Apakah ini yang disebut garis keturunan? Ataukah karena kebesaran-Nya semata, hal serupa yang pernah menimpa ibuku, harus terjadi pula pada diriku? Setiap manusia, atau lebih khususnya wanita, bila telah terikat tali suci tentunya mendambakan perkawinan bahagia nan abadi, sekali seumur hidup. Dan pastinya perceraian tidak akan pernah terpikirkan, apalagi bila telah hadir sang buah hati yang membuat sebuah perkawinan terasa sempurna seindah pelangi.
Tak hanya satu dua cerita buruk tentang memiliki orang tua tiri. Kisah sang Cinderella yang menyayat hati karena kekejaman sang ibu tiri, telah terasakan pula oleh ibuku sendiri. Hari-hari yang ia jalani begitu sakit dan pedih, hingga membuatnya harus kehilangan masa muda yang manis dan berseri, yang semestinya ia jalani. Dari Singapura sampai Malaysia, masa perantauan telah ia mulai sejak usia belia. Sebagai seorang gadis remaja yang tengah beranjak dewasa, tentunya tak luput dari kisah cinta.
Begitu banyak lelaki berusaha mendapatkan cintanya, namun tak satupun yang menarik hatinya. Kegigihannya begitu kuat agar bisa membantu adik laki-lakinya bisa menamatkan sekolah, walau hanya sampai tingkat SMP tanpa bantuan dari orang tua. Akan tetapi, baja-baja dalam hatinya itu dapat luluh juga oleh kebaikan seseorang yang kemudian menjadi dambaan hatinya, di Jakarta.
Begitu terpesona ia oleh kharismanya, hingga seketika itu pula langsung mengikat hatinya. Setelah sekian lama menjalin asmara, kebahagiaannya bertambah ketika sang pujaan hati mengutarakan ingin memilikinya selamanya, “Aku percaya, inilah happy ending dari kisah Cinderella-ku,” batinnya senantiasa berkata begitu. Senyum berseri selalu terulas manis di bibirnya, menggantikan tetesan air mata yang dulu kerap mengisi hari-harinya. Senyum itu pun berganti tawa ceria saat diriku hadir melengkapi kebahagiaan mereka.
“Ma, bagaiman kalau si cantik nan mungil ini kita kasih nama cinta? Semoga dia bisa menjadi yang tercinta dimanapun kelak dia berada.” “Amin,” kata mama sambil tersenyum, memancarkan persetujuannya.
Hari berganti, bulan pun genap menjadi tahun. Saat aku tumbuh berkembang, aku melihat betapa sempurnanya kehidupan orang tuaku. Meskipun kadang aku hanya dapat melihat, serta bercanda dengan ayahku seminggu sekali, aku tetap bahagia. Namun seperti halnya pepatah berkata, “Tidak ada suatu apapun yang sempurna di dunia ini.”
Siapa sangka, di balik senyum dan tawa itu, ternyata ayahku telah memiliki keluarga, sebelum ia bertemu dengan ibuku. Ternyata aku mempunyai 5 orang kakak tanpa sepengetahuanku! Aku tak tahu, atau persisnya tak ingat apa reaksiku saat itu. Satu hal yang dapat kuingat adalah saat aku bertemu dengan ayahku bersama dengan kakak-kakakku itu. Saat itu malam tahun baru 1991 dan aku beberapa bulan lalu telah memulai masa sekolahku. Ibu mengajakku mengunjungi rumah mereka di Jakarta, dan merekapun menyambut kedatangan kami dengan ramah.
Tapi kulihat sedikit keterkejutan menggaris di wajah papa. Tidak kusangka itu adalah hari terakhir bertemu dengannya, Karena di hari itu pula ibuku meminta bercerai darinya. Ia memilih untuk tidak jujur bahwa saat itu dia tengah mengandung adikku, darah daging kedua ayahku agar bisa berpisah dengannya.
Kesabaran atas dasar cinta buta muda yang telah menyeretnya pada sebuah kesalahan besar itu, telah sampai pada puncaknya. Ibuku sudah tidak tahan lagi dengan teror-teror yang ternyata diberikan oleh istri pertama tanpa sepengetahuan ayahku, memang beberapa waktu lalu, aku pernah melihat wanita yang sama datang ke rumah kami beberapa kali. Akhirnya mereka pun bercerai. Sejak saat itu, ayahku bagaikan ditelan bumi.
Tak pernah sekalipun ia datang dan mengunjungiku dan tujuh bulan kemudian, ibuku melahirkan adikku. Tak sedikit omongan miring tentangnya saat itu, namun hal itu tak sedikitpun menggoyahkan ketegaran hatinya. Seolah mendapat mainan baru, aku yang saat itu beranjak ke kelas 2 SD, sangat bahagia dengan adanya adikku.
“Cin, mau ikut tidak? Pulang sekolah nanti kami mau ke kebun mangga punyanya Ani,” Dewi teman sepermainanku mengajakku. Memanjat pohon mangga adalah salah satu hobi kecilku. Walau ibuku selalu mengajarkanku agar lebih feminim, tapi mungkin karena sifat anak pertama yang agak manja, aku lebih cenderung tomboi. “Enggak deh, makasih. Aku mau di rumah saja,” tolakku atas ajakan mereka. Ya, setelah kehadiran adikku yang baru beberapa hari, setiap pulang sekolah aku begitu betah di tinggal di rumah. Aku sangat menikmati saat-saat bermain dengannya, membuatnya tertawa, ataupun hanya memandanginya ketika dia tengah tertidur lelap. Akan tetapi saat-saat indah itu hanya dapat kunikmati dalam sekejap mata.
Setelah genap 40 hari, dengan segala pertimbangan, terutama demi kebahagiaan dan masa depan adikku, akhirnya ibuku merelakan ketika salah satu saudara kami ingin mengadopsinya. Sampai kini, 18 tahun sudah, merekalah satu-satunya orang tua yang adikku tahu. Lalu ibukupun memutuskan untuk mengadu nasib di ibukota lagi. Dan aku tinggal bersama kakek dan nenek tiriku.
Meskipun dalam kondisi keluarga yang sangat keruh saat itu, aku tetap menjalani hari-hari selayaknya anak sebayaku, tanpa beban. Bekerja di tempat laundry, sebulan sekali ibu pulang untuk menemui aku. Setahun kemudian, ketika aku beranjak ke kelas tiga, ibuku pulang bersama dengan seorang lelaki.
Saat itu ibuku bilang laki-laki itu adalah temannya, yang tanpa kumengerti bahwa dia adalah calon “teman hidupnya”. Berbulan-bulan laki-laki itu sering datang ke rumah bersama ibuku. Lalu beberapa waktu kemudian, mereka pun menikah. Melihat pemandangan seperti itu, aku tak tahu seperti apa perasaan yang ada di hati.
Sebesar apakah rasa mengerti dan kepahaman anak kelas 3 SD dalam situasi hidup seperti itu. Entahlah…
Selama 9 tahun kemudian, dia membuktikkan meskipun aku bukan darah dagingnya, dia mencintai aku bagaikan anaknya sendiri. Aku pun membanggakannya dengan prestasiku baik di sekolah umumku maupun di sekolah agamaku.
Dan atas kebaikannya, aku dapat merasakan dan melewati masa remajaku yang ceria. Akupun dapat bersekolah hingga tamat SMA. Tapi meski aku telah mendapatkan gantinya, tetap saja aku sangat merindukan, serta selalu berharap dapat bertemu kembali dengan ayah kandungku. Kapan dan dimanapun itu! Sewaktu SMP dulu, aku pernah melayangkan surat ke alamat rumahnya di Jakarta. Aku mengetahui alamat itu dari fotokopi KTPnya, yang tidak sengaja aku temukan di lemari buku tuaku. Akan tetapi suratku terkirim kembali padaku, pertanda orang yang dimaksud tidak berada di alamat tersebut. Aku tak mengerti! Kerinduan itu senantiasa membayangi mimpi-mimpiku. Namun perasaan itu selalu aku sembunyikan rapat-rapat dalam hatiku. Akupun tak pernah mencoba bertanya ataupun bercerita pada ibuku, karena aku takut mengusik ketenangan hidup yang tengah ia rasakan. Hanya saja, di sudut hati kecilku selalu berkata “Pa, dimanakah kamu sekarang?”
“Cinta, malam tahun baru besok kamu mau kemana?” Aditya menanyaiku. Tapi aku tak menjawab. Mataku menatap kosong ke arah ombak-ombak kecil yang memecah di tepi pantai. Bayangan masa laluku dan tentang ayah kandungku telah membawaku pada lamunan.
“Cinta,” sambil menyentuh pundakku, Adit memanggilku lagi dengan lembut. Aku tersadar. “Eh, so… Sorry,” jawabku sambil tergagap. Dia tersenyum. “Kamu melamun ya?” tanyanya. “Ngelamunin apa sih? Pasti ngelamunin aku, kan aku ada di hadapanmu.” Aku langsung pura-pura cemberut: “Ueek, enak aja, siapa yang lagi ngelamunin kamu?” Diapun tertawa. “Kok ketawa sih?” tanyaku masih dengan mimik yang sama.
“Habis mukamu keliatan lucu banget tuh. Tapi, makin cantik loh, hehehe…,” jawabnya sambil terkekeh. “Gombal! Awas ya…” Aku setengah berteriak mengejarnya, karena dia telah berlari duluan ketika aku hendak melancarkan jurus cubitanku. Akhrinya kami berkejaran di tepi pantai. Sang surya pun tesenyum menyinari di sudut barat. Aditya bukanlah teman sekolahku. Dia 4 tahun diatasku dan aku mengenalnya dari temanku di kampung. Sebenarnya dia asli dari desaku, tapi sudah 3 tahun ini dia tinggal di Jakarta, bekerja di sebuah pabrik tekstil. Dulunya dia jarang pulang kampung.
Sekali pulang, tak pernah lama. Tapi sudah hampir setahun terakhir ini, tepatnya setelah mengenalku, dia jadi rajin bolak-balik. Meskipun kami sangat akrab dan teman-teman pun menyebut kami sepasang kekasih, jujur dalam hati aku merasa bingung dengan perasaanku terhadap Aditya. Satu sisi aku merasa damai saat bersamanya. Dia selalu membuatku tersenyum dan tertawa. Aku menyukai segala perhatian dan kasih sayangnya, Dia pun pernah berkata bahwa akulah satu-satunya pujaan hatinya. Tapi di sisi lain, satu sisi hatiku merasa tidak terima bila aku dinyatakan telah jatuh cinta padanya. Tidak!
“Cinta, kenapa aku begitu tergila-gila padamu? Aku sangat mencintaimu dan benar-benar takut kehilanganmu. Apakah kamu juga merasakan hal yang sama?” Adit menanyaiku suatu ketika. Dia menatapku tajam. “Dit, please… Jangan tanyakan itu lagi. Kamu sudah tahu jawabannya kan?” kupalingkan mukaku, menghidari tatapan matanya.
“Tapi Cin, terkadang aku merasa ragu dan terus berpikir, mungkin aku hanya mencintaimu sebelah tangan, karena sampai saat ini belum pernah sekalipun kau katakan bahwa kau pernah mencintaiku,” cerca Adit. “Tapi itu hanya pemikiranmu saja kan?” kilahku. “Buktinya aku tetap selalu bersamamu, aku bahagia denganmu,” lanjutku. “Tapi, Cin..,” senggahnya sambil terus mencai-cari kejujuran di mataku.
“Dit, sudahlah… Aku mohon, jangan singgung itu lagi,” mohonku dengan suara bergetar sambil menutup mata. Aku hampir menangis. Kudengar dia mendesah berat lalu berkata, “Maafkan aku, Cinta. Bukan maksudku membuatmu menangis,” dia memelukku. “Aku selalu meyakinkan diriku bahwa kau memang benar mencintaiku. Dan dengan keyakinan itu pulalah, aku berhasil memenuhi panggilan ayahmu.” Seketika itu juga kulepaskan pelukannya. Mataku terbelak dan mulutku sedikit ternganga. Adit hanya tersenyum manis, “Kaget ya?” tanyanya.
“Hehehe… Sorry, harusnya aku tidak bilang sekarang, tapi besok. Apa daya, aku sudah keceplosan. Minggu lalu waktu aku lagi nunggu kamu nganterin ibumu, ayahmu menghampiriku dan bilang bahwa ayahku sudah nemuin dia dan mengobrol banyak. Dan akhirnya mereka sepakat, besok lusa kita bakal tunangan.” Aku masih belum percaya dengan pendengarkanku. Apa lagi untuk mengeluarkan kata-kata. Tiba-tiba aku merasakan dunia ini gelap. Kacau, bingung, kecewa, atau rasa apakah yang ada di hatiku? Kenapa ini bisa terjadi? Ingin rasanya aku berlari menjauh. Namun kakiku tetap kaku tak bergeming.
“Cinta… Surpriseku ternyata lebih sukses daripada bayanganku. Tidak nyangka kan dengan berita ini? Tahu tidak, aku benar-benar bahagia, akhirnya cintaku menjadi nyata.” Termangu, aku hanya dapat tersenyum… Getir jauh di lubuk hati terdalam, hatiku menangis menentangnya. “Sudahlah, hapus air matamu. Kenapa harus menangis?
“Seharusnya kamu bersyukur, Cinta. Kalian telah direstui kedua orang tua. Sebelum terjadi hal-hal yang mungkin tidak di luar kehendak, ada baiknya kan kalau kalian sekarang menjadi satu.
Orang tua hanya takut darah muda kalian membutakan akal sehat kalian,” sambil mengelus-elus kepalaku, suara bersahaja bibiku menasihatiku. Malam itu setelah acara pertunanganku selesai, aku sengaja meminta izin pada bibi untuk menginap di rumah bibi. Meskipun begitu banyak hal yang ingin kucurahkan, tapi lidahku seakan-akan beku dan hanya butiran-butiran beninglah yang mengalir. Apakah arti tangisanku ini?
Sebulan kemudian hari pernikahan pun tiba. Acara yang digelar begitu sederhana, tapi membuat setiap orang yang disana amat berbahagia. Terlebih lagi Aditya. “Jangan biarkan bayangan yang tidak-tidak memenuhi pikiranmu hari ini. Berikanlah senyuman termanismu,” bisik bibiku. “Percayalah kamu akan sangat bahagia dengan cinta Aditya yang begitu besar kepadamu,” lanjutnya. Kemudian ia pun berlalu.
Dengan segala pikiran dan perasaan tak menentu, kulihat wajah-wajah yang berseri dan merona itu. Kupejamkan mata dan kutarik nafas yang serasa memberat. “Cinta, pasrahlah. Mungkin memang ada kisah-kisah indah yang akan kau rajut bersamanya,” batinku membisik mencoba menenangkan.
Sejak saat itu, aku mencoba untuk menumbuhkan rasa sayang yang sebenar-benarnya dan belajar untuk mencintainya. Aku pun selalu berusaha agar menjadi istri yang baik, seperti halnya Adit yang juga selalu berusaha membahagiakanku.
Kuakui perlahan-lahan aku bisa menerima dan benar-benar bahagia. Kebahagiaanku kian melengkap, saat setahun kemudian 1 Oktober, aku melahirkan putra pertamaku. Begitu bahagianya orang tuaku, mertuaku, terutama suamiku. Dengan penuh rasa syukur dan sukacita kami sambut kehadirannya di dunia.
Hari-hari selanjutnya yang kujalani sebagai ibu baru pun membuat jiwaku serasa benar-benar hidup sepenuhnya. Apa hendak dikata, masa-masa damai itu hanya semusim saja. Sepertinya sang Dewi Fortuna belum benar-benar ingin menghinggapi hidupku, karena beberapa bulan kemudian mertua lelakiku sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Sejak saat itu pula, kembali air mataku selalu menghiasi. Ibu mertuaku yang sesungguhnya kecewa aku melahirkan anak laki-laki, kerap kali menyakiti hatiku dengan lidahnya. Dulu ayah mertuaku yang selalu membelaku, tapi kini…
“Wah, senang banget yah punya anak yang montok,” puji sepupu iparku sambil menggendong anakku. Akupun tersenyum. “Iya, ibunya sangat senang karena cuma duduk di rumah, ngurusin anak saja,” sindir mertuaku. Senyumku perlahan membias sirna. Lembar-lembar selanjutnya terasa begitu panjang. Rasa lelah akan sikap ibu mertuaku akhirnya melahirkan tekad dalam hatiku, aku ingin merantau.
“Dit, bukannya aku merasa tidak puas dengan apa yang selama ini kau berikan kepadaku. Hanya saja menurutku alangkah baiknya jika aku mencoba bekerja di luar negeri. Agar aku bisa membantumu menabung untuk masa depan. Mumpung anak kita masih kecil,” jelasku. Malam itu kucoba memberi pengertian pada suamiku. Tidak mudah memang, karena Adit bersikeras tidak mau berpisah denganku. “Cin, aku tidak sanggup membayangkan melewati hari-hari tanpamu. Apalagi harus sampai menunggu beberapa tahun. “Akupun merasa demikian, Dit.
Tapi, please… Kali ini saja, beri aku kesempatan untuk mencari pengalaman hidup,” jelasku lagi. “Tapi bagaimana kalau…” Aku langsung memeluknya dan mengecup pipinya, lalu berkata pelan, “Sssstt… Buang jauh segala pikiran burukmu. Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa. Everything will be fine, ok?”
Akhirnya dia pun menyetujui niatku. Walau kekecewaan tetap tergambar di wajahnya. Namun tidaklah demikian halnya dengan ibu mertuaku. Matanya berbinar bahagia saat mendengar berita itu. “Kamu tidak usah khawatir tentang Rafi. Kamu tenang-tenang kerja saja,” saat aku pamitan menjelang keberangkatanku.
Senyum yang serasa empedu itu tak pernah lepas dari bibirnya. Kucoba untuk menahan tangis yang sangat menyesak di dada. “Maafkan aku, nak…” batinku berkata lirih, ketika kedua mata polos itu menatapku. Dua tahun aku telah menahan beban yang tak pernah aku ceritakan pada siapapun, termasuk juga ibuku. Demi menunggu waktu yang tepat untuk pertumbuhan buah hatiku, aku rela menelan pil pahit setiap harinya.
30 Januari 2004
Dengan berjuta asa yang ada di hatiku, kumantapkan langkahku menuju pesawat yang akan membawaku ke sebuah kehidupan yang tak pernah sedikitpun terbesit dalam mimpiku. Anganku pun melayang, kembali ke kisah masa lalu ibuku. “Apakah yang akan terjadi padaku selanjutnya?” tanyaku pada diriku sendiri. “Semoga saja ya Tuhan, akhir cerita cinta yang sama takkan terulang pada diriku.”
Desember 2008
Setelah 4 tahun aku merantau, ternyata semuanya menjadi berantakan. Anakku telah lama berpindah tangan ke orang tuaku. Aditya yang dulu sangatlah setia, ternyata telah menduakanku. Serta hasil kerja yang selama ini kukirimkan, tidak menghasilkan apa-apa. Ternyata kemanisan-kemanisan yang selama ini terjalan dalam komunikasi hanyalah sandiwara.
Aku benar-benar kecewa. 16 Januari 2010, aku mendapatkan kebebasanku. Bebas dari ibu mertuaku. Dan bebas pula dari suami yang telah mengkhianatiku. BAHAGIAKAH AKU? Ternyata buku cerita rumah tanggaku memiliki kemiripan akhir alur dengan ibuku. Tatapan ke depan yang penuh kehampaan adalah lukisan malam-malamku saat ini. Pantaskah aku menyesalinya? Egoiskah aku yang telah memilih perpisahan ini? Tanpa sadar aku telah mengorbankan anakku, yang mungkin saja akan memiliki perasaan tidak jauh berbeda dengan yang dulu pernah kurasakan. Salah siapakah ini semua? Hatikupun semakin menjerit, atau… Takdirkah?