Foto diambil dari piqueshow.com.
Menginjak tingkat tiga sekolah perawatku waktu itu, aku memiliki seorang pacar. Pada tanggal 19 September, Nanang menyatakan cintanya, dan beberapa hari setelahnya aku terima tanpa restu kakakku. Kakakku hanya berpesan: “Jangan menangis padaku bila ia membuatmu sakit hati.” Aku tidak mencintainya, aku menganggapnya sebagai seorang teman dekat yang memerlukan semangat hidup untuk melanjutkan perjuangannya. Sebab dia putus asa.
Waktu itu Nanang sedang mengalami kecelakaan disaat dia hendak ujian, sehingga ia tak mampu mengikuti ujian akhir sekolah perawat di kampusnya. Kebijakan para pendidik memberinya kesempatan untuk mengulang satu tahun diterima oleh keluarganya dengan senang hati. Akhirnya nanang yang seharusnya satu tahun lebih awal dariku menjadi teman setingkat denganku, walau beda sekolah.
Keputus asaannya berawal dari tidak bisa mengikuti ujiannya, ditambah lagi pada saat yang sama, pacarnya selingkuh. Alasannya sepele karena dia cacat. Apa yang bisa diharap dari lelaki cacat seperti Nanang. Hancur batinya tanpa ada penghibur hati, tanpa memiliki teman curhat, hingga hadirku di bangsal tempatnya dirawat, dan aku yang bersedia membawa tawa untuknya, menjadikannya memautkan hati padaku. Tak ada niat sedikitpun dalam hatiku untuk menjadikannya sebagai pacar karena memang aku adalah gadis yang mengharamkan pacaran.
Kondisi berbeda itu membuatku tersentuh. “Dia satu-satunya anak laki-laki harapan orang tuanya,”kata temanku. Dan aku berusaha menjadi teman yang baik. Keputus asaannya menjadikanku tersentuh untuk menolongnya. Ketika aku terus menyemangatinya untuk bangkit kembali, namun jawabannya sangat mengejutkan, yaitu hanya bila aku mau menjadi pendampingnya dalam menyusuri gelap lorong hidupnya, ia akan bersedia melanjutkan perjuangan.
Dalam benak hatiku aku merasa iba, tapi aku tegaskan padanya untuk menjadi pria tangguh yang tidak kalah oleh kondisi apapun. Aku berkata padanya: “Jangan bersandar pada siapapun ketika kau sadar kau harus menjadi sandaran bagi perempuanmu suatu saat nanti.” Ia hanya diam, dan kulanjutkan: “Apa arti hidup bagimu bila kau terus tergantung pada orang lain untuk menjalaninya?” Ia pun tetap membisu sampai akhirnya mengatakan satu kalimat yang sedikit dipaksa: “Kalau kau tak mau, aku pun tak ingin melanjutkan hidupku, aku tak mau lanjutkan perjuangan ini, jadi apa aku nanti, tutup matamu dan jangan lihat aku lagi!” Aku bisa saja menganggapnya orang gila yang tak tahu diri, merajuk pada seorang perempuan. Pria lemah yang tidak tahu diri, sudah cacat, gagal, dan memaksakan diri menjadi pacarku pula. Tapi aku manusia yang memiliki hati nurani, dan aku masih cukup waras untuk tidak meninggalkan seorang sahabat dalam keputus asaan seorang diri.
Aku bersedia menerimanya sebagai pacarku setelah kupertimbangkan beberapa hari, apalagi setelah seorang temanku, yaitu Tami terus menerus membujukku untuk menerimanya, karena ia memang sangat mencintaku. Kakakku masih tetap berpesan satu hal padaku:“Aku rela kau membantu siapapun, aku senang kau menjadi manusia yang memiliki solidaritas tinggi dan care pada orang lain, tapi janganlah kau jadikan dirimu sebagai lilin yang memberi terang pada orang lain, tapi disaat yang sama membakar habis dirimu tanpa sisa.” Aku tetap melenggang, menuruti kata hati tanpa peduli pada diri sendiri.
Ramainya suasana di Mall Jogja. Disana aku janji menemuinya hari itu. Setelah bicara panjang lebar, bercanda seperti biasa, ia menanyaiku: ”Gimana? Apa kamu sudah memiliki jawaban atas permohonanku beberapa waktu lalu?” Aku menatapnya, mendesah dan tiba-tiba sepasang muda mudi melintas didepan kami saat itu “Mas, lihat pasangan muda mudi itu?” tanyaku. Dia mengangguk tanpa jawaban.
Aku melanjutkan kata-kataku: “Mas, kau orang pertama yang senang padaku dan menginginkanku menjadi pacar. Dulu, beberapa lelaki sebelumnya yang menanyakanku pada kakakku, semua kutolak. Alasanya sederhana, aku tidak ingin pacaran.” Ia mendesah. Terlihat jelas ada tanda kecewa di wajahnya. “Aku bukan ingin menolakmu, terus terang aku tidak bisa menumbuhkan rasa cinta padamu dihatiku.
Bila saat ini kau ingin aku menjadi pacarmu, kau harus tahu aku belum bisa mencintaimu sepenuh hati. Dan lihat muda mudi yang berjalan bergandengan tangan, berpelukan mesra itu. Aku tidak bisa berpacaran dengan gaya seperti itu, sebab bagiku itu tidak sepantasnya kita lakukan.” Ia hanya memandangku tanpa kata, menatap dalam mataku dan berharap aku mengatakan kesediaanku dengan tegas. Aku mendesah, berdiri dari dudukku. Dia pun bangkit dan mendekat: “Lalu??” tanyanya. Aku menatapnya, lalu berkata padanya: “Aku bersedia menjadi pacarmu, tapi dengan syarat-syarat yang sudah kuucapkan diatas, dan tolong ingat mas, bagiku pacar pertama adalah pacar terakhirku.” Ia tersenyum dan mengangguk. Aku yakin ia tahu maksudku dengan sangat jelas.
Dua bulan masa pacaranku dengannya berlalu, jarang sekali kami bertemu karena kesibukan masing-masing. Hari berkunjung di asramaku waktu itu hanya Sabtu dan Rabu sore. Ia sering mengunjungiku, tapi aku sembunyi, enggan menemuinya. Surat yang dia layangkan pasti kubalas, tapi teleponnya tidak pernah kuangkat. Dalam waktu dua bulan itu, aku pernah keluar sekali dengannya, ia ingin membawaku kerumahnya, tapi begitu sampai di seberang jalan rumahnya, dan diberi tahunya bahwa itu adalah rumahnya. Aku termenung, hanya melihat dari kejauhan.
Aku yakin orang tuanya lumayan mampu, apalagi sekolahnya termasuk sekolah anak-anak berada. Aku menatapnya: “Mas, jangan sekarang ya, aku belum siap bertemu dengan orangtuamu,” kataku. Ia diam lalu memutar motornya dan berjalan melewati jalan kecil di desanya dan berhenti di sebuah musholla. Aku merasa ajaib, terpana. Sebab dia mengajakku memasuki mushola itu. Yang kukenal dia adalah seorang anak nakal yang kerjanya kebut-kebutan di jalan. Uangnya habis untuk mendapatkan obat-obatan. Jika ia stress, minuman dan rokok adalah santapan sehari-harinya, dan berganti pacar baginya seperti mengganti menu makan sehari tiga kali. Dia yang berdiri didepanku adalah makhluk yang berbeda.
Aku hanya tersenyum. Selepas sholat aku dan dia melanjutkan perjalanan. Dia mengajakku untuk menonton film kesukaannya. Aku memang lumayan udik, yang aku tahu hanya diajak nonton, apalagi oleh laki laki, pasti yang dilihat adalah film BF, dan aku langsung menolaknya. Sesampai di asrama, ia yang memang tidak suka banyak omong memandangku. Aku merasa dia semakin takjub akan diriku, mungkin juga karena keluguanku membuatnya merasa aku berbeda dengan yang lain.
Dan dia menanyaiku: “Kenapa nga mau nonton film kesukaanku?” tanyanya. “Aku nga suka nonton film BF,” jawabku. Dia tersenyum lalu mendekatiku dan berkata dengan pelan: “Aku juga tidak pernah nonton film BF, tuan putri. Yang mau aku tonton bareng denganmu adalah film DRAGONBALL.” “Hehehe, sorry, aku juga tidak tahu film apa itu, tapi aku sudah menolakmu dulu, sekarang kau tahu kan betapa udiknya aku?” kataku sambil tersenyum. Dia tersenyum: “Justru karena itulah kau harus jadi pendampingku selamanya,” katanya. Kuteruskan pembicaraan hingga sore menjelang dan dia pamit kembali ke asramanya.
Musim praktek tiba, sekolahnya dan sekolahku lumayan ketat dalam bersaing. Kadang menjadi teman, terkadang menjadi musuh. Tapi aku dan dia tidak terganggu dengan hal-hal itu. Tempat praktek yang utama pasti di RSUP Sardjito.
Saat itu aku yang sudah tingkat 3 sering bertemu dengan adik-adik kelasnya dan juga teman-temannya. Setiap praktikan seperti aku wajib mengenakan tanda pengenal. Aku yang sudah tingkat 3 selalu membuat tanda pengenalku terpasang terbalik karena senior sudah lumayan banyak yang familiar dengan wajahku. Waktu itu banyak sekali orang-orang yang penasaran dengan aku.
“Mbak, yang namanya Mbak Ti itu yang mana sih?” tanya Lis, salah satu adik kelasnya. “Memangnya kenapa?” tanyaku. “Aku penasaran banget sama dia, dia membuat Mas Nanang tergila-gila, hingga membuat Mas Nanang berubah 180 derajat. Ia tidak lagi suka menggoda cewek-cewek, tidak suka minum minum, tidak suka mengkonsumsi obat-obatan, hanya kadang-kadang merokok. Pokoknya aku penasaran deh sama mbak ti,” jelasnya. Aku tersenyum, batinku mengatakan: ”Orangnya ada didepanmu tuh!”. Aku menjawabnya santai: “Ntar deh, kalau kita ketemu dia, aku kenalin ke kamu.”
Aku sudah mulai menyukainya. Pada saat itu tiba-tiba dia datang mencariku, dia memberiku sebuah surat dan menyatakan ‘putus’. Aku kaget setengah mati, belum selesai kubaca surat itu, aku mengejarnya. Aku dan dia sama-sama berjaga-jaga di jam malam. Aku di ruang bedah dan dia di ruang bayi. Aku berlari menuruni tangga dan bertemu denganya di ruang penyakit dalam. Kutarik tangannya dan berlari menuruni tangga demi tangga hingga sampai di belakang rumah sakit.
“Katakan kenapa kau ingin putus!” desakku. Dia tertunduk lalu menatapku: “Karena kau begitu munafik, hatimu untuk orang lain, tapi kau tetap bersamaku,” jawabnya. “Aku tahu, pasti karena Henry. Bukannya di depan dulu aku sudah katakan padamu bahwa Henry itu bukanlah siapa siapa?
Aku sudah bilang bahwa Henry itu hanya ilusi, jika setiap buku tertulis namanya, bukan berarti aku menginginkannya, sedangkan dia juga tak pernah ada, kenapa hal sepele seperti itu saja kau permasalahkan?” Ia tetap terdiam hingga aku terus mencerca: “Oke, oke mas, kalau kau mau putus katakan didepanku. Jadi laki-laki gentle dikit, jangan putus lewat surat. Toh kamu yang butuh aku, bukan aku yang butuh kamu.
Kalau kamu ingin putus, katakan sekarang, didepanku!” Ia terdiam. Aku ingin berbalik ketika kemudian kulihat dia tertunduk dan kudengar dia terisak. “Kamu lelaki mas, jangan teteskan air mata karena hal seperti ini. Aku terima kalau kau ingin putus denganku, tapi kita tetap sahabat, kalau sewaktu-waktu kau butuh teman curhat, kapan pun kau boleh cari aku.” Aku berlalu kembali keruang shiftku, dan sejak saat itu ia bukan lagi pacarku.
Hari itu, sendirian aku telusuri Malioboro. Aku melihat sebuah kemeja berwarna cream. Dengan sedikit uang jajanku yang sudah aku sisihkan sejak awal bulan, aku membelinya. Kusiapkan sebagai kado ulang tahun untuknya. Pertengahan November itu kubingkiskan kadoku untuknya. Sepuluh hari dari masa putus tanpa ketegasan itu, ia datang ke asramaku dan mengucapkan terima kasih atas bingkisanku.
Hari kesebelas, karena urusan Wati dan Yono temanku, aku memintanya mengantarku menemui Yono. Ia pun membawaku ke tempat praktek Yono di Pakem. Kebetulan sejalan dan tak jauh dari Kaliurang. Tanpa minta persetujuanku, ia pun membawaku ke Kaliurang. Tanpa kuduga, sebuah permintaan untuk jalan lagi dia ucapkan. Dia memohon padaku untuk menjadi pacarnya, katanya, tanpaku dia merasa hidupnya tidak berarti.
Terus terang, aku memang sudah mulai jatuh cinta pada setiap perhatiannya, pada kedewasaannya, dan juga pada rasa tanggung jawabnya, pada semua hal tentangnya. Dia memperlakukanku sebagai seorang yang begitu penting dalam hidupnya, karena itu aku menerimanya kembali.
Dua bulan bersamanya kujalani dengan begitu manis, masih sama seperti sebelumnya, aku jarang sekali bertemu dengannya, karena waktu itu ujian akhir hampir tiba, dan kita sama-sama disibukkan dengan praktek dan persiapan ujian. Setiap minggu dia menemuiku, saling memberi dukungan agar ujian nanti mendapat hasil yang memuaskan.
Hingga waktu valentine tiba. Hari itu, aku masih di tempat PKMD, serupa dengan KKN. Tapi hari itu aku sempatkan pulang ke asrama karena aku yakin dia akan datang mengunjungiku. Aku menunggunya hingga malam tiba, tak ada juga yang memanggilku keluar. Aku mulai resah, kemana Nanang, dimana kekasihku? Aku merebahkan diri, bersiap untuk tidur, mengingat esok hari masih ada kegiatan yang harus aku selesaikan. Belum sampai terlelap, Idris mencariku.
“Ti, nanang ke Kaliurang sama Ika,” Idris memberitahuku. Bodohnya aku mempercayainya. Pacar Idris adalah teman Nanang, setiap kali mereka mempunyai masalah, aku dan Nanang lah yang selalu berusaha mendamaikan. Hari itu Idris berkata demikian, aku terbakar cemburu, terlalu cemburu hingga tanpa pikir panjang aku marah. Sebab aku tahu, sudah sejak dulu Ika suka Nanang.
Jam menunjukkan pukul 9 malam. Di aula masih banyak teman-temanku yang dikunjungi pacar masing-masing. Mereka masih asyik ngobrol, aku, Tami, dan Wati menemui Nanang yang datang bersama Yono. Aku mendekatinya: “Mas, nyari aku ga?” tanyaku. Nanang menatapku hambar, dia menggeleng: “Enggak…..” “Oo, gitu ya, ya udah!” aku berlalu dari hadapannya, berjalan menuju ke arah Yono, Wati, dan Tami: “Yon, ngapain kesini? Minta dikawal sama Nanang?” kataku sewot.
Yono terkekeh: ”Kenapa? Jangan ribut ribut terus lah, dia kesini tentu saja ingin ketemu kamu,” kata Yono menenangkanku. Aku sudah kelewat cemburu, kutarik tangan Nanang ketengah-tengah mereka, dan aku berkata pelan: “Mas, jangan keterlaluan, sekecil apapun api, kalau terus disulut pasti bisa membakar apa saja, bahkan hatiku!”
Mereka bingung, Nanang pun kelihatan sama bingungnya, tapi aku sudah benar-benar marah. “Yon, nitip kakakmu, jangan sampai down lagi ya,” kataku. Tanpa menunggu jawaban kutarik tangan Tami menjauh dari mereka. Parahnya, Nanangpun tak berusaha mengejarku, memberiku penjelasan pun tidak.
Hingga 4 bulan kemudian ketika perpisahan tiba, ia datang mewakili sekolahnya menghadiri acara perpisahan di sekolahku, dia memintaku untuk baikan. Meminta satu kesempatan padaku untuk serius menjalani hubungan selanjutnya. Egoisnya aku tidak mengakui perasaanku, aku tersenyum dalam tangis hatiku, mengatakan ketidak sediaanku kembali padanya.
Setahun kemudian aku pergi ke negri Formosa. Mendekati masa pulang, aku melayangkan sebuah surat, berharap masih bisa bertemu dengannya. Tapi tak ada balasan, tak ada kabar, kuanggap dia sudah lenyap. Tapi hatiku tak bisa berbohong bahwa dia tetap mengisi hatiku hingga detik ini.
Cinta memang tak harus memiliki, tapi cinta yang mendekam dihati ini telah mengikat semua sel di dalam hati, dan membuatnya abadi, tak terurai, tak bisa mati, terikat kuat di kisi hati, abadi bersama kenangan 4 bulan 4 hari cinta suci yang terus terpatri.