal itu karena disebabkan perubahan yang begitu mencolok dari suamiku. Dia sama sekali tak mau bekerja, kesehariannya hanya di rumah, makan dan tidur saja.
Aku tak mau banyak menuntut apapun darinya, keburukan sifat dan sikapnya sebisa mungkin aku sembunyikan dari kedua orangtuaku. Bahkan aku harus sebisanya bersikap manis dihadapan mereka, selalu mengatakan kalau keluargaku bahagia. Kenyataannya, hanya aku yang selalu membanting tulang untuk kebutuhan keluargaku sendiri.
“Apakah selama ini kamu bahagia dengan kehidupan rumah tanggamu, Nduk?” tanya ibuku dengan menyerahkan sekarung beras hasil panennya.
“Tentu. Aku bahagia dengan pernikahan ini, Ibu tenang saja dan jangan berpikiran macam-macam ya?” jawabku berusaha menutupi segala guratan sedih yang aku rasakan dihati.
Hari berlalu, waktu pun menjawab semua kebohonganku menjadi kecemasan orang tuaku, termasuk ayah. Beliau berusaha menanyakan apa yang terjadi sebenarnya. Namun aku tak mampu berkata dan hanya tetesan air mata yang membasahi pundaknya.
Sulit rasanya menebar benih kesedihan ini untuk ayah dengar dan rasakan. Tanpa kata pun, kutahu kalau ayah merasakan apa yang sedang kualami saat itu juga.
Kebutuhan ekonomi yang tinggi semakin membuatku bingung, maka dengan persetujuan suami dan kedua orang tuaku, aku kembali bekerja ke Hongkong. Ada niat untukku mengumpulkan hasil uang itu demi masa depan nanti, setidaknya bisa membangun rumah. Melihat pengorbananku, ayah dan ibu masih tetap memberi dorongan dan semangat, walau aku sendiri tahu jika selama ini tak pernah menegur atau mempermasalahkan tentang kelakuan suamiku yang hanya makan dan tidur.
Aku mungkin harus banyak mengalah dan menyadari apa yang selama ini jadi beban hidupku. Aku tak ingin rumah tangga ini kandas di tengah jalan, apapun akan kulakukan asal kami bersama.
Dua tahun waktu berlalu, aku sudah wujudkan hasil impianku membangun rumah. Rumah sederhana tak begitu mewah, bagiku cukup bisa kutempati saja sudah syukur tak terkira. Kepulangan aku dari Hongkong disambut gembira oleh kedua orang tuaku.
“Nduk, walau kamu bersusah payah di negeri orang. Kami sebagai orang tuamu berharap hasil yang kau raih bisa membawa manfaat tersendiri buat keluargamu nanti.” pesan ayah padaku.
“Lalu, apakah suamiku juga memberi hasil kerjanya untuk kalian?” tanyaku penasaran.
“Oh, soal itu kami tak mau mengharapkan. Toh suamimu selama dua tahun sepekan ini juga tak tetap pekerjaannya, justru banyak menganggurnya.” terang ayah. Seketika dadaku sesak, nafasku bagai tersumbat benda keras, aku sungguh tak bisa mempercayainya.
Bagaimanapun juga aku tak bisa dan tak mau menyudutkan suamiku. Apapun yang ia mau, selalu aku turuti sesuai kehendaknya. Tanpa aku duga, Allah SWT merencanakan sesuatu yang lain. Aku mendapati hasil periksa dari dokter bahwa aku hamil. Bahagia memang jika Tuhan memberikan buah hati untukku dan suamiku.
Sungguh, tiada aku harap sebelumnya ketika semua impian aku kandas saat kehamilanku membesar. Bagaimana tidak? Ketika aku mendapati seorang wanita juga tengah hamil tua mengaku bahwa suamiku adalah ayah dari anak yang dikandungnya. Kabar yang membuatku bagai disambar petir di siang bolong.
Raut wajahku menjadi merah, cemas, bingung dan hanya butiran bening tak tertahan telah menetesi buncitnya perutku.
“Ujian apalagi ini Ya Alloh? Sudah banyak kesedihan yang menimpaku. Kali ini engkau berikan lagi kenyataan terpahit dalam hidupku.” rintihku seketika mendengar langsung pengakuan wanita yang bertamu dirumahku.
Bukan hanya secangkir jamu pahit, tapi justru empedu itu menambah lagi kenyataan semakin sakit. Tatkala suamiku mengaku bahwa dia berselingkuh. Bahkan, wanita itu meminta pertanggungjawaban suamiku, memintaku untuk melepas dan menceraikan juga.
Sungguh kenyataan yang menjadikanku stress saat itu. Ingin bercerai tapi bagaimana nasib kandunganku? Ingin aku bertahan, tapi apakah aku sanggup untuk dimadu? Aku bingung, sedih dan pasrah.
Secara diam-diam pun aku mencoba mengikhlaskan hasil tabunganku untuk membantu biaya pengobatan dan kelahiran wanita itu. Aku mentransfer uang ke rekeningnya, berharap dia bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya, juga anak suamiku. Niat baikku itu pun dia terima. Aku sanggup, apapun aku sanggupi bila keterpurukan ini adalah ujian terindah dalam hidupku, aku selalu tetap bersemangat menjalaninya. Harapanku, aku tidak bercerai dari suamiku.
Entah apa yang dipikirkan oleh suamiku, komunikasi yang tak searah, pikiran tak sejalan, membuat hubungan ini berantakan. Tanpa perceraian atau sepatah kata pun, dia pergi begitu saja dari kehidupanku. Jangankan uang untuk berobatku, jatah makan pun tak ada, hari-hari pun kulalui sendiri. Hal itu terjadi hingga di usia 9 bulan kandunganku, sampai melahirkan bayi perempuanku. Kelahiran anak pertamaku tanpa ayahnya, betapa sakit rasa hati ini. Bagaikan lautan sedih, mungkin air mata ini takkan pernah kering untuk selamanya.
Semua aku jalani sendiri, merawat dan membesarkan anak semata wayangku. Didampingi ayah ibuku, mereka selalu tak henti menyemangati, melihat itu semua aku yakin dan percaya bahwa Allah memberi rencana indahnya. Aku selalu bersyukur dengan semua yang ada.
Keputusan untuk pergi ke Formosa (Taiwan) pun tiba-tiba terbesit olehku. Walau anakku butuh kasih sayang, namun aku tak harus terus menunggu sosok suamiku yang jelas-jelas sudah tak menghiraukan. Restu ayah ibu kali ini aku dapati, walau air mata dan doa selalu menyertai. Aku tekadkan untuk terus berlari mengejar impian dan harapan untuk masa depan anakku nanti. Maka ayah ibu kuserahi untuk mengasuh anakku.
Tiba di Taiwan, aku berharap menemukan bos yang baik dan pengertian. Tapi, nasib bercerita lain ketika jobku yang tertulis menjaga nenek itu tak sama dengan kenyataan. Pertama kali aku datang justru dihadapkan dengan pemandangan kolam pemancingan. Terletak di daerah Taoyuan, aku dipekerjakan tanpa imbalan semestinya, bahkan saat istirahat pun aku masih melakukan tugasku.
Kesabaran yang aku pertahankan sepertinya semakin membuat sikap bos lebih seenaknya memperlakukanku dengan tugas terbaru. Dari jam 5 pagi hingga jam 3 dini hari. Sungguh aku tak sanggup untuk menuruti kemauannya. Kerjaan semakin berat dan tenaga ini seperti diperas, diluar batas kemampuanku sebagai seorang perempuan. Bukan hanya membantu membereskan rumah, kolam ikan, bahkan memasak hasil pancingan mereka.
Suatu hari, aku mencoba memberanikan diri untuk meminta libur, tapi justru boss melarangku. Kata-kata kasar pun keluar hingga mengancamku, “Kamu kalau minta libur pasti aku pulangkan ke Indonesia. Ini bukan gurauan, ini sungguh.” begitu ungkapnya.
Dengan tekadku yang sudah tak bisa dibendung akhirnya aku izin liburan, sementara boss cuek. Namun, keesokan paginya boss benar-benar sudah menelepon agen untuk menjemputku. Tiket perjalanan pulang pun sudah disiapkan. Aku tak bisa berbuat apa, semua perintah itu aku turuti, hingga aku bagai sapi yang dicucuk batang hidungnya.
Hingga pada saat yang tepat, aku sudah diantar ke bandara, tike masukku sudah dirobek menuju pintu pesawat. Hanya pasrah dan menghela nafas, aku sama sekali tak bisa berkutik lagi. Tapi kenyataannya bercerita lain ketika seorang pramugari menyuruhku untuk keluar dari kursi pesawatku yang hampir saja berangkat. Aku mengira mungkin ada hal lain yang harus aku selesaikan.
Jantungku berdebar, mataku terbelalak, aku menjadi bingung. Perdebatan dua orang di luar pesawat menjadi perhatian banyak orang.
Ternyata pertolongan Allah datang pada saat yang tepat, orang yang membatalkan pemulanganku tak lain adalah pihak sebuah yayasan yang sebelumnnya pernah kuhubungi sebelum bossku menyuruh paksa aku pulang.
Pertolongan pihak dari sebuah yayasan mendengar pengaduanku sehari sebelumnya, mereka pun berniat menggagalkan pemulangan paksa dari bossku.
Akhirnya akupun tak jadi pulang, dibawa ke sebuah penampungan untuk menunggu proses ganti majikan yang baru.
Bantuan datang dengan harapan tak terduga. Hingga aku mendapatkan boss baru yang lebih baik dari sebelumnya. Sungguh, tak kusangka sebelumnya jika pihak yayasan membantuku. Meski sempat datang terlambat, namun akhirnya bisa membatalkan pemulanganku. Dibalik kesabaranku kali ini akan membawa diriku belajar dewasa dalam menyingkapi setiap masalah.
Inilah liku kehidupanku, demi membesarkan buah hatiku tercinta dan kesempatan kedua yang diberikan Tuhan terhadapku begitu berharga. Semangatku takkan terhenti sampai disini saja, masih banyak perjalanan dan ujian yang akan datang tentunya. Rasa yakin dan percayaku selalu ada, bahwa suatu hari Tuhan akan memberiku yang terbaik.
Bukankah seperti yang tertulis di ayat-Nya, bahwa: “Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada yang mengalahkanmu, tetapi jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapa yang dapat menolongmu setelah itu? Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (AlQuran, Surat Ali Imran: Ayat 160).
Tak ada rasa syukur dan ucap “Alhamdulillah” pada Allah SWT, jika kesempatan itu masih diberikan kepadaku. Apapun yang Allah beri, senantiasa membuatku selalu berprasangka baik pada-Nya. Bukankah Allah Maha Pengasih dan Penyayang pada umat-Nya.
Diceritakan kembali oleh Jay Wijayanti.