Foto ilustrasi diambil dari Wikihow.
Ketika aku merebahkan tubuh di samping kursinya, baru kusadari keberadaanku yang termangu. Tatap matanya kosong menerawang jauh. Namun wajah dan penampilannya tidak dapat mengecohku bila ia berasal dari tanah air juga.
Melihat raut wajahnya yang sendu, sorot mata yang penuh dengan kesedihan, aku tidak berniat menegurnya, takut menganggu. Kusibukkan diriku mengatur tas dan barang-barang bawaanku di atas nomor kursi yang tertera di tiket. Namun hatiku masih terus memikirkannya.
Setiap kepulangan para pahlawan devisa tentu adalah saat –saat yang membahagiakan. Terbayang setelah sekian tahun berpisah dengan orang-orang tercinta di kampung, pertemuan itu tentu akan menjadi moment yang berkesan dan dinanti-nantikan, wajah ceria dan senyum bahagia pun akan terukir dalam setiap gerak dan laku. Tapi, mengapa yang kulihat dari wajahnya adalah yang sebaliknya? Apakah kepulangannya tidak diinginkan? “Hmm, tentu ada cerita seru dibalik kisahnya ini,” pikirku mengambil kesimpulan.
Tetapi waktu pesawat lepas landas hingga terdengar pengumuman sabuk pengaman boleh dilepas, aku dan dia masih diam seribu bahasa. Ah, penerbangan Taipei-Jakarta memakan waktu yang cukup lama, tentu kami akan saling bertegur sapa. Hatiku pun bergumam sendiri. Kupandangi sekitar, penerbangan pagi hari memang terasa indah.
Dari atas aku dapat melihat betapa lembutnya gumpalan awan yang berarak tersiram sinar surya yang tampak malu-malu memancarkan sinarnya. Aku punya ide! “Maaf mbak, jendelanya boleh dibuka? Pemandangan indah di pagi hari yang cerah seperti ini sulit kita temukan lho,” seramah mungkin kutegur kebisuannya. Ia tampak terkejut.
“Oo, bisa ngomong Indo ya,” katanya mencairkan suasana. Aku tersenyum. “Saja juga asli Indo, mbak. Rambut pirang ini cuma model saja. Besok-besok juga keluar warna yang asli.” Ia menuruti permintaanku dan membuka tirai jendela pesawat.
“Finish kontrak?” tanyaku tidak ingin kehilangan kesempatan. “Gak, baru kerja tujuh belas bulan.” Wajahnya kembali diselimuti awan kedukaan. Aku semakin penasaran, aku pancing dia dengan gurauan-gurauan lucu yang kuambil dari humor-humor Indosuara, tapi ia tak bergeming. Kegalauan jelas terpancar dari raut wajahnya.
“Ceritalah, walau saya tidak dapat memutar waktu kembali, paling tidak saya dapat menjadi teman curhat mbak, khusus dalam pesawat ini,” kuberanikan diri mulai mengorek keterangan. “Mungkin pengalaman mbak bisa menjadi bahan pelajaran juga buat rekan-rekan TKI yang lainnya.” Emosinya tampak tertahan. “Ya, aku memang lagi sedih. Aku pulang bukan membawa keberhasilan, tapi kegagalan.” Aku mulai menyimak semua kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya.
Namaku Sita, asal Tegal, Jawa Tengah. Lewat PT dari Jakarta aku bisa terbang ke Taiwan mendapatkan pekerjaan merawat anak. Di rumah selain majikan dan anak-anaknya, keluarga majikan juga banyak yang datang dan pergi karena Akong tinggal di rumah majikanku, yang tak lain adalah anak tertua Akong.
Beberapa bulan pertama pekerjaanku tidak terlalu bermasalah, hanya harus beradaptasi dengan gaya hidup keluarga majikan dan harus extra sabar karena bahasa yang aku kuasai sangatlah minim, bahkan masih belepotan. Tahun pertama dapat kulalui dengan baik. Masalah mulai timbul di saat majikanku mempekerjakan seorang pekerja asal Cina yang bertugas untuk merawat Akong berhubung kesehatannya semakin memburuk dimakan usia.
Sebut saja dia Aken. Usianya dua tahun diatasku. Kudengar dari thai-thai, Aken adalah seorang janda. Ia mau bekerja demi biaya hidup anak-anaknya yang masih kecil di Si Chuan, Cina. Pertama kali kulihat penampilannya, ia memang lain dari TKA lainnya. Sedangkan aku, aku tampak udik, kusam, dan jauh dari mode, sementara Aken tidak jauh beda dengan penampilan thai-thai ku. Aku sangat menghargai dia. Dengan adanya Aken, pekerjaanku berkurang. Memasak menjadi tanggung jawab Aken, aku hanya menjaga anak-anak dan mengurus rumah.
Lama-kelamaan aku mulai mencium kebusukan Aken. Aku bertahan dan mencoba bersabar dengan sifat Aken yang tidak menyukaiku. Aku tetap diam walau aku tahu Aken dengan sengaja memasak makanan dengan babi walaupun masakan itu tidak seharusnya dimasak dengan babi. Aku masih bisa makan nasi dan indomie. Aku tetap sabar. Kesabaranku mulai hilang waktu Aken selalu menyuruhku melakukan apa saja yang ia inginkan, melebihi suruhan majikanku.
Di rumah hanya ada aku, akong, dan anak-anak, tapi dia yang jadi penguasa. Setiap aku pulang belanja dari luar dengan anak-anak majikanku, barang-barangku digeledah olehnya. Bukti kuat yang kutaruh dengan ciri-ciri tertentu selalu berubah, berpindah tempat, dan tidak rapi seperti semula. Aku tahu Aken melakukannya saat aku tidak di rumah.
Makin lama aku semakin jengkel. Isi pulsaku selalu hanya tersisa beberapa NT saja ketika aku ingin memakai telepon atau SMS, padahal baru saja kuisi. Aku memang terbiasa meletakkan HPku diatas meja, dan pasti Aken yang pakai karena di rumah tidak ada orang lain selain dia. Dia pintar menghilangkan jejak, menghapus semua panggilannya, dan meletakkan HP ditempat semula, walau posisinya tidak sama dengan ciri-ciri yang sengaja kubuat sebelumnya. Aku ingin mengadu, tetapi kepada siapa? Majikanku selalu bekerja. Jika ada pun, apa majikanku mau percaya? Aken begitu pintar di mata majikan. Ia pandai mengambil hati majikan. Bagaimanapun, dia satu bahasa, satu adat, satu ras dengan majikanku. Aku tidak ada apa-apanya!
Sejak saat itu, HPku selalu kubawa walau aku di rumah, bahkan ketika aku hendak ke WC sekalipun. Aku lebih memilih menghindari Aken dengan membawa anak-anak majikanku jalan-jalan atau main di luar. Tapi apa nyatanya? Aku mendapat teguran dari majikan, katanya kalau mau pacaran jangan membawa anak-anak keluar sebagai alasan. Ya, Tuhan…, siapa yang pacaran?? Itu fitnah!! Dari siapa majikanku tahu aku keluar kalau bukan dari Aken? Aku lagi-lagi hanya bisa diam.
Aku memang bodoh, tidak berani melawan. Aku tahu apapun akan percuma karena Aken telah lebih dahulu menutup mata hati majikanku dengan kelicikannya. Aku sempat mengadu pada agency, harapanku agar agency dapat menolong dengan menyampaikan apa yang kuadukan kepada majikan. Tapi agency tidak ada tindak lanjutnya. Janji datang tetapi tak kunjung datang, mereka hanya menyuruhku untuk sabar, sabar, dan sabar.
Puncak masalah terjadi ketika biaya telepon majikan melambung tinggi, ditambah lagi perhiasan thai-thai yang hilang. Ketika semua berkumpul untuk dimintai keterangan, Aken sangat memojokkanku. Lagi-lagi dia memfitnah, katanya aku sering terlihat memakai telepon, aku juga keluar dengan alasan membawa anak-anak keluar padahal katanya aku bertemu dengan laki-laki dan meminta laki-laki itu menjualkan perhiasan thai-thai, dan uangnya dipakai untuk foya-foya dan dikirim ke kampung.
Amarahku tidak dapat kutahan, semua itu bohong, fitnah!! Dengan spontannya, tanganku menampar dan mencakar wajah Aken. Sempat pula aku jambak rambut Aken. Itu tidak seberapa sakit dibandingkan dengan sakit hatiku karena fitnahannya. Geram aku meronta dalam hadangan majikan yang berusaha melerai.
Sesabar apapun, manusia pasti ada batasnya. Gajiku memang lebih kecil dibanding dengan Aken yang dibayar dua ribu Nt per hari.Tapi sumpah, aku tidak serendah yang ia katakan. Didepan majikan dan anak-anak yang memelukku, aku menangis. Yang lebih terharu lagi, anak yang kuasuh yang berumur lima tahun, ia memarahi Aken dan membelaku.
Yang terbayang di benakku adalah pulang Indo. Aku tak peduli jadi sasaran kemarahan majikan atas perbuatanku ini. Waktu agency datang bertanya, aku hanya bisa menjawab tidak tahu, aku suruh tanya langsung kepada Aken, toh walau aku mati-matian bilang tidak, apa agency dan majikan percaya? Entah apa lagi yang Aken katakan tentang aku kepada mereka, yang pasti aku sudah tidak tahan lagi selalu difitnah.
Aku minta pulang! Aku tidak dapat tenang bekerja dengan Aken yang selalu ingin menjatuhkanku, padahal aku tidak pernah berbuat hal-hal yang merugikannya. Tentang perhiasan thai-thai yang hilang, aku pernah menyarankan majikanku untuk melapor pada polisi, tetapi majikanku tidak mau, katanya yang hilang biarlah hilang, yang penting ketegangan antara aku dan Aken dapat diselesaikan terlebih dahulu. Tetapi aku tetap memilih untuk pulang. Aku ingin menenangkan diri, baru pikirkan yang lain.
Keramahan pramugari yang menawarkan jatah makan siang memotong kisah pilu yang terurai dari mulut mbak Sita. Ternyata, inilah kisah pilu yang menyelubungi sendu raut wajahnya yang kulihat sejak pertama kali. Pengalaman yang sangat mengharukan sekaligus mengagetkan bagi kita yang mendengarnya bukan? Semoga ada hikmah yang dapat kita ambil dari pengalaman tujuh belas bulan bekerja di negri Formosa yang dialami mbak Sita.
Semoga kejadian ini tidak terulang lagi, seperti doa dan harapan mbak Sita yang terucap sesaat sebelum berpisah di pintu imigrasi bandara Soekarno Hatta.