Foto ilustrasi diambil dari hdwallpapergirls.
“Hati-hati dijalan….”
Itulah kata terakhir yang dia ucapkan di akhir perjumpaan kami di pulau yang berbentuk daun ini. Pulau kecil yang damai, makmur juga mandiri, karena terbukti tak ada atau lebih tepatnya jarang penduduknya yang merantau menjadi buruh. Itulah Formosa. Rasanya beda jauh dengan negara kita yang terkesan malah menjual rakyatnya demi Dollar. Dia adalah suamiku, sebut saja “S”.
Lambaian tangan itu menutup pertemuan kami yang terasa sangat indah. Ya… Aku menempuh perjalanan 5 jam keberangkatan hanya untuk perjumpaan kami yang hanya 3 jam, dan harus menempuh 5 jam lagi untuk pulang. Memang cukup menguras tenaga, tapi itu semua terbayar dengan senyum suamiku. Long Thien, mungkin itulah yang menjadi saksi pertemuan dua insan yang saling merindukan. Stasiun yang sepi, tak banyak orang yang naik turun di stasiun kecil ini, tak seramai stasiun Taipei atau Taicung yang rata-rata ramai dengan para tenaga asing.
Berawal dari keinginanku dan suami untuk mandiri serta untuk masa depan buah hati kami, aku datang ke pulau ini lebih dulu agar bisa membiayai suamiku untuk bisa datang dan menemaniku berjuang mewujudkan cita-cita kami. Dan tentunya agar kami tidak lagi terpisahkan oleh jarak. Kebersamaan ini yang aku inginkan.
Aku sendiri lebih beruntung di banding kedatanganku yang pertama kali, karena yang kedua ini Allah menganugerahkan “Keluarga” baru untukku. Yah, sebutan itu memang untuk majikan karena memang mereka menganggapku seperti keluarga sendiri. Setahun kedatanganku kesini, akhirnya aku berhasil membiayai keberangkatan suamiku dengan jerih payah keringatku. Alangkah bahagianya aku waktu itu, hingga rasa bahagia itu membuatku lupa diri, bahkan cenderung menjadi sombong. Menurutku itu diperparah dengan kelupaanku pada Allah. Dia yang telah memberi kebahagiaan kepadaku.
Setelah satu bulan suamiku berkerja, aku beranikan diri untuk meminta izin pada “keluargaku” untuk menemuinya. Ya, bisa ditebak izin itu dapat dengan mudah aku dapatkan.
Masih teringat jelas di benakku saat keluar dari stasiun aku diboncengnya pakai sepeda butut itu.
“Di Indo kita gak pernah naik sepeda berdua kayak gini,” komentar suamiku yang menurutku ada benarnya.
Saat itu kurasa waktu berjalan lebih cepat dari biasanya. Tiga jam itu kurasa bagaikan tiga detik. Berbalik dengan keadaan yang aku jalani sekarang, 3 detik itu bagai 3 jam. Yah, mungkin itulah salah satunya hebatnya “Cinta”. Dia bisa memutar balikkan keadaan. Dan karena “Cinta” itu tadi aku jadi melupakan Allah, Tuhanku. Sholat sering aku tinggalkan karena kesombongan. Aku boleh melupakan Allah, tetapi Allah tak pernah melupakan kami. Tepatnya aku dan suamiku yang dimabuk cinta, Allah tetap menyayangi kami. Mungkin Dia tak menginginkan kami dibuai dalam kelupaan kami hingga Dia mengirimkan angin topan untuk mengingatkan kami agar tak terlanjur terjerumus dalam jurang kelupaan itu. Angin topan itu mengintai kami tanpa kami sadari.
Genap dua bulan suamiku di pulau ini, rindu memang sudah menggunung. Persiapan unutk bertemu di hari minggu depan sudah di rencanakan dengan matang. Setiap malam kami dimanjakan obrolan gratis sesama operator. Hingga kami tidak mengenal kata sepi selagi HP kami “On”. Tapi entah mengapa dalam keceriaan itu hati kecilku seing berbisik “Akankah selamanya aku bisa sebahagia ini???” Atau ini hanya suatu firasat, entahlah aku selalu mengabaikan bisikan tak nyaman itu. Pikirku tetap yakin, aku akan selalu bahagia.
Tetapi ternyata Robb-ku mempunyai teka-teki atau puzzle yang berbeda dari yang kami rangkai. Kurang tiga hari pertemuan kami, angin topan tersebut datang terlebih dahulu. Tepat pukul 11:30 siang, Hp aku sudah bergetar tanda ada panggilan masuk. Tak Biasa…. Begitulah pikirku. Suamiku memanggil di saat tidak biasa.
“Dek, aku diambil agen, aku mau dipulangin!”
Aku tersungkur tepat di depan kulkas, tanpa perintah dan komando tubuhku lunglai, mataku menganak sungai.
“Tuhan….” Ratapku lirih.
Terlambat…. Menurutku sudah terlambat walaupun cuma memanggil namaNya saja.
“Apa salah kamu, Mas?” Tanyaku sambil terisak.
Suamiku menjelaskan panjang lebar masalahnya. Tempat kerja suamiku diambang kehancuran. Mengetahui hal itu teman sekerjanya memutuskan untuk kabur. Dan mungkin suamiku yang masih awam disini ditakutkan akan mengambil jejak yang sama sehingga agen memutuskan untuk memulangkannya.
Dengan air mata yang tak kunjung kering, aku meminta bantuan pemerintah , telepon sana sini meminta belas kasih uluran tangan agar suamiku tak jadi dipulangkan. Sia-sia, apa dayaku kepingan puzzle itu sudah tertata rapi walaupun aku berusaha sekuat tenaga untuk mengubahnya tak akan ada gunanya. Bos dari tempat kerja suamiku tetap bersikukuh tak mau menanda tangani perpindahan tempat kerja. Dalam kebingungan aku sempat ingin menyuruhnya untuk kabur saja, tetapi aku urungkan karena kabur hanya akan mempersulit masalah.
Dalam kekalutan tak sedetikpun aku terlelap malam itu. Malam terakhir suamiku di pulau ini, aku terus berpikir bagaimana dan jalan apa yang harus aku lakukan agar suamiku tak jadi pulang. Tapi tanganku hanya sekecil ini dan tak akan mampu merubah kekuasaan tangan-tangan Allah.
“Sampai jumpa di Indo dan jaga diri baik-baik.” Pesan suamiku.
Akhirnya suamiku terbang pulang membawa rasa kecewa dan malu yang amat sangat. Sementara aku roboh dalam pelukan kekecewaan, disertai dengan rasa sakit yang belum pernah aku rasa sebelumnya. Aku jalani hari demi hari walaupun hanya diisi dengan lamunan.
Tepat jam 2 dini hari, suamiku sudah sampai di bandara Soekarna Hatta, bandara yang tersohor di kalangan BMI karena menjamurnya preman pemeras. Sakit hatiku datang lagi terlebih mendengar suamiku tak ada yang menjemput. Pihak yang bertanggung jawab hanya mengangkat tangan tinggi-tinggi jika masalah datang. Akibatnya suamiku terlantar seperti gelandangan. Untunglah dia tak sendirian, dia bersama 6 teman senasibnya memutuskan untuk tidur di taman dekat Monas. Itukah potret PJTKI di Indonesia?
Keesokan harinya suamiku mencari sendiri jalan pulang, karena mengemis kepastian nasib kepada PT pun tiada guna. Janji tanggung jawab itu tinggal janji. Lidah memang tak bertulang. Yang pasti pil pahit itu harus suamiku telan dengan terpaksa, pulang membawa kegagalan disertai rasa malu yang tak terhingga.
Sementara aku tetap berjuang walaupun kurasa hampa. Demi menagih janji pengembalian sebagian dari uang itu, berkali-kali aku hubungi PT tapi tak ada hasil. Bahkan aku beranikan diri meminta bantuan pada organisasi pembela TKI tapi tak ada hasil. Mereka hanya bisa memberi semangat dan saran menghadapi masalah.
Hikmah yang aku dapat sungguh berharga dari semua ini, karena melalui cobaan ini aku dan suamiku lebih dekat dengan Tuhan, lebih bisa memaknai hidup juga menyadari betapa pentingnya mengingat Tuhan.
Kegagalan suamiku takkan aku ulangi, aku akan berkerja keras mengganti kegagalan yang dulu dengan keberhasilan kelak.
Musim dingin telah berlalu berganti dengan musim semi bersama dengan itu kusemai pula benih kegagalan itu, aku sirami dengan semangat kerja dan memupuknya dengan doa agar kelak berkembang menjadi buah keberhasilan, lalu berbuahlah dengan kebahagiaan. Dari situ akan menjelma menjadi biji ketakutan yang berguna untuk masa depan dan masa yang akan datang. Akhirnya hanya kepada Tuhanlah kita mengadu, “Ya Allah, aku mengingatMu…”
The End