Foto ilustrasi kyai gadungan diambil dari Madiun Pos.
39 tahun, ya kini usiaku sudah 39 tahun. 1 tahun sudah saya menikah dengan Mas Dimas. Kami dikaruniai 2 orang anak perempuan yang cantik dan cerdas. Bukannya sombong, aku memang tergolong pandai dalam mendidik anak. Sejak masih kecil, anak-anakku selalui menjadi bahan pujian setiap orang karena kepandaiannya. Tahun ini anakku yang besar masuk perguruan tinggi negeri di sebuah universitas di Surabaya melalui jalur PMDK jurusan sastra Inggris, aku bangga sekali. Sedangkan yang kecil sekarang kelas 3 SMP di SMP favorit di kotaku, dia juga berpredikat sebagai siswi teladan dan masuk ranking 3 besar disekolahnya.
Hanya mereka berdualah harta kami yang paling berharga. Merekalah aset hidup kami yang tidak bisa dibandingkan dengan harta apapun. Lalu, kemana hendak kupikul anak-anakku kini kalau bukan ke alam sejahtera. Mencari permata di balik kilauan kaca tidaklah mudah, tapi aku harus bisa mewujudkan cita-cita kedua anakku. Aku adalah ibu yang telah gagal dalam membangun kesejahteraan rumah tangga.
Pada mulanya aku dan Mas Dimas hidup bahagia dengan kedua anak kami, bahkan bisa dikatakan sejahtera. Keluarga kami adalah keluarga terpandang, bahkan Mas Dimas pernah menjabat sebagai Kepala Desa di desa kami. Mas Dimas orangnya supel dan ramah. Dia adalah petani yang tekun dan serba bisa. Segala macam bentuk kebahagiaan telah kami rasakan bersama. Keluarga kami adalah contoh keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Saat itu kami menjadi contoh teladan bagi orang-orang di sekitar kami.
Kehancuran rumah tanggaku berawal dari lembah kemusrikan. Ya Allah… Ampunilah dosa hambaMu ini! Pada awal tahun 2007 usaha kami menurun drastis, panen gagal, ternak terserang penyakit. Seorang teman memberi saran kepada kami agar kami minta tolong orang pintar, siapa tahu ada orang yang menyalahi usaha kami. Kami diperkenalkan dengan seorang kyai yang katanya mempunyai pondok pesantren. Orangnya kharismatik, pandai mensihati, dan tegas, sampai kami dibuat tak berdaya di hadapannya.
Apapun ucapannya dan berapapun kami mengeluarkan biaya, kami selalu nurut. Tidak jarang kami diajak ziarah keluar kota dengan mobil, makan dan akomodasi kami yang menanggung, padahal anak buahnya ada 7 orang. Kami benar-benar terperdaya oleh janji-janjinya. Sampai pada akhirnya kyai itu menyuruh kami menjual lahan kami satu-satunya, katanya untuk buang sebel., dan jangan khawatir, sebentar lagi akan terkembalikan senilai sepuluh kali lipat. Anehnya, kyai itu sendiri yang mencarikan pembeli dengan harga yang relatif murah.
Sawah sudah kami jual, hutang kami masih utuh. Katanya uang itu mau diritualkan terlebih dahulu. Dengan segala macam ubo rampe dari perlengkapan sholat yang serba baru, sampai minyak-minyak yang kami sendiri tak tahu, semua dimasukkan dalam peti yang ditaruh didalam kamar kami. Katanya uang itu nantinya tidak akan habis selamanya. Kami semakin mantap, apalagi kyai itu selalu ritual tidak makan, minum dikiran lama-lama didalamnya.
Kunci peti itu Mas Dimas yang bawa, kami belum boleh membukanya sebelum 100 hari, padahal kami sudah tidak mempunyai uang sama sekali, kami pinjam uang sana sini dengan bunga yang sangat tinggi. Hutang di bank sudah berbulan-bulan tidak kami angsur, ditambah lagi dengan hutang sana-sini dengan para rentenir. Pokoknya segala macam cara untuk mendapatkan pinjaman kami tempuh, tak peduli dengan resiko apapun. “Hutang nanti semua di lunasi setelah ini berhasil,” pikir kami.
Dalam kurun waktu 100 hari, hutang kami semakin menggila, tidak saja gali lubang tutup lubang, tapi juga untuk mencukupi segala kebutuhan kyai itu. Sungguh di luar akal sehat. Bayangkan! Aku dan Mas Dimas, orang yang berpendidikan dan tekun beribadah, bisa diperdaya dengan hal yang tidak masuk akal seperti ini.
Pada hari yang sudah dijanjikan, kyai itu tiba-tiba tidak bisa muncul, alasannya dia harus menolong orang lain dan tidak bisa diwakilkan. Kami masih percaya. Tunggu punya tunggu, sampai 2 bulan lamanya kyai itu belum juga selesai urusannya. Kami masih komunikasi lewat ponsel.
Kali ini kesabaran kami sudah habis, kami sudah benar-benar terdesak, dikejar sana-sini, berurusan dengan preman yang menagih hutang dengan cara yang lebih parah lagi dari pihak bank, mereka sudah mau melelang rumah kami karena sudah 6 bulan tidak mengangsur hutang.
Akhirnya tanpa seijin kyai itu aku dan suamiku membuka peti itu..Hah!Apa yang terjadi, seperti disambar petir! Seketika itu juga kami berdua gemetar, lemas, dan keringat dingin campur baur, tak ada kata yang terucap, tak karuan rasanya. Segala macam bentuk rasa berkecamuk di dalam dada. Di dalam peti itu tidak ada uang sepeserpun. Baru sadar kami benar-benar tertipu habis-habisan. Kenapa baru sadar! Bodohnya kami mungkin dengan dibukanya peti itu, terbuka pula kesadaran kami. Rasa dendam kesumat berkecamuk dalam dada. Ya sudah, Akhirnya kami sepakat untuk tidak menceritakan aib ini apapun yang terjadi. Lalu bagaimana dengan hutang-hutang kami? Rumah kami? Dan bagaimana dengan preman-preman itu?
Kami menjual mobil kami hanya untuk menutup satu hutang yang tadinya hanya 10 juta, hingga seharga satu mobil. Karena rentenir itu memberi bunga yang sangat tinggi, dan dengan teganya mengancam keselamatan kami. Kami pun jera, dan akhirnya mengikhlaskan mobil kami. Satu demi satu barang-barang di rumah kami habis. Aku malu pada semua orang, keluarga, saudara dan juga tetangga.
Dan yang lebih berat lagi kami harus bilang apa pada anak-anak kami. Sungguh kami dalam kesulitan yang tiada tara. Kami berusaha mencari keberadaan kyai itu. Dan ternyata semuanya bohong, di pondok pesantren itu tidak ada seorangpun yang mengenalnya. Lalu kemana dia dan juga semua orang-orang yang mengaku sebagai anak buahnya.
Kami sudah buntu, cape, dan kesal, rasanya seperti mau mati saja. Aku labil dan tidak bisa berpikir jernih meratapi nasibku yang seperti ini. Aku malu, malu sekali pada semua orang, aku nyaris seperti orang gila tidak berani keluar rumah, tidak memperdulikan apapun. Akhirnya orangtua dan saudara-saudaraku prihatin dengan keadaan dan kondisiku.
Subhanallah… meski kami tutup mulut untuk tidak mengatakan kejadian yang menimpa kami, keluargaku tetap mau menolong kami. Bodohnya mengapa aku begitu gengsi untuk menerima uluran tangan dari keluargaku. Aib telah menimpa keluarga kami, tapi entah apa yang ada dalam pikiran saudara-saudaraku hingga mereka bersepakat untuk bersama-sama membebaskan kami dari urusan hutang. Untuk sementara kedua anakku pulang ke rumah orangtuaku, sebelum masalah terselesaikan orangtuaku akan membayar biaya sekolah.
Rumah kami yang seharusnya akan dilelang oleh pihak bank, diambil alih oleh kakakku walau harus melalui proses balik nama. Hutang-hutang pada renternir, satu persatu diambil alih meski kami harus mengembalikan dalam batas waktu yang tak terhingga dan tanpa bunga.
Seketika kututup mata, menyelami hati, luka, duka, kecewa, gagal dan beribu derita yang begitu banyaknya. Serasa enggan membuka untuk menghadapi derita itu lagi. Kemana kakiku akan melangkah, bukan ingin lari, tapi ujian ini terlalu berat tak tertanggung, satu demi satu cobaan terus bertamu. Terasa memerlukan waktu untuk mengatur segalanya agar seperti sedia kala… Cobaan memang datang dan pergi tapi Tuhan tidak akan menguji lebih dari yang mampu kita tanggung. Tuhan telah memberiku keyakinan dan mengingatkan aku tentang apa yang harus dilupakan. Perlahan-lahan kubuka mata, ada kekuatan menyelinap dan sesak didada terasa berkurang. Ya Allah ampunkanlah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami… Amin.
Yach inilah keputusan terakhirku, bekerja menjadi BMI di bumi Formosa, hanya semata-mata untuk mewujudkan cita-cita buah hatiku. Ternyata tidak semudah dari yang aku bayangkan sebelumnya, melalui proses yang begitu melelahkan, belum lagi harus belajar bahasa di penampungan selama 5 bulan, mengingat usiaku tidak seperti anak muda lainnya yang dengan cepat menghafal dan menangkap semua pelajaran. Anak-anakku dan Mas Dimas selalu menyemangatiku disaat aku putus asa. Mei 2009 visaku turun dan aku bisa diterbangkan.
Pengalaman pertama menjadi BMI sungguh diluar bayanganku, apalagi sebelumnya aku belum pernah bekerja apalagi di luar negeri. Ya Tuhan, seperti inikah? Apakah aku bisa menjalani? Aku selalu memohon kekuatan kepada Tuhan setiap aku mendapat masalah, dari tidak mengerti bahasa, tidak bisa masak, sering sakit kepala, sering menangis, aku selalu dimarahi oleh agency, bahkan sering diancam akan dipulangkan. Berani, tenang dan optimis, dan juga sabar adalah modal saya, dan berusaha sebisa saya untuk bisa menjalani semuanya.
Ya Tuhan, semoga masalah-masalahku segera berlalu, aku sudah bertekad seberat apapun pekerjaan ini akan aku jalani, beri aku kekuatan ya Tuhan karena di negeri inilah tumpuhan dan harapanku satu-satunya cara untuk mewujudkan cita-citaku, dan karena ini adalah keputusan terakhirku… Wassallam..