Foto ilustrasi diambil dari Okezone.
Besok adalah hari kepulanganku ke Indonesia. Maka dari itu aku sibuk banget. Dari mempersiapkan oleh-oleh untuk keluarga, berbenah baju, dan belum lagi berurusan dengan agency untuk mengurusi uang pajak selama 3 tahun.
Malam hari akhirnya kembali menjelma, membuatku semakin tak sabar untuk berjumpa dengan keluarga. Mata ini sepertinya begitu memahami keresahan hati, hingga tak bisa kupejamkan. Segera kuambil handphone dan kutelepon kang Yanto.
“Kang, malam ini neng enggak bisa tidur karena begitu kangen dengan akang dan Deni. Oh iya kang, ibu dan bapak sedang apa?”
“Ibu dan bapak sudah tidur neng, Deni juga, karena tadi dia habis main sama teman-temannya, jadi dia sudah tidur. Neng yang sabar aja, jangan lupa banyak-banyak berdoa agar perjalanan nanti akan selamat sampai rumah. Dan ingat, harus hati-hati ya, jangan terlalu gegabah menghadapi para calo di bandara. Besok akang dan Deni akan menunggu kedatanganmu.”
Pesan dari kang Yanto membuat keresahan bisa kupadamkan hingga akupun tertidur.
Jam 8 pagi, agency datang menjemput dan mengantar aku ke bandara Taipei. Jadwal penerbangan ternyata jam 9:45. Di waktu sisa itu, aku kembali sms-an dengan suamiku.
Pesawat pun mendarat di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Dan aku melaju ke kampung halaman Tasik dengan menggunakan jasa travel yang sudah tersedia, karena saat itu masih tidak diperbolehkan untuk dijemput langsung oleh keluarga.
Lalu lintas Jakarta benar-benar membuat hatiku semakin gundah. Aku terjebak kemacetan sudah 2 jam, tapi lalu lintas belum juga lancar. Untuk menghilangkan rasa kesalku, aku berlarut dalam lantunan musik dan lagu dari MP3 di HP-ku.
Terasa panas sekali cuaca Jakarta. Polusi udara, suara klakson, dan kendaraan yang semrawutan membuat kepalaku pusing dan mual-mual ingin muntah. Lau tiba-tiba saja bumi ini bergoncang. Ya Tuhan, ternyata ada gempa, dan bersamaan itu pula bumi ini terguyur hujan deras, sehingga membuat hatiku terasa sedikit adem karena tiupan angin yang begitu menyejukkan. Hujanpun semakin deras, dan kemacetan semakin padat. Aku tak tahu apa penyebab kemacetan itu.
Begitu keluar dari tol Cikampek, aku segera mengabari kang yanto. Tapi tiba-tiba ada petir yang begitu keras suaranya. Hingga aku terkejut dan menjatuhkan HP-ku. Untungnya tidak sampai rusak, aku kembali mencoba menghubungi kang Yanto, Hp-nya tetap tidak bisa dihubungi. Aku pikir mungkin HP-ku bermasalah karena terjatuh tadi.
Mobil yang kutumpangi terus melaju, tapi aku belum juga bisa mengabari keluarga. Dengan terpaksa kupinjam HP temanku yang kebetulan duduk semobil denganku. Ternyata bukan HP-ku yang rusak, tapi memang nomor kang Yanto yang tidak bisa dihubungi. Hati ini mulai resah karena mobil sudah hampir sampai dan aku belum juga bisa mengabari keluarga.
Setibanya di bumi kelahiranku, Tasikmalaya, suasana begitu gelap gulita karena kebetulan sudah malam hari. Tapi yang membuatku tidak mengerti, mengapa tak ada satu lampu pun yang menerangi dan yang aku dengar hanyalah ratap tangis penduduk setempat. Semua itu benar-benar membuatku tidak mengerti. Lalu kulangkahkan kaki untuk mencari tempat kediamanku, tiba-tiba seorang petugas tim SAR melarangku untuk masuk lebih jauh, karena katanya sangat berbahaya. Akupun disarankan untuk tinggal sementara di sebuah tenda yang sudah dipersiapkan. Akupun lalu tertidur karena kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang dari tadi pagi.
Esok paginya, begitu kubuka mata ini, bagaikan ada sebuah cambuk yang menghantamku. Aku sangat terkejut dan tak percaya dengan apa yang kulihat di depan mata. Desaku, rumahku, semuanya sudah tidak berbentuk lagi. Yang ada hanyalah puing-puing longsoran dan mayat-mayat yang bergelimpangan. Ya Tuhan, mengapa gempa itu harus menghantam bumi kelahiranku? Tak kuperdulikan berapapun anggota tim SAR yang mencoba menghalangiku untuk mencari anggota keluargaku.
“Kang Yanto, neng pulang kang!!! Deni, ibumu sudah kembali nak!!!”
Jeritanku, tangisanku, tak bisa membuat mereka kembali dalam pelukanku. Tim SAR sudah berusaha untuk mencari keluargaku, tapi mereka tetap tidak ditemukan. Salah satu anggota tim SAR tersebut mengatakan kalau anggota keluargaku tertimbun di dalam longsoran itu.
“TIDAK!!! Ya Tuhan, mengapa semua ini harus terjadi padaku??”
Karena tak kuat memikul kenyataan, seketika itu juga aku terjatuh pingsan.
Kini semuanya sudah tiada, orang-orang yang kucintai, harta benda yang kuperjuangkan pun semuanya raib hanya dalam sekejap mata. Kini hidupku hanyalah sebatang kara dan tidak punya apa-apa. Selama 3 bulan aku mengalami guncangan jiwa dan terpasung dalam ketidaksadaran. Bahkan aku juga sudah tidak mengenali lagi siapa diriku ini sebenarnya, selama itu pula keadaanku semakin memprihatinkan.
Sampai suatu hari, Bupati Tasikmalaya membawaku ke sebuah pesantren Kuningan untuk dipertemukan dengan seorang ulama. Semenjak itu, aku mulai mendapat bimbingan darinya, hingga keadaanku perlahan-lahan mulai membaik kembali, dan akupun mulai bisa mengenali lagi jati diriku. Kini kuikhlaskan kepergian mereka, dan yang bisa kulakukan hanyalah mengirimkan doa-doa agar amal ibadah mereka bisa diterima di sisi Tuhan. Amin.