Tak ada keberhasilan tanpa membutuhkan pengorbanan. Juga tak ada keberhasilan tanpa ada arah yang melintang. Ibarat sebuah perjalanan, berupa tanjaan, batu kerikil berserakan selalu datang menghadang. Di situ kita telah diuji, untuk ikhlas dan selalu bersabar dalam menghadapi. Seberat apapun sebuah pekerjaan, bila diterima dengan ikhlas, semua akan terasa ringan.
Setelah kuhabiskan tiga tahun kontrak pertamaku, yang penuh dengan berbagai dilema, namun semangatku untuk menjadi pahlawan keluarga tak pernah surut. Kedatanganku di negeri Formosa pada kontrak kedua ini, juga tak seperti yang aku bayangkan. Aku mendapatkan job menjaga Ama di daerah New Taipei City. Pekerjaan sehari-hariku menemani Ama, ke rumah sakit dan jalan-jalan kemanapun dia suka. Kondisi Ama masih kelihatan sehat, hanya saja dia tak bisa berjalan jauh. Cuci darah pun juga harus dijalani dalam seminggu 3x.
Satu bulan bekerja di keluarga bermarga Li ini, sikap Ama kepadaku masih baik-baik saja. Aku merasa sangat dihargai. Pekerjaan yang aku jalani saat ini juga merupakan pekerjaan yang ringan dibanding dengan kontrak pertamaku. Jatah libur pun juga bisa aku ambil sebulan sekali. Ingin rasanya aku mengutarakan sesuatu kepada Ama, yaitu ingin salat 5 waktu. Meski selama ini aku sudah menjalani dengan sembunyi-sembunyi.
Disela-sela istirahat sore, Ama rebahan di ranjang sambil menonton televisi. Sambil memijit badan Ama, kami berdua berbincang-bincang. Pada akhirnya Ama bertanya padaku.
“Ani, kamu sembahyang, ya?“ tanya Ama padaku.
“Ti … tidak, Ama, emang kenapa?“ jawabku sedikit gusar.
“Oh … ya bagus, soalnya aku tak akan pernah mengizinkan kamu. Kita beda agama, nanti dewa saya marah melihat kamu sembahyang.
Hatiku berdegup kencang, mendengar penjelasan Ama. Untung aku tak bertanya duluan. Ama pasti akan marah besar, aku tahu akan sifat Ama, bila ada seseorang menentang kehendaknya. Keinginanku untuk minta izin salat pada Ama, aku urungkan. Toh aku masih bisa menjalankan dengan caraku sendiri meski itu tak sempurna.
Hari-hari aku lalui dengan gembira. Ama juga puas dengan cara kerjaku. Hingga pada suatu hari, cucu Ama datang. Cucu Ama mempergokiku sedang menjalankan shalat dan memakai mukena. Dengan perasaan takut aku segera berbenah. Sambil berlari meninggalkanku, sang cucu melapor pada neneknya.
Aku takut bukan kepalang. “Ya Allah, lindungilah hamba“ doaku dalam hati.
Kudengar Ama memanggilku dari ruang tamu.
“Ani, sedang apa kamu di kamar?“ tanya Ama dengan mimik marah.
“Emmm … melipat baju!” jawabku kebingungan.
“Melipat baju? Tadi cucuku bilang kamu pakai baju aneh. Kamu sembahyang ya?“ tanya Ama dengan nada semakin terlihat marah.
Aku hanya diam tak bergeming, menatap wajah Ama pun aku tak berani. Ama yang dari tadi tak berhenti memarahiku, dan bilang akan melaporkanku pada Agensi. Dalam selang dua hari Agensiku datang bersama penerjemahnya. Tak ada rasa takut di hatiku. Kalau memang Ama tak mau lagi denganku, aku sudah siap untuk pindah majikan lagi. Tapi kenyataan tak seperti yang aku kira. Agensi dan penerjemah datang bukan membantuku. Akan tetapi malah menakutiku, akan memulangkanku ke Indonesia kalau Ama tak mau lagi denganku. Aku semakin kebingungan. Mengingat keadaan keluarga di Indonesia masih butuh banyak biaya. Pada akhirnya, sang Agensi menyuruhku tanda tangan . Dalam catatan tersebut, aku akan dipulangkan ke Indonesia bila tak bisa bekerja dengan baik.
Semakin hari Ama semakin kelihatan tak suka padaku. Segala pekerjaan yang aku kerjakan seolah salah di matanya. Bahkan dia sering bilang kehilangan barang, dan seolah menuduhku. Rasanya aku tak kuat lagi menghadapi sikap Ama. Tapi aku masih berusaha untuk bersabar. Aku ingin menunjukkan pada keluarga Ama bahwa aku bisa bekerja dengan baik.
Pada suatu hari, aku habis pulang dari liburan. Semua keluarga Ama semua berkumpul di meja makan sedang menikmati makan malam. Dengan seramah mungkin aku segera menyapa mereka.
“Ama …. Cece …. Keke …., saya datang,“ begitulah panggilanku pada anak-anaknya Ama.
“Liburan hari ini asyik khan?“ sahut Cece dengan mulut penuh makanan.
“Asyik sekali Ce!“ jawabku sambil memasuki kamar untuk berganti baju.
Belum selesai ganti baju, Ama memanggilku. Aku segera keluar kamar. Kulihat di depan Ama ada benda yang pernah aku keluarkan dari dalam pot bunga tempo hari. Cece dan Keke segera meninggalkan meja makan dan masuk ke kamarnya masing-masing.
“Ada apa, Ama, ada yang bisa saya bantu?“ sahutku dengan penuh tanda tanya.
“Ani, kamu tahu ini benda apa? Ini punya kamu khan? Benda ini aku dapat dari teras depan di atas tempat tidur kamu.“
Rasanya aneh sekali bagiku, benda seperti itu harus diributkan. Padahal aku menganggapnya itu cuma besi untuk menutup lubang di bagian bawah pot bunga. Tapi Ama menganggap itu benda aneh (santet), yang sengaja di taruh untuk mencelakai seseorang. Tanpa rasa takut sedikitpun, aku jelaskan pada mereka, bahwa benda itu aku dapat dari dalam pot bunga yang tanahnya aku ganti tempo hari. Tapi Ama tetap tak percaya padaku. Bahkan dia menuduhku, aku yang membawanya dari luar dan menaruh di teras.
Aku harus lebih sabar lagi, dan pelan-pelan menjelaskan. Aku tak seperti yang mereka pikirkan.
Hari berganti bulan pun berlalu. Sedikit demi sedikit Ama mulai menyukaiku. Beberapa bulan lagi aku sudah finish kontrak. Ama menyuruhku kembali lagi setelah aku pulang lagi. Tapi aku belum menyanggupinya. Tapi takdir berkehendak lain. Sebelum aku sampai finish kontrak Ama mendadak sakit.
Setelah menjalani rawat inap selama 3 hari, Ama menghembuskan nafas terakhirnya.
Sedih bercampur bingung, disaat semua anggota keluarga Li mulai menyukaiku aku harus pergi dari rumah ini.
Masa kontrak kerjaku tinggal enam bulan. Aku sangat bersyukur, masih ada majikan yang mempekerjakanku. Yang lebih membuatku sangat bersyukur, keluarga majikan baruku memperbolehkanku beribadah. Aku hanya tinggal berdua dengan pasienku, yaitu ibu majikanku yang masih berusia 60 tahun. Mereka semua sangat baik dan menghargaiku, dan menyuruhku kembali lagi setelah finish kontrak. Seminggu lagi aku akan pulang ke Indonesia, dan kembali ke Taiwan lagi dengan proses direct hiring. Semoga semua berjalan lancar, sesuai dengan yang aku harapkan. Aku sangat rindu keluargaku. Terutama anakku yang sudah enam tahun, tak berada dalam asuhanku.
The End.