Foto ilustrasi diambil dari pinterest.
Dua bulan sudah tidak terasa seiring berjalannya waktu, aku berada di Negara Taiwan ini untuk bekerja di sebuah pabrik tepatnya di daerah Changhua. Pengalaman suka dan duka sudah aku rasakan, dan ini untuk pertama kalinya juga aku menginjakkan kaki di negara yang terkenal dengan sebutan Negara Formosa ini. Bulan ini juga meskipun hari ayah sudah berlalu, tapi tidak buatku untuk melupakan keberadaan ayahku yang begitu kusayangi dan begitu cepatnya pergi untuk menghadap rabbnya dan meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Meskipun ayahku sudah tidak ada lagi di dunia, aku harus mengucapkan selamat hari ayah, untukmu ayahku, selain dengan ucapan doa yang selalu kupanjatkan untuknya selepas aku menunaikan shalat 5 waktu. Sebut saja namaku Ahmad, bukan nama yang sebenarnya. Aku dulunya sebelum berada di Taiwan dan masih tinggal di Indonesia adalah seorang anak yang mempunyai kedua orang tua yang masih lengkap dan sehat. Meskipun kami tergolong keluarga yang kurang mampu dari segi ekonomi, namun kehidupan kami sangat bahagia. Ayahku semasa hidupnya adalah seorang petani, dan ibuku adalah ibu rumah tangga, sedangkan aku adalah anak satu-satunya mereka.
Aku juga masih ingat kata-kata ayahku sebelum beliau meninggal di masa itu yang dimana kami berdua sedang duduk-duduk di teras rumahku. Ayahku berkata, “Ahmad, kamu tahu tidak pendidikan itu sangat penting sekali, karena dengan berbekalan ilmu yang banyak, maka hidupmu tidak akan sia-sia, Nak. Dan Ayah tidak punya harta benda yang bisa Ayah wariskan untukmu selain ilmu. Itu saja yang Ayah sanggup berikan untukmu Nak. Kamu juga tahu kan gimana keadaan Ayahmu. Maka dari itu Ayah ingin memberikan pendidikan sebaik-baiknya untukmu dengan cara menyekolahkanmu sampai keperguruan tinggi.”
Aku juga selalu ingat pas ayahku lagi istirahat di gubuk yang ada di tengah-tengah sawah. Sewaktu aku mengantarkan makan siang untuk ayah yang dimasak oleh ibuku sendiri.
“Ahmad,”
“Iya Yah. Ada apa?” jawabku.
“Kamu juga harus terus melanjutkan pendidikanmu dan jangan malas untuk belajar ya, Nak. Karena Ayah ingin sekali melihatmu jadi anak yang sukses dengan menyandang gelar Sarjana Pendidikan Islam (SPDI). Subhanallaah… Betapa senangnya hati Ayah seandainya kamu benar-benar menjadi sarjana.”
“Iya Yah, Ahmad akan berusaha untuk mewujudkan impian Ayah dan Ahmad juga.”
Sambil ayah menepuk-nepuk pundakku, ayah berkata seperti itu, dan aku lihat mata ayah berkaca-kaca, sepertinya ayahku ingin menangis, dan aku pun terharu. Tidak terasa juga air mataku menetes di pipiku juga.
“Ayah,” sambil kupeluk dan aku berkata, “Terima kasih Ayah. Ahmad juga patut bersyukur dan bangga mempunyai orang tua seperti Ayah.” lalu kulihat Ayahku dengan lahapnya memakan makanan yang aku bawa tadi dan itu juga adalah masakan ibu sendiri.
“Ya sudah kalau begitu Ahmad pulang dulu ya Yah? Untuk pergi mengaji juga.”
“Oh iya Nak, hati-hati di jalan.”
“Iya Yah, Assalamualaikum,”
“Walaikumsalam Wr. Wb.”
Kemudian aku pun berjalan menyusuri jalan galengan yang ada di lereng pesawahan.
Setibanya di rumah, aku pun langsung membuka pintu dan tidak kulihat ibuku.
“Dimana ibu ya?” tapi belum sempat aku siapkan semuanya, kulihat ibuku menghampiriku, “Ahmad.”
“Iya Bu.”
“Kamu sudah pulang dari mengantar makan siang buat ayahmu di sawah tadi itu?”
“Ia Bu, semuanya baik-baik saja.”
“Oh ya sudah, syukurlah kalau begitu. Ibu juga mau ngelanjutin untuk jemur baju dulu yang baru saja selesai Ibu cuci di kali (sungai) tadi.”
“Oh iya Bu. Pantes saja sewaktu Ahmad sampai rumah, tidak melihat Ibu, rupanya masih di sungai.” Tiba-tiba terdengar suara bel sepeda ayah dari luar sana.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam Wr. Wb..” jawab ibu dan aku bersamaan.
“Baru pulang ya Yah?” sapa ibuku pada ayahku.
“Iya Bu,” jawab ayah.
“Hari ini Ayah cuma setengah hari saja disawahnya. Besok baru dilanjut lagi karena semua pohon padinya sudah diarit semuanya oleh Bapak yang dua kotak sawah kita itu Bu, dan besok baru mulai untuk disabet, diambil padinya.”
“Oh baiklah kalau begitu Yah,” jawab ibuku.
Setelah aku sudah selesai bersiap-siap untuk berangkat ke tempat guru ngajiku untuk mengaji, lalu aku berpamitan dulu dengan kedua orang tuaku.
“Ayah… Ibu… Ahmad berangkat dulu ya untuk ngaji.”
“Oh iya Nak. Hati-hati ya Nak.” kata ibuku.
“Assalamualaikum,”
“Walaikumsalam,” jawab ibu dan ayahku bersama-sama.
Kemudian aku ambil sepeda butut ayahku untuk kukendarai sebagai alat kendaraanku.
Ujian sekolah MTS (SMP) pun telah tiba. Aku pun bingung dan pusing sekali karena tinggal 1 hari lagi ujian itu tiba pada saatnya, sedangkan aku belum bayar uang persyaratan ujian dan uang dana untuk perpisahan nanti, dan uang itu jumlahnya ada Rp. 750.000,-. Kalau aku tidak membayarnya, maka aku tidak bisa ikut serta dalam ujian itu.
“Ya Allah… Haruskah aku bicara terus terang lagi dengan ayahku untuk meminta uang itu? Sedangkan ayahku baru saja uangnya untuk membayari hutang SPP sekolahku yang sudah 3 kali nunggak pembayarannya.”
Dan akhirnya aku terpaksa bicara terus terang walau dengan berat hati kepada ayahku.
“Ayah, maafkan Ahmad sebelumnya, karena sudah banyak merepotkan dan menyusahkan Ayah selama ini.”
“Loh.. loh.. loh.. kue ngomong opo to le.. le..? (Aduh-aduh kamu bicara apa toh nak?) Ini semua sudah menjadi tanggung jawab Ayah sebagai orang tuamu untuk mencari nafkah dan segalanya. Kamu mau bicara apa?”
“Enggak Yah… Ahmad mau.. mau.. mau minta uang Rp 750.000,- untuk bayar ujian dan dana iuran perpisahan juga.”
“Oo.. soal itu saja kok keberatan ngomongnya dengan Ayah? Ahmad… Ahmad,” kata ayahku.
“Baiklah.. jangan khawatir. Ayah akan segera usahakan sekarang juga, meskipun Ayah harus mencari utangan dulu dengan Pak Hj. Kodir. Enggak apa-apa demi anak ayah.”
“Terima kasih Ayah.”
“Ya Allah… sungguh aku bangga sekali mempunyai orang tua seperti ayahku ini. Budi dan jasamu akan aku balas dengan niatku untuk memberangkatkan ayah dan juga ibuku naik haji.”
Akhirnya aku sudah lulus ujian sekolah MTS (SMP) dengan nilai yang memuaskan. Kemudian aku pulang dengan senyum kegembiraan yang tiada tara.
“Assalamualaikum.. Yah Bu.”
“Walaikumsalam Wr. Wb,” jawab ayah dan ibuku.
“Ayah… Ibu… Alhamdullilah Ahmad lulus, dan ini coba dilihat nilainya,” sambil kusodorkan ijazah dan raportku kepada ayah dan ibu. Lalu mereka berdua tersenyum bangga kepadaku.
“Kamu cerdas juga ya Mad,” kata ibuku.
“Terima kasih Bu,”
Walaupun kami tergolong keluarga yang kurang mampu dari segi ekonomi, tapi buat ayahku kalau soal pendidikan itu nomor satu sangat penting untuk anaknya. Meskipun uangnya dapat ngutang kesana kemari, yang penting biaya sekolah anaknya terpenuhi.
“Ahmad, mari ikut Ayah ke pabrik penggilingan padi untuk menggiling padi.”
“Oh iya Yah,” lalu kudorong sepeda ayahku yang membawa muatan padi kering sebanyak 3 karung. Setelah semua padi sudah digiling dan sudah menjadi beras, kami pun menjual sebagian beras itu. Lalu uangnya untuk membayar hutang di Pak Hj. Kodir. Begitulah kehidupan kami sehari-harinya, hanya bisa gali lubang dan tutup lubang, seperti lagu dangdutnya Bang Hj. Rhoma Irama (gali lubang tutup lubang, punya uang bayar hutang).
Sesampainya di rumah dan di suatu malam, tiba-tiba ayahku terkena penyakit angin duduk. Singkatnya ayahku di pagi harinya meninggal dunia. Innalillahi Wainna illahi rajiuuun. Rasanya sulit sekali aku percaya kenyataan ini, kalau ayahku telah tiada begitu cepat dan singkatnya beliau pergi untuk meninggalkan kami selama-lamanya.
“Ayahhh… Hu..hu..hu..” aku terisak dan tanpa sadar aku menjerit histeris sambil aku ciumi wajah ayahku yang sudah terbujur kaku. Seusai pemakaman ayahku dan seiring bergulirnya waktu, kini tinggallah aku dan ibuku, tanpa ada sosok ayah disampingku sebagai pendorong dan penyemangat cita-citaku.
“Ayah… Maafkan Ahmad, karena Ahmad belum sempat untuk membahagiakan Ayah sebagai wujud dari membalas budi dan jasamu, tapi Ayah telah pergi untuk selamanya.”
Akhirnya aku meminta ijin kepada ibuku untuk merantau keluar negeri. Setelah 1 tahun sebelumnya, aku tinggal di rumah bersama ibuku untuk bekerja sebagai guru taman kanak-kanak (TK) dan guru Taman Pendidikan Alquran (TPA) dikampung rumahku sendiri guna menompang biaya kehidupan kami dan untuk membayari hutang-hutang ayahku yang belum lunas sampai sekarang ini juga. Kemudian dengan berat hati aku melangkahkan kakiku untuk pergi meningggalkan ibuku sendiri dengan ditemani bibiku, untuk menuju Negara Taiwan. Dengan tujuan untuk bekerja guna melunasi hutang ayahku dan membiayai kebutuhan ibuku. Disamping itu juga aku berniat untuk menaikkan haji buat ibuku agar beliau bahagia, dan semua yang aku lakukan sebagai wujud dari membalas jasa mereka orang tuaku yang tidak terhingga besarnya dan nilai jasa orang tuaku.
Begitulah jasa orang tua kita, sampai kapanpun dan dengan apapun tidak bisa terbalaskan sepenuhnya, maka dari itu berbuat baik dan berbaktilah kepada ibu bapak kita. Semoga saja cita-citaku yang mulia ini dapat terwujud menjadi nyata. Ibu… doakan anakmu selalu. Dan ayah… doaku selalu menyertaimu dan semoga ayah bahagia di alam fana dalam surganya. Amin Ya Rabbalalamiiin.
The End