Teman, perkenalkan namaku Santi. Aku seorang ibu muda berusia 25 tahun. Aku berasal dari sebuah kecamatan kecil di NTT.
Pagi ini, saat aku berkisah tentang sepenggal jalan hidup yang pernah aku kecapi, adalah pagi terakhir aku di sini, di tempat ini. Ya, ini adalah hari terakhir aku menghirup udara Formosa. Negara yang mencipta begitu banyak romansa bagiku.
Teman, ini adalah penghujung kontrak kerja yang telah aku tanda tangani. Sebenarnya, setahun yang lalu, aku sudah sempat berpikir untuk tidak melanjutkan kontrak kerja ini. Pulang ke tanah air dan mengurus putri tunggalku, Syahda. Namun, setelah begitu banyak malam aku lalui dengan memohon petunjuk kepada-Nya, akhirnya aku bertekad untuk terus melanjutkan sisa kontrakku hingga selesai.
Syahda, putri kecilku, cahaya hatiku, baru berusia tiga tahun saat aku tinggal. Merantau ke Taiwan sebenarnya bukan pilihan bagiku, jujur, aku lebih senang di rumah membesarkan buah hatiku. Namun, saat itu aku harus memutuskan, dan keputusan terakhir adalah aku ikut berangkat ke Taiwan bersama suamiku, Ruhdi.
Bagi Ruhdi, ini adalah kali ke-dua baginya mengais rezeki di negara ini. Ruhdi pulang ke rumah saat usia Syahda genap dua setengah tahun. Uang jerih payah Suamiku itu sebagian besar sudah habis untuk membayar hutang, sebagian lagi kami gunakan untuk membangun rumah. Karena hal itu pula, Ruhdi bersikeras untuk kembali lagi ke Taiwan. Selain dengan alasan untuk mencari modal, rumah kami pun belum sepenuhnya jadi. Melihat kenyataan yang ada, dengan berat hati aku mengijinkan ayah dari anakku tersebut untuk kembali mengurus surat-surat yang diperlukan guna keberangkatannya.
Semenjak kepulangan Ruhdi, aku memang sudah sedikit tidak berkenan dengan perubahan sikapnya, namun aku hanya diam saja. Aku menganggap bahwa itu hanya karena pengaruh lingkungan ketika dia berada di Taiwan saja. Sebelum ke Taiwan, suamiku itu adalah orang yang begitu terbuka, tentang semua hal. Namun ketika dia pulang dari Taiwan, sepertinya banyak sekali hal yang ditutupi dariku. Bahkan untuk sekedar membuka ponselnya saja aku tidak diijinkan. Aku megalah dan diam. Saat itu aku tidak berpikir apa-apa.
Namun semua berubah, ketika suatu siang, saat Ruhdi tengah pulas tertidur, aku beranikan diri untuk mencuri-curi membuka ponselnya. Dari situ lah awal mula kisah kelamku dimulai.
Ternyata, Ruhdi berhubungan dengan wanita lain selama di Taiwan, bahkan ketika sudah sampai rumah. Aku memaksa Ruhdi untuk menelopon wanita itu di depanku. Aku benar-benar marah, dan Ruhdi hanya bisa diam dan meminta maaf atas semua yang telah dilakukannya.
Hati istri mana yang menerima begitu saja kejadian seperti itu?
Aku memaksa untuk berbicara dengan wanita itu. Alangkah kagetnya aku, ketika wanita itu dengan tanpa dosa mengatakan bahwa Ruhdi adalah kekasihnya, dia juga mengatakan bahwa Ruhdi itu masih lajang.
Semenjak saat itu aku menyita ponsel Ruhdi, memberi pilihan padanya antara aku dan wanita itu. Aku pun luluh juga, karena bagaimanapun dia adalah ayah dari anakku.
Proses keberangkatan Ruhdi tidak bisa digagalkan, karena itu sama artinya akan kehilangan uang yang cukup besar. Akhirnya aku membuat keputusan; aku ikut bekerja ke Taiwan atau merelakan uang proses yang sudah masuk PJTKI.
Awalnya Ruhdi keberatan dengan pilihan yang aku berikan. Setelah bertengkar selama beberapa hari, dia mengalah dan mengantarkan aku ke PJTKI.
bukannya aku sudah tidak percaya lagi dengan suamiku itu, aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa dengan rumah tanggaku. Syahda masih terlalu kecil, aku tidak tahu seperti apa jadinya kalau sampai terjadi apa-apa dengan keluarga kecilku ini. Untuk alasan itu lah aku memutuskan untuk ikut Ruhdi. Selain itu, dengan kami berdua sama-sama bekerja, aku berharap akan segera mendapat modal untuk selanjut bisa membuat usaha di rumah.
Bulan-bulan pertama di Taiwan, aku masih jarang berkomunikasi dengan Ruhdi. Majikan yang super ketat dalam aturan penyebabnya. Tapi dengan kinerja baikku, akhirnya majikan berubah perangai. Mulanya aku diijinkan untuk memakai ponsel, selanjutnya, sebulan sekali aku diijinkan untuk libur setiap hari minggu selama setengah hari.
Setiap kali aku libur, Ruhdi selalu menemuiku. Tidak jauh-jauh dari rumah majikanku, karena memang aku tidak tahu mana-mana tempat. Ruhdi pun tidak pernah mengajakku untuk sekedar jalan-jalan ke kota lain. Tapi aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku waktu itu.
Ketika kontrakku memasuki tahun ke-dua, Tuhan memberiku ujian yang begitu besar. Aku tidak menyangka sama sekali kalau Ruhdi tega melakukan hal itu kepadaku.
Minggu siang itu, di taman biasa kami bertemu, aku menunggu Ruhdi seperti biasanya. Ruhdi yang biasa datang sekitar pukul satu siang tiap kali menemuiku, hari itu dia baru datang ketika jarum jam tanganku menunjuk angka dua.
Bukan keterlambatannya yang membuatku murka, namun oleh-oleh yang dibawanya untukkulah yang membuat kalap.
Wanita yang dua tahun sebelumnya berbicara denganku di telepon, siang itu berdiri dengan manisnya di depanku. Di samping Ruhdi!
Dengan tanpa dosa, mereka meminta ijinku untuk menikah. Siang itu aku benar-benar bagai disambar petir di hari terik. Dunia terasa gelap bagiku saat itu. Tanpa kata aku pergi meninggalkan mereka.
Sujud-sujud lah yang menjadi tempatku berbagi cerita. Hanya pada-Nya aku bisa bercerita dan mohon petunjuk. Dua bulan aku dalam kebimbangan. Menimbang dan menelaah segala kejadian. Akhirnya aku mantap membuat keputusan. Aku memberikan ijin bagi mereka berdua, dengan syarat Ruhdi menceraikanku terlebih dulu.
Sejak saat itu, yang ada dalam hidupku hanyalah Syahda. Aku sudah merelakan Ruhdi bagi wanita itu. Biarlah semua rasa cintaku padanya aku tuangkan dalam kasih sayangku terhadap Syahda.
Teman, saat kalian membaca kisahku ini, pastinya aku sudah berada jauh dari Formosa. Doakan agar aku akan bisa bertahan dengan Syahda.
(Diceritakan kembali oleh PJA kepada JL, Taoyuan Internasional Airport)