Aku melihat lagi jadwal penerbangan internasional tujuan Jakarta Indonesia yang ternyata masih setengah jam lagi. Mataku tertuju di samping seorang wanita muda yang kebetulan ada kursi kosong, segera saja aku menuju kesana, karena aku sudah cukup lelah berdiri dari tadi.
“Ni hau, ada orang kah?” Tanyaku pada wanita itu yang menggeleng sambil tersenyum dan sedikit menggeser duduknya.
“Orang mana dan mau kemana?” Tanya wanita itu dalam Bahasa Mandarin.
“Indonesia, saya mau pulang,” jawabku “Ada sedikit masalah,” lanjutku ketika wanita itu mengerutkan kening heran, dia tersenyum dan kamipun terdiam dengan pikiran masing-masing.
2 bulan yang lalu,
Siang, terik matahari begitu panas menyengat, tak heran bila tak ada seorangpun terlihat keluar rumah. Namun tidak bagiku, justru di teriknya matahari ini aku harus rela bermandi keringat dan menikmati panasnya dipunggungku karna sinarnya yang terasa sakit karena lama membungkuk. Bukan mau ku, tentu saja, aku tak senekat itu bila hanya ingin menghitamkan kulit, ataupun sekedar bermain menentang sang raja siang itu. Namun begitulah aku, tak bisa membantah perintah- perintah aneh bin ajaib dari seorang wanita tua yang ku jaga. Mulut dan matanya tak berhenti untuk terus melihat dan memerintahku sesuka hatinya, tak peduli keadaan apapun termasuk seperti saat ini, menyuruhku menanam sayur dan membersihkannya di taman kecil depan rumah.
“Dretttt” Aku merasakan getaran hp ku yang menandakan ada sms masuk, aku sengaja menghadap jalan membelakangi Ama untuk melihatnya.
“Ani… suami kamu kawin lagi.” Sederet sms dari budheku yang seketika membuatku terkejut, segera saja ku telepon nomer itu tanpa menghentikan aktivitas, sambil menunggu jawaban di seberang sana aku mengapit hp di antara pundak dan telingaku dan mulai memilah-milah lagi sayur yang rusak.
“Hallo… budhe,” Tanyaku saat terdengar suara di seberang sana.
Tanpa basa-basi lagi Budhe langsung bercerita tentang kelakuan-kelakuan suamiku yang semakin membuatku sakit hati. Aku tak percaya dia tega melakukan itu, bahkan aku telah mengikuti kemauannya, apapun yang dia minta telah aku turuti. Tapi, ternyata dia lebih memilih berkhianat dengan mencari wanita lain untuk memenuhi hasratnya. Sungguh aku tak percaya, lelaki yang telah memberiku seorang anak itu rela melakukannya.
Hari menjelang sore ketika ku telah selesai membenahi sayur-sayur itu, namun bukan berarti kerjaku tlah usai, karena bertepatan dengan jadwal memandikan Ama.
Ketika Ama tidur itulah aku dapat mencuri-curi waktu untuk menghibur diri, biasanya aku suka membuka jaringan sosial seperti facebook. Sekedar iseng dan melihat kabar teman-teman, jemariku masih asik menari-nari untuk ikut komen dalam status sahabatku, saat ada inbox baru masuk, yang ternyata datang dari seorang cowok manis yang ku kenal sudah cukup lama di sini, usianya cukup jauh di bawahku, tapi inbox-inbox dari dia selalu ku tanggapi biasa saja, namun ada sedikit yang berbeda aku merasa cukup nyaman bila bicara dengannya. Walau dia masih muda tetapi cara berfikirnya dewasa dan bijaksana, bahkan dia tau kegundahanku yang tak ku ungkapkan dari pertanyaannya dan stiker sedih yang dia kirim. Awalnya, aku tak mau bercerita, namun ketika mengingat sakit itu semua mengalir begitu saja bagaikan letusan gunung yang memuntahkan laharnya, emosiku meluap begitu saja apalagi ia pandai membuat kata yang seakan-akan menyuruhku untuk mengeluarkan semua kesedihanku, benar dugaanku, kata-kata dan nasehatnya di akhir ceritaku mampu membuatku bangkit dan tegar kembali, aku merasa menumpahkan kekesalanku pada orang yang tepat. Dia juga yang menentramkan hatiku, membuatku tersenyum lagi dengan candanya yang cukup menggelitik saat ku utarakan kesungkananku padanya.
***
“Ya Allah Ani, , ,” Ucap budhe di seberang sana terdengar serak saat suatu hari ku telfon dia lagi.
“Ada apa budhe” Tanyaku cemas, mendengar wanita itu bersedih sungguh gusar hati ini.
“Suami kamu benar-benar kurang ajar Ani.” Ucap budhe. “Dia melemparkan begitu saja barang-barang kamu di teras, semua barang-barang kamu berserakahan bagai sampah yang tak berguna, sungguh malang sekali nasib kamu Ani,” lanjutnya dengan tangis.
“Ya Allah… ” Sebutku tak percaya.
“Budhe benar-benar gak rela bila kamu masih dengannya Ani, bahkan anak kamu dia sembunyikan entah di mana” Ucap Budhe.
“Iya budhe… Ani tau, Ani akan menceraikan dia budhe” Ucapku mantap, aku sudah memikirkannya cukup lama sejak tau dia memilih menghianatiku, hanya kata itu yang melintas di benakku
“Ani… kasian sekali kamu nak, bahkan suami kamu menyalahkan kamu semua sayang, dia juga bilang bila bukan atas ijin dia kamu tidak akan bisa pergi ke Taiwan” Cerita budhe.
“Jadi begitu pikir dia, tapi bukankah dia juga menikmati hasil kerja kerasku, lelaki macam apa itu!!??” Ucapku penuh emosi sedang budhe di sana menyuruhku untuk menyebut asma Allah.
“Budhe setuju bila kamu menceraikan dia Ani, budhe tidak ikhlas bila kamu tetap dengannya, soal anak kamu janganlah kau risau biarkanlah Ani, bila dia telah dewasa nanti seorang anak pasti akan mencari ibunya, sekarang kamu baik-baik kerja untuk masa depanmu.” Aku hanya mampu mengiyakan nasehat budhe, walau ada rasa tidak rela, namun rasa sakit ini jauh lebih besar daripada rasa kasihanku padanya.
Aku menelepon ejen, dan menyuruhnya untuk membantuku berbicara dengan majikan bila aku ingin cuti pulang. Tentu saja aku tak beralasan menceraikan suamiku, dengan terjemahan dari penerjemahku aku bilang ingin melakukan sunatan untuk anakku. Akhirnya aku mendapat ijin untuk cuti ketika bertepatan dengan 2 tahun aku di negeri Formosa ini.
Karena aku yang akan menceraikan, tentu saja uang perceraian harus aku sendiri yang menanggung. Tabunganku rasanya tak cukup untuk biaya itu, belum lagi tiket pesawat yang di patok 20.000 NT oleh ejen untuk pulang pergi. Aku teringat teman yang tinggalnya tak cukup jauh dari tempatku, dia cukup beruntung, karena menjaga seorang kakek yang mempunyai majikan yang cukup baik, biasanya aku sering meminjam uang padanya. Tapi sayang dia bilang akan pulang karena majikan bangkrut, aku menjadi bingung harus pada siapa lagi aku meminjam, sedang teman-teman yang lain cukup jauh. Namun aku tak akan mundur, pasti akan ada jalan untukku nanti.
Biarkan saja dia bertindak sesuka hatinya, aku tidak akan membalas atau pun dendam padanya, aku yakin Tuhan pasti lebih bijaksana dan yang akan membalaskan semua pada lelaki itu. Yang ku tahu tuhan pasti mengabulkan doa-doa orang tersakiti.
“Ni méishì ma? (kamu baik-baik saja)” Tanya wanita di sampingku itu sambil menyodorkan tissu yang membuatku segera tersadar.
” Se (ya)” Jawabku sambil mengusap air mataku yang menetes.
“Rénshēng zhēn de hěnnán, dàn wǒmen yīdìng kěyǐ de,, jiāyóu (hidup benar-benar sulit, tapi kita pasti bisa, ,semangat” Ucap wanita itu sambil mengepalkan tangan yang diangkat ke atas.
“Ya benar, , semangat, ,” Ucapku tersenyum, wanita itu senang melihatku semangat lagi kemudian kami berpisah, aku melangkah pasti menuju pesawat Garuda kebanggaan Indonesia ini dengan ringan. Tak lupa senyum aku kembangkan untuk menyambut harumnya tanah airku.
The End