Malam pun telah larut, mataku ntah mengapa sulit terpejam, teringat waktu Ayu adikku sedang chat aku lewat BBM. Gundah gulana menyertak jiwa, ingin segera berlari, namun apalah daya?
“PING”, BBM terdengar di sela-sela malam. tak ku hiraukan karena tepat pukul 00:00 waktu Taiwan. Sedang aku sudah seharian kerja, letih ragaku, enggan ku buka Handphone aku yang sudah aku silent. Keesokan harinya mataku terbelalak melihat isi BBM aku yang berderet banyak dari satu orang.
Segera kupelototi HP aku dan ku baca isinya.
“Mbak, aku sudah gak betah di sini, aku pingin pergi tolong bantu aku,” kata Ayu kepaaku.”
“Kamu kenapa? ada apa dengan dirimu dan pekerjaanmu?” balasku cepat.
Sejam sudah aku menunggu balasan dari BBM Ayu, tapi nihil yang kudapat. Aku cari beberapa messenger lainya aplikasi whatsapp, facebook, line. Tak satupun aku lewati untuk segera mendapat jawaban dari pesan singkat Ayu itu.
“Kring … kring … kring ….” suara telepon rumah majikanku berdering. Segeraku ambil gagang telepon itu dan ku angkat.
“Wei, ni hao , cing wen ni nali cao?” salam sapaku.(1)
“Wei, ni hao, wo shi Selly ni de congjie Jeki.” Jawabnya.(2)
“Shi, you she me se cece cao wo?,” tangkasku cepat.(3)
Karena dia tau aku yang menjawab dan kebetulan agensiku penerjemahnya orang Indonesia jawa asli, dia pun segera bicara panjang lebar bla bla bla–.
“Jeki, barusan majikan adikmu telepon kantor katanya adikmu kabur dari pukul lima pagi sudah tidak ada di rumah majikannya, apakah kamu tahu dia ke mana?” tanya Selly.
“Astaqfirullah, Mbak saya benar tidak tahu masalah ini, semalam dia BBM aku tapi aku sudah terlelap, tak sempat membalasnya,” tukasku padanya.
“Coba kamu cari informasi tentang dia, nanti kalau sudah dapat segera kabari aku ya ….” sahutnya.
Hatiku seakan sudah tak berguna lagi tuk berpikir, dentum jantungku cepat tiga kali lipat dari biasanya, ‘ntah mengapa lebur jadi satu suasana hatiku, hingga pagi itu hingga pekerjaanku terbengkalai semua.
“Jeki, weisemo wo kan ni hen cincang, you she ma?,” tanya majikanku seakan tahu masalahku.(4)
“Shi de, wo you itien sheching aik, wo meme pao thiao le” cerutuku.(5)
Dengan sergap majikanku yang penuh pengertian segera membantuku dan memaklumi keadaaanku. Karena maklum adikku baru pertama kali menginjakkan kaki di Negeri Formosa ini. Dan dia tertekan karena pekerjaannya merawat tiga orang dalam satu rumah. Sebut saja Akong, Ama dan Keke. Kedua lansia itu sudah cukup berat, namun ditambah lagi dengan anaknya yang mengidap sakit jiwa.
Dengan hati takut dan bimbang Ayu pun bergegas meninggalkan rumah majikannya. Tepat pukul lima subuh waktu Taiwan, dia sudah dijemput oleh agensi kaburan di pasar dekat rumahnya.
******
“Kamu di mana?” tanyaku pada Ayu.
“Mbak, maafin aku, tolong jangan kamu bilang sama Ibu,” timpalnya.
“Memangnya kamu kenapa, ada apa?” sahutku cepat.
“Aku … akuuu –,” nada suaranya sedikit gugup .
“Coba jelaskan pelan-pelan, Mbak akan membantu kamu, Dik.” Pintaku padanya.
“Aku sudah di bawa Agensi naik mobil, sekarang sudah jauh, dan akupun tidak tahu di mana aku sekarang,” ucapnya membuat aku lemes.
“Aduh, Dik…!! berani benar kamu, nyalimu begitu besar, kakak aja yang ke Taiwan sudah ketiga kalinya gak pernah ada niatan kabur.” Timpalku kesal.
Taiwan memang terkenal negara bebas tapi mempunyai aturan yang ketat. Ntah apa yang ada dalam otak Ayu saat itu. Aku sendiri juga tak tahu. Jalan kabur dari pekerjaan itu memang bukan jalan terbaik, melainkan menyesatkan dirinya sendiri.
Ibarat kata “Mati tak mau, maut menjemput.”
****
Dari jam delapan malam hingga fajar tiba, mataku tak sedetikpun terpejam. Otakku berpikir bagaimana cara agar Ayu lepas dan pergi dari tempat persembunyian dan kembali ke ejensi agar bisa di proses resmi pindah majikan lagi.
“Dik, sekarang di situ kamu ma siapa?” tanyaku.
“Sendiri, Kak, aku di bawa ke atas pegunungan dan di sekelilingku kebun bunga, Aku takut, Kak,” ucapnya buat miris hatiku.
“Tapi kenapa kau ambil jalan pintas seperti ini, ini Taiwan bukan Indonesia,” timpalku.
“Aku sudah bulat pingin kerja di sini, biarkan aku di sini.” Sahutnya lagi.
“Tidak–, aku tidak mengijinkanmu bekerja di situ, berbahaya adikku.” Sentakku padanya.
“Tenang Adikku, aku akan bantu cari jalan keluar untukmu, yang penting kamu tenang dulu,” sahutku lagi.
“Gak apa-apa kok, Kak biar aku yang menanggung semuanya, Aku bisa,” tukasnya tak mau kalah.
Perdebatan aku dan Ayu makin memanas. Hingga kuputusakan aku ambil air wudhu dan ku lakukan shalat tajahud, berharap Allah berikan jalan keluar yang membuatku tidak tidur semalaman. Juga menjadikan nadi dan jantungku melemah.
Aku hanya berharap Ayu bisa kembali dengan selamat sampai di tanganku kembali. Sekitar pukul empat dini hari, ku sambung lagi percakapanku dengan adikku, aku harus bisa apapun caranya akan ku lakukan demi orangtuaku.
Aku tak ingin orangtuaku mendengar kisah tragis ini.
“Dik, aku memohon kepadamu tolong demi Ibuk dan Bapak kita kembalilah.” Pintaku melas.
“Tidak, aku tak mau pulang, paling nanti di kembalikan lagi ke majikan itu, aku tidak mau, Kak.
“Gak, kakak janji akan meminta ejen untuk memindahkan kamu ke majikan sesuai dengan permintaanmu,” tukasku.
Beberapa jam lamanya sms aku tak di balasnya juga, entah apa yang ia pikirkan saat ini. Mau terus mendekam di persembunyian tanpa kekebasan atau menuruti kataku.
Dia sudah terlempar jauh dari kota Taipei dan terdampar di Kota Nantou sebelah selatan Taiwan. Daerah pegunungan dan jarang penduduk, banyak hutan dan terasa sepi bagai kuburan. Tepat setengah jam kemudian dia balas sms aku.
“Iya, Kak aku mau pulang, tapi–?” ucapnya.
“Tapi apa?, katakan Dik ayok.” Kakak akan bantu kamu kasih jalan keluar dari penjara maut itu.” Kataku meyakinkannya.
Alhamdulillah puji Tuhan, Allah masih membukakan pintu hati adikku untuk kembali padaku. Bergegas aku ambil air wudhu, lalu ku lakukan sholat sujud syukur atas anugrah ini.
“Kak, aku tak tahu harus lewat mana pintu keluar, ini masih pagi kak, belum ada orang yang bangun.
“Yahhh, mumpung mereka belum bangun semua, lebih mudah kamu keluar dari sana, kamu segera kemasi barang-barangmu yang bisa di bawa, kalaupun yang berat tidak usah di bawa, tinggalin. Nanti bisa beli lagi setelah kamu keluar dari sana. Dan berjalanlah keluar searah jalan besar menuju jalan raya halte bis” seruku padanya.
“Baik, aku keluar tapi kakak jangan tingalin aku sendiri ya, Kak.” Pintanya.
“Okeee !…” jawabku girang karena keberhasilanku.
****************
Waktu menunjukan pukul lima pagi, segera aku basuh badanku, ganti baju dan aku tunjukin arah keluar adikku. Untung dia selalu kasih aku peta di Google lewat WhatsApp yang dia punya, sehingga aku bisa cepat melacak keberadaannya. Aku selalu pantau sampai dimana dia berjalan. Tepat pukul enam pagi, Ayu sudah menemukan halte bis daerah Nantou. Aku menyuruh dia ambil jalur ke Stasion Taichung, karena jalur yang bisa di lalui dan cepat hanya ke sana.
Pukul enam pagi aku sengaja bangunkan majikanku,
“Aik, we kheyi cie jien ken ni ma?, wo meme yi cing ta kung ce tao Taichung huo cecan. Wo ciau tha teng wo zai napien. “Pintaku melas.
“Hao, dui bu qi Jeki, wo bijao wan chi chuang le.” Jawab Aikku.
Segeralah dia tunjukkan alur jalan yang mesti ditumpangi Ayu untuk mempercepat dia pergi dari wilayah itu. Dan diberikan uang 3000NT untukku. Bergegas kupamit dan jemput adikku. Sepanjang jalan menuju station Taipei tidak terputus walau sebentar kontakku dengannya. Apalagi yang kutakutkan kalau bukan takut dia ketipu lagi oleh orang yang tidak ia kenal.
Setiba di Stasiun Taipei aku segera beli tiket seharga 375NT. Ku tunggu kereta dari pukul 07.00-07.45 pemberangkatan keretanya. Dunia gelap seakan penantianku adalah garis terakhir pengharapan yang kuperjuangkan semalaman. Tepat pukul 10.45 kereta jurusan Taichung tiba di sana.
“Ayu, sudah lama nungguin kakak ya?” sapaku dari jauh melihat dia duduk sendiri seakan tak ada perasaan bersalah sedikitpun.
Sujud syukur aku di stasiun kereta Taichung, terimakasih Tuhan kau kembalikan Adikku. Air mataku tak terbendung lagi, bahagia campur sedih semua jadi satu. Peristiwa ini mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Kesabaran dan Mu’zijat Tuhan atas anugerah yang telah membukakan pintu hati Ayu untuk kembali bersamaku. Bahwa sebuah pengorbanan yang dilakukan dengan tulus ikhlas maka Allah akan berikan kemudahan lewat jalan dan pintu mana yang Ia kehendaki.
“Iya, Kak di sini sudah lama sekali aku nungguin Kakak gak datang-datang,” ucapnya tak berdaya.
“Maafkan aku, karena nunggu kereta sesuai jadwal keberangkatan,” jawabku menjelaskan.
“Ya sudahlah, yuk kita jalan ke taman refreshing bentar hilangkan penat dan kegundahan hati.
Setelah jalan-jalan, kamipun pulang ke Taipei dan di stasiun Taipei, Ayu sudah di jemput agency untuk ditampung sementara sambil nunggu majikan baru.
Apapun masalah yang kita hadapi semestinya tidak mengambil jalan pintas untuk menyelesaikannya. Ada kalanya harus belajar seperti hujan, ia tidak akan mengeluh walaupun dijatuhkan dimanapun, kapanpun. Hujan akan tetap sabar melakukan semua itu atas kehendak-Nya. Mengeluh dan lari dari masalah akan menambah beban jiwa. Pandailah bersyukur karena dengan menerima kenyataan dan ketentuan dari-Nya hidupmu lebih indah dan damai. Jiwamu tenang tidak terombang ambing oleh arus badai kehidupan.