Foto ilustrasi diambil dari reachtoteachrecruiting
Destiny, takdir, andai aku bisa melihat kejadian yang akan datang, niscaya aku akan waspada dan lebih hati-hati dalam mengambil keputusan. Aku menikah di usia yang tidak lagi muda (30 tahun). Aku mengenal suamiku ketika merantau di Taiwan. Di bulan ke-4 kehamilanku, suamiku sudah harus kembali ke Taiwan lagi. Suamiku bekerja di pabrik elektronik yang cukup ternama namun sayang gaji yang diterima tidaklah sebanding dengan ketenaran pabrik. Entahlah banyak potongan sana-sini meski sudah bekerja sampai tahun ke-3. Di pabrik tersebut banyak mengambil tenaga kerja dari Indonesia. Padahal sebelum keberangkatan rata-rata mereka sudah menyetor sebesar Rp. 30.000.000 jutaan ke PT. Dengan penghasilan suamiku hanya mampu untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Sulit bagi kami untuk menyisihkan uang untuk masa depan. Setelah anakku berumur 1 tahun, aku kuatkan hati meninggalkan buah hatiku untuk menyusul suami ke Taiwan.
Aku cukup lama berada di PT sekitar 5 bulan, karena aku sering cuti untuk menengok anakku. Jobku adalah menjaga balita dan bersih-bersih 3 rumah secara bergantian di daerah Changhua, Taiwan. Keberangkatanku diiringi isak tangis teman-teman PT, dan terlebih lagi tangisku sendiri. Rasa berat meninggalkan anak dan entahlah sepertinya aku sudah ada feeling kalau jobku tidak akan mudah. Setelah perjalanan yang melelahkan, akhirnya sampailah aku di rumah majikan. Atau lebih tepatnya rumah yang juga merangkap sebagai kantor dan pabrik. Ternyata majikanku adalah pemilik pabrik Jiang You (kecap). Aku tinggal di rumah Xiao Cie (anak laupan) yang sudah berkeluarga.
Xiao Cie memiliki 2 balita, titi 2 tahun dan mei-mei 5 bulan. Tapi tiap hari titi dan mei-mei dititipkan ke Playgroup, jadi aku bisa konsentrasi mengerjakan pekerjaan rumah. Rumah Xiao Cie terdiri dari 4 lantai dan aku hanya punya waktu 3 jam untuk membereskan segalanya. Aku bangun pukul 6 pagi dan langsung bersih-bersih hingga pukul 9 pagi.
Xiao Cie tinggal di rumah ibunya yang merangkap kantor. Mungkin karena tidak ada yang bersih-bersih rumah. Di hari pertama aku sulap rumah Xiao Cie yang tadinya berantakan jadi bersih dan rapi, Xiao Cie memujaku. Setelah membersihkan rumah, ada orang yang menjemputku dan aku dibawa ke rumah laoban yang merangkap kantor dan pabrik juga. Aku bersih-bersih di sana, mencuci pakaian yang jumlahnya banyak sekali. Karena, anggota keluarga mereka banyak. Tiap hari aku harus bertemu dengan orang banyak, keluarga majikan, orang-orang kantor dan pabrik. Jadi aku benar-benar dituntut untuk pandai-pandai membawa diri. Aku berusaha sesopan mungkin, selalu ramah dan tersenyum. Yang jelas tidak ada waktu untuk beristirahat.
Malam harinya aku kembali ke rumah Xiao Cie untuk bantu memandikan dan menyuapi titi, mei-mei, menjaga mereka hingga pukul 11 malam. Setelah beres, baru aku boleh istirahat. Setelah 2 minggu bekerja datang penerjemah dan orang agensi, katanya majikanku komplain kerjaku kurang memuaskan. Padahal tiap hari aku sudah bekerja semaksimal mungkin tanpa istirahat, karena memang tidak ada celah untuk istirahat.
Kata agensi, majikanku adalah bibi dia, jadi aku harus baik-baik kerja. Xiao Cie kadang baik suka ngajak ngobrol dan memberi nasihat tentang hidup berumahtangga. Apalagi aku selalu mengajari anak mereka Bahasa Inggris, Xiao Cie sangat senang. Tapi kadang kalau lagi marah bisa membuatku menangis.
Kedatanganku bertepatan dengan musim dingin di bulan Januari menjelang Guo Nian (Tahun Baru Chinese). Baru sebulan bekerja tanganku terasa ngilu sekali, terlebih di malam hari. Aku sampai menangis menahan rasa ngilu. Aku tidak berani bilang ke majikan, takutnya dikiranya aku manja. Di samping kedua tempat yang aku sebutkan di atas masih ada 1 rumah lagi yang harus aku bersihkan. Yaitu, rumah baru laoban yang belum jadi. Waktu pertama kali dibawa ke rumah itu aku melongo, rumahnya sebesar “Masjid Agung di Semarang.” Sungguh bukan aku mengada-ngada. Rumahnya besar dan halaman sangat luas. Aku taksir ada 1 hektar luasnya. Kalau aku disuruh membersihkan semuanya, seminggupun mungkin tidak akan selesai. Di dalam rumahnya ada lift. Kamarnya aku rasa lebih dari 20 kamar. Belum lagi ruang tamunya yang seperti lobby hotel. Betapa berat pekerjaanku aku tetap berusaha bertahan. Mengingat uang jaminan Rp. 3.000.000 juta yang sudah kusetor ke PT adalah hasil panen padi di kampungku.
Di bulan ke-2 aku mulai berterus terang kepada Xiao Cie bahwa suamiku juga bekerja di Taiwan dan aku berharap untuk bisa libur menemui suamiku. Di saat liburan Guo Nian (Tahun Baru Chinese) suamiku main ke Changhua dan aku meminta izin kepada majikan untuk menemuiku. Tapi, majikanku tidak memberiku izin libur. Aku hanya diperbolehkan menemui suamiku sebentar. Jadilah pertemuan kami di Stasiun Yunlin.
Melihat wajah suamiku hanya membuatku menangis. Kerinduan yang hampir 2 tahun kutahan tumpah dalam peluk dan tangis. Kami bertangis-tangisan sambil pelukan di stasiun, kata adikku seperti adegan sinetron tapi ini nyata. Kami hanya memiliki 10 menit untuk bertemu karena supir sudah menungguku. Di lain hari kuutarakan lagi keinginanku untuk libur dan tanpa kusangka majikan kali ini mengizinkan. Betapa gembira rasa hatiku. Secepatnya ku telepon suamiku untuk mengabarkan bahwa minggu depan aku boleh libur. Aku sudah mempersiapkan baju yang mau kupakai. Rencana kami mau ketemuan di Taichung, supaya tidak terlalu jauh. Hari Rabu pagi, aku bekerja seperti biasa, tiba-tiba salah satu anak laki-laki majikan memanggilku, “Yuni, khe yi, ma fan ni, xia lai, yi xia ma?” dengan bahasa yang begitu lembut tentu saja dengan senang hati aku bergegas turun. Sesampainya di ruang tamu kantor yang kujumpai adalah orang yang saat ini sangat tidak ingin aku jumpai yaitu agensi.
Tanpa basa-basi agensi menyuruhku berkemas, hari ini juga aku harus pulang ke Indonesia. Aku tanya apa salahku? Kata agensi majikanku tidak suka punya pembantu yang suaminya juga ada di Taiwan, merepotkan katanya. Petugas bertanya pada agensi, apa alasan memulangkan aku? Jawab agensi “Kung cuo bu hao.” Kata petugas meski Kung Cuo Bu Hao, kan masih bisa dibicarakan, apalagi aku juga tidak bersedia dipulangkan, aku minta ganti majikan, tapi tidak boleh. Akhirnya, setelah didesak agensi, aku mengangguk tanda setuju untuk dipulangkan. Selama 2 bulan kerja aku masih dapat sisa gaji sebesar 8.000 NT$. Setelah dipotong tiket. Setelah mendarat di Bandara Soekarno Hatta, aku langsung digiring ke Terminal 4 bersama ribuan BMI yang lain. Untuk naik ke Bus Damri saja, aku harus nunggu berjam-jam.
Tiba di PT orang kantor menyambutku dengan senyum. Aku juga heran kok nggak marah-marah ya? Ternyata PT tidak mau memproses aku lagi dan uang jaminanku hilang. Lengkap sudah kisah kegagalanku. Namun, aku tidak berkecil hati, aku selalu mengambil hikmah di setiap kejadian, setidaknya aku masih bisa melihat buah hatiku yang mulai bisa berjalan. Hanya 2 minggu di rumah aku masuk PT lagi. Aku yakin nasib buruk tidak akan selamanya ada di pihakku. Alhamdulillah hingga sekarang aku sudah 2 kali kontrak di majikan yang sama. Two Months In Changhua Was A Precious Moment In My Life, That Made Me Stronger. (Dua bulan di Changhua adalah momen paling berharga dalam hidupku, yang membuatku menjadi lebih kuat).